Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rosihan Anwar (1922 - 2011): Pers tidak Punya Kekuasaan Memaksakan Kehendak
Oleh : Tunggul Naibaho
Minggu | 17-04-2011 | 16:36 WIB
rosihan-anwar.jpg Honda-Batam

Rosihan Anwar (10 Mei 1922 - 14 April 201).

Tokoh Pers tiga zaman, H Rosihan Anwar telah berpulang pada Kamis 14 April 2011 pagi jam 08.15 WIB di Rumah Sakit Metropolitan Media Center (MMC) Jakarta dalam usia 89 tahun, diduga karena gangguan jantung.

Bangsa Indonesia, terutama dunia pers, benar-benar merasa kehilangan seorang guru, teman, dan senior yang selalu mampu memberi arahan bahkan spirit kepada para yuniornya.

Terakhir kali tampil bersama para tokoh pers nasional, atau lebih pantas menyebutnya bertemu dengan para yuniornya, dalam sebuah diskusi yang mengambil tema "Liputan Konflik", di Sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, pada Kamis 24 Februari 2011.

Pada saat itu hadir sejumlah tokoh pers, antara lain Sabam Siagian, Fikri Jufri, Djafar H. Assegaf, Arswendo Atmowiloto, dan Margiono. Hadir pula Brijen Pol. Untung Yoga Ana dari Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Negara RI (Humas Polri).

Rosihan Anwar yang sebenarnya tidak menjadi pembicara dalam acara itu, tetapi sempat juga menyampaikan satu dua penggal kalimat, yang kemudian kalimat-kalimat tersebut oleh kalangan pers nasional dianggap sebagai nasihat terakhir almarhum kepada dunia pers Indonesia.

"Pers Tidak Mempunyai Kekuasaan Memaksakan Kehendak," tegas Rosihan Anwar.

Rosihan Anwar atau biasa dipanggil pak Ros, lahir di Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, 10 Mei 1922 bukan saja patut disebut tokoh pers Indonesia, lebih dari itu, pak Ros lebih tepat ditempatkan sebagai seorang sejarawan, sastrawan, bahkan budayawan.  

Rosihan adalah Anak keempat dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan, seorang demang di Padang, Pantai Barat Sumatera. Dia menyelesaikan pendidikanya di sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Ia pun melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta. Dia juga mengikuti sejumlah  workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Universitas Yale dan School of Journalism di Universitas Columbia, New York City, Amerika Serikat.

Rosihan telah menjadi wartawan pada usia yang masih sangat belia, yaitu sejak berumur 20-an, dia menjadi reporter Asia Raya saat pendudukan Jepang tahun 1943.

Kemudian karirnya meningkat dan dia menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Selanjutnya menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 1968-1974.

Datang menggunakan tongkat dan penyangga leher, namun Pak Ros terlihat tetap tampil penuh spirit.

"Pers itu bukan pemangku kekuasaan, karena kekuasaan itu identik dengan politik. Politik dalam kekuasaan punya kemampuan untuk menguasai pemerintah, bisa memaksakan kehendak, bisa mengerahkan polisi. Pers tidak begitu." tandas Rosihan Anwar.

Entah apa yang bergayut dalam pikiran Rosihan Anwar saat itu, sehingga dia merasa perlu menyampaikan lontaran atau nasihat semacam itu kepada para tokoh pers yang hadir.

Pada tahun 1950 bersama Usmar Ismail, Rosihan Anwar mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). bahkan pak Ros juga sempat membuat film dengan judul "Darah dan Doa", dan ia pun sekaligus berperan sebagai figuran dalam film tersebut.

Setelah itu dia juga sempat membuat film lain yang berjudul "Terimalah Laguku". Namun kemudian, di dunia perfilman Indonesia, Rosihan Anwar lebih mengambil peran sebagai kritikus film dan juga giat mempromosikan film Indonesia di luar negeri.

Selain itu, dia juga tetap produktif menulis hingga akhir hayatnya. Kalau tulisan dalam bentuk artikel, mungkin berjumlah ratusan yang telah diterbitkan di beberapa koran dan majalah terkemuka di Indonesia, juga penerbitan luar negeri. Tercatat Rosihan menulis sebanayak 21 buku sepanjang hayatnya.

Bagi seseorang yang ingin menulis sejarah kontemporer Indonesia, adalah tidak mungkin melewatkan sosok Rosihan Anwar untuk dimintai pandangan mata dan pandangan batinya mengenai Indonesia.

