Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tiga Besar Penyumbang Devisa, Industri Kakao di Indonesia Masih Menjanjikan
Oleh : Redaksi
Rabu | 18-09-2013 | 16:11 WIB
130310_kakaopetani.jpg Honda-Batam
Kredit foto: bisnis.com

BATAMTODAY.COM, Batam - Kakao, bahan baku pembuatan coklat, merupakan peringkat ketiga penyumbang devisa negara dari sektor perkebunan. Tahun lalu, ekspor biji kakao dan produk kakao olahan telah menyumbang devisa sebesar USD1.053.446.947 atau 1,053 miliar rupiah.


Walaupun saat ini Indonesia berada di urutan ketiga sebagai produsen biji kakao dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, Indonesia masih memiliki tanah yang luas dan subur yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang sangat cocok untuk ditanami kakao. 

"Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan Indonesia bisa melewati posisi Pantai Gading untuk menjadi produsen biji kakao terbesar di dunia," kata Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Direktorat Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Faiz Achmad, di Jakarta, hari ini.

Menurut Faiz, beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka hilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah di dalam negeri terbukti sangat efektif dalam pengembangan industri kakao di Indonesia. Sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan Bea Keluar atas ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.011/2010 pada 1 April 2010 lalu, industri kakao nasional menggeliat.

Hal itu terbukti dengan menurunnya volume ekspor biji kakao, sementara ekspor kakao olahan terus mengalami peningkatan. Jumlah industri kakao yang pada tahun 2010 hanya 7 perusahaan, saat ini bertambah menjadi 17 perusahaan.

"Setelah pemberlakuan Bea Keluar (tahun 2010-2012), biji kakao yang diekspor menurun dalam kurun waktu 3 tahun yaitu sebesar 163.501 ton tahun 2012, menurun dibandingkan tahun 2011 sebesar 210.067 ton dan sebesar 432.437 ton tahun 2010. Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari tahun 2010 sebesar 119.214 ton, naik pada tahun 2011 menjadi 195.471 ton dan pada tahun 2012 mencapai 215.791 ton," ujarnya, dalam siaran persnya.

Kebijakan Bea Keluar atas ekspor biji kakao ini juga memberikan semangat kepada industri kakao dan cokelat Indonesia. Proyeksi  lima  tahun ke depan diperkirakan jumlah pabrik pengolahan kakao sebesar 16 unit usaha ditahun 2012 akan tumbuh menjadi 20 unit usaha pada 2015. 

Kapasitas terpasang dari 660.000 ton per tahun pada 2012, diharapkan menjadi 950.000 ton per tahun pada 2015. Peningkatan ini terjadi karena ada beberapa industri yang melakukan ekspansi dan ada banyak investor yang masuk ke Indonesia.

"Guna mendukung hilirisasi industri, pemerintah juga memberikan fasilitas tax allowance dalam  PP Nomor 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-Daerah Tertentu, serta pemberian tax holiday  bagi industri pengolahan kakao di daerah tertentu melalui PMK No 130 Tahun 2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan," jelasnya.

Ditambahkan Faiz, kebijakan tersebut tidak hanya mampu membangkitkan industri kakao, tetapi juga mampu menggerakkan industri hilir makanan dan minuman berbasis cokelat untuk melakukan ekspansi dan berdampak positif karena nilai tambah kakao ada di dalam negeri, menyerap tenaga kerja, adanya multiplier effect terhadap industri pendukung seperti industri pengemasan (packaging), transportasi, perbengkelan, perbankan dan sektor lainnya.

Dia mengatakan, penerapan SNI (Standar Nasional Indonesia) Wajib untuk kakao bubuk melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 /M-IND/PER/5/2009  jo Nomor 60/M-IND/PER/6/2010  tentang pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kakao Bubuk Secara Wajib untuk menjaga kualitas dan mutu bubuk kakao yang beredar di dalam negeri, serta program hilirisasi  yang dicanangkan oleh Kemenperin mampu mengangkat industri kakao nasional untuk dapat bersaing baik dipasar domestik maupun global serta berkontribusi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Saat ini, pertumbuhan permintaan kakao dunia sekitar 4 juta ton per tahun. Data International Cocoa Organization (ICCO) menyatakan bahwa  dalam lima tahun terakhir, permintaan tumbuh rata-rata 5 per per tahun. 

Ke depan, komoditi kakao ini masih sangat potensial untuk dikembangkan dimana tingkat konsumsi kakao di tiga negara yaitu Indonesia, India dan Cina yang jumlah penduduknya mencapai 2,7 miliar jiwa, masih sangat rendah yakni hanya sekitar 0,25 kg per kapita per tahun jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi di Eropa sudah mencapai 10 kg per kapita per tahun.

Diprediksi, konsumsi kakao di tiga negara yaitu Indonesia, India dan China dapat mencapai 1 kg per kapita per tahun sehingga akan ada permintaan tambahan sekitar 2,2 juta ton biji kakao per tahun.  (*)

Editor: Dodo