Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rizal Ramli Sodorkan 8 Solusi Berantas Korupsi ke KPK
Oleh : Surya
Kamis | 12-09-2013 | 22:15 WIB
Rizal-Ramli1.jpg Honda-Batam
Ekonom Rizal Ramli.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ekonom senior Rizal Ramli menyodorkan delapan solusi agar Indonesia bisa keluar dari keterpurukan akibat korupsi yang massif dan sistematis. Kedelapan solusi tersebut, diantaranya melakukan kontrol yang ketat terhadap anggaran, KPK lebih berkonsetrasi untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi besar, dan meningkatkan standar etika bagi para pejabat publik.

Hal itu disampaikan Rizal Ramli pada Focus Group Discussion (FGD) yang membahas Sistem & Fenomena Politik di Indonesia; Menuju Sistem Politik Berintegritas, yang diselenggarakan Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK), yang dibuka langsung oleh Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Kamis (12/9/2013). 

"Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Jadi, penanganannya pun harus dengan cara-cara luar biasa pula. Untuk itu, saya minta Pak Busyro dan teman-teman lain di KPK lebih berkonsetrasi menuntaskan kasus-kasus besar saja. Jangan terlalu sibuk dengan kasus-kasus 'recehan' yang hanya melibatkan para bupati atau walikota saja," ujar Rizal Ramli.

Menurut Capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini, korupsi yang melibatkan para walikota dan bupati memang suatu kejahatan yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.

Meski demikian, dibandingkan korupsi yang dilakukan para pejabat publik di level pusat yang jumlah kerugian negaranya jauh lebih besar, korupsi para pejabat di daerah tersebut menjadi kurang relevan ditangani KPK. Apalagi sebagai lembaga superbody, KPK memiliki banyak keterbatasan, terutama jumlah penyidiknya sedikit.

"Sebaiknya KPK lebih berkonsentrasi menuntaskan kasus-kasus yang melibatkan 'big fish'. Penyimpangan obligasi rekapitalisasi perbankan, skandal Bank Century, kasus Hambalang, dan skandal IT pada Pemilu 2009 adalah beberapa kasus besar yang sangat menciderai keadilan publik. Sampai kini kasus-kasus itu seperti jalan di tempat tanpa diketahui bagaimana penuntasannya," kata Rizal Ramli yang juga Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP).

Sedangkan menyangkut kontrol yang ketat terhadap anggaran, Capres yang di kalangan Nahdiyin yang akrab disapa Gus Romli ini mengatakan, korupsi di era SBY jauh lebih vulgar dibandingkan di zaman Pak Harto. Pada masa Soeharto berkuasa, korupsi terjadi sekitar 30% dari anggaran pembangunan di APBN dan terjadi saat eksekusi di lapangan.

Sementara di era SBY, korupsi sudah terjadi sejak pembahasan APBN di Badan Anggaran DPR. Ditambah korupsi di lapangan, diperkirakan besarnya mencapai 45% dari total anggaran.

Solusi lainnya yang disarankan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid ini adalah peningkatan standar etika para pejabat publik. Di negara-negara maju yang standar etikanya sudah tinggi, seorang pejabat yang baru terindikasi melakukan korupsi cuma dihadapkan pada dua pilihan. Yaitu mengundurkan diri atau dipecat.

"Saya sangat prihatin presiden SBY menyatakan baru akan menjatuhkan sanksi kepada menterinya kalau yang bersangkutan sudah berstatus tersangka. Ini menunjukkan standar etika para pejabat publik kita sangat rendah. Harusnya begitu terindikasi korupsi, Presiden bisa memecat atau meminta menterinya mengundurkan diri. Selain untuk memperlancar proses hukum, pemecatan menteri yang terindikasi korupsi juga sekaligus agar tidak menjadi beban bagi kinerja kabinet secara keseluruhan," paparnya.

Solusi keempat, agar Indonesia bisa keluar dari keterpurukan akibat korupsi yang massif dan sistematis lainnya versi Rizal Ramli adalah tingkatkan standar etika pers, sehingga pejabat yang sudah terindikasi atau bahkan tersangka korupsi, tidak muncul lagi di pemberitaan kecuali tentang kasus yang tengah dialaminya. Empat solusi lainnya, stop politik uang, reformasi pembiayaan Parpol oleh negara, perberat hukuman terhadap koruptor, dan ganti sistem Pemilu yang korup.

"Tentang pembiayaan Perpol oleh negara, saya hitung anggarannya hanya sekitar Rp5 triliun/tahun. Ini jauh lebih rendah dibandingkan korupsi berjamaah yang dilakukan Parpol dan para politisinya yang saat ini sekitar Rp60 triliun/tahun. Dengan dibiayai oleh negara, Parpol tidak lagi sibuk mencari dana secara tidak sah dan melanggar hukum. Selanjutnya Parpol bisa berkonsetrasi untuk mencari kader-kader yang berkualitas dan berintegritas," ungkap Menteri Perekonomian era Gus Dur ini.

 Editor: Surya