Sambil memagang tongkatnya, Rosihan Anwar melanjutkan dan dia mengatakan, "Pers tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendak, karena pers hanya mencari informasi dan akses untuk menyiarkannya kepada masyarakat. Pers tidak berwenang memaksakan kehendak kepada masyarakat".

Rosihan menikah dengan Siti Zuraida yang terhitung kerabat M. Husni Thamrin, pahlawan nasional dari Betawi, pada 1947. Pasangan ini dikaruniai tiga anak dan sejumlah cucu.

Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946 mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat.

Pak Ros juga menegaskan bahwa pers bukanlah pemangku kekuasaan. Pasalnya, ia menilai, sangat salah kaprah jika ada pejabat negara yang berkomentar posisinya sama dengan pers sebagai pemangku kekuasaan dalam demokrasi.

Ia pun melanjutkan, "Biar saja ada orang, pejabat asal sebut dan asal tempatkan posisi pers semaunya dia. Tapi, kita, pers harus berani menarik garis kalau pers itu pembela kepentingan rakyat yang sebenarnya. Sudahlah, saya tidak mau ambil pusing soal komentar aneh-aneh. Saya tidak mau sesak nafas."

Pendapat Pak Ros spontan diamini Arswendo.

"Pers seringkali disebut lebah tanpa sengat," kata Arswendo.

Arswendo pun saat itu berkomentar, "Ini wasiat penting Pak Ros bagi kita semua, terutama pers. Ini juga kritik untuk penguasa. Ini pendapat agung dari Pak Rosihan Anwar yang harus kita akui sebagai salah satu anugerah besar Tuhan untuk bangsa Indonesia."

Pendapat Arswendo agaknya sangat sulit untuk dipungkiri. Pak Ros adalah sosok multi-zaman sekaligus multi-talenta.

Harian Pedoman dibredel pemerintahan Soekarno pada 1961. Rosihan kembali mendirikan Pedoman di era Orde Baru, namun dibredel kembali pada 1974, tepat setahun setelah menerima pengalungan Bintang Mahaputra kelas III dari Presiden Soeharto. Namun, Rosihan ibarat "baja yang sulit dipatahkan" dalam urusan memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers.

Ketua Dewan Pers periode 2000-2003, Atmakusumah Astraatmadja, menilai Rosihan Anwar adalah tokoh yang tak kenal kompromi untuk perjuangkan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers, serta memiliki semangat yang tidak pudar untuk memajukan pers nasional.

"Semangatnya ini dibuktikannya secara langsung, antara lain dengan tetap menulis secara jernih, lugas, dan tanpa kompromi menanggapi berbagai masalah sosial. Ia terus menulis sampai akhir hayatnya. Ini pelajaran positif bagi wartawan Indonesia," ujar mantan wartawan harian Indonesia Raya dan penyiar Radio Australia itu.

Semangat Pak Ros yang senantiasa menyala itulah yang menempatkan dirinya bersama Ny. Herawati Diah (kini 95 tahun) dianugerahi "Life Time Achievement" (prestasi sepanjang hayat) dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 2007. Keduanya termasuk pendiri PWI di Solo, Jawa Tengah, pada 9 Februari 1946.

Di masa perjuangan, dirinya pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia (kini Jakarta). Kemudian di masa Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup oleh rezim saat itu. Namun di masa peralihan pemerintah Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama.

Sayangnya rezim Orde Baru ini pun menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di leher para penerimanya.

Komunitas Hari Pers Nasional (HPN) --yang terdiri atas PWI, Dewan Pers, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI)-- pada 9 Februari 2010 di Palembang, Sumatera Selatan, menganugerahi Medali Emas Spirit Jurnalisme kepada Pak Ros.

Spirit Rosihan juga mewarnai ranah sastra. Sepanjang hayatnya lebih dari 24 buku ditulisnya, mulai dari bergenre novel, catatan perjalanan hingga text book jurnalisme. Ia juga konseptor Karya Latihan Wartawan (KLW) bagi anggota PWI, selain menulis buku Bahasa Indonesia Jurnalistik.

Dalam sosoknya yang tegas, Pak Ros dikenal hangat dan suka berkelakar. Saat Panitia Pusat HPN 2010 menyampaikan tali asih tambahan, ia pun berujar, "Ah, bisa saja kalian ini. Kerja kalian bergaya intel. Kalian tahu pasti kalau orang setua saya sudah tidak perlu penghargaan tetek bengek. Orang tua ini lebih butuh duit. Hiduplah pers yang tahu diri.

 

*Disadur dari berbagai sumber