Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Indonesia Menuju Kebangkrutan
Oleh : redaksi
Minggu | 17-04-2011 | 07:08 WIB

Oleh: Rudi Hartono

Tanpa penanganan yang benar, Indonesia di masa depan akan menjadi sejarah. Saat ini, kita sedang berada di depan pintu “kebangkrutan”, sesuatu yang bukan lagi lelucon murahan tapi sudah sangat nampak di depan mata kita. Meskipun data-data pemerintah mencoba menawarkan optimisme, namun fakta kembali tidak dapat menutupi pesimisme mengenai masa depan Indonesia di bawah kendali rejim neoliberal.

Ancaman Utang Luar Negeri

Sampai saat ini, pemerintah belum bisa menutupi kekhawatiran kita mengenai dampak penumpukan utang luar negeri. Menurut pemerintah, seperti disampaikan Menkeu Sri Mulyani, rasio utang luar negeri terhadap PDB terus menurun. Kalau pada 2000 rasio utang terhadap PDB mencapai 89% maka pada 2004 turun menjadi 57% dan pada akhir 2008 menjadi 33%. Diperkirakan, pada 2009 turun menjadi 32%.

Penurunan rasio ini, seperti diakui pemerintah, didorong oleh peningkatan dalam nilai PDB kita. Masalahnya, perhitungan PDB Indonesia merujuk output/produksi ekonomi nasional, termasuk yang dihasilkan perusahaan maupun tenaga kerja asing. Sebagian besar faktor pendorong penambahan PDB itu adalah sumbangan pihak asing yang bekerja di Indonesia.

Jika dihubungkan dengan PNB (produk Nasional Bruto), maka nilai penambahan PDB jauh melampaui PNB. Menurut data BPS pada tahun 2005, sebagai contoh, PDB berjumlah Rp 2.729,7 triliun, sedangkan PNB Rp 2.644,3 triliun. Dengan selisih yang sangat besar, skema ini menunjukkan masih kuatnya pengaruh pengerukan sumber daya oleh kekuatan imperialis di Indonesia.

Fakta lainnya, meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, namun stock utang justru terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Tahun 2004, total utang pemerintah jika dirupiahkan Rp 1.295 triliun, sedangkan total utang negara per Maret 2009 mencapai Rp1.700 triliun. Ada peningkatan sekitar 30% dalam lima tahun ini.

Sebagian dari utang ini akan jatuh tempo dalam waktu dekat, dan ini tentu sangat berbahaya bagi Indonesia yang 16% APBN-nya dipakai untuk menutupi pinjaman utang luar negeri. Belum lagi, krisis ekonomi global berpotensi mendorong pemerintah AS menerbitkan surat obligasi berbungan tinggi, sehingga Indonesia harus membayar jumlah bunga yang lebih tinggi dibanding pada saat penawaran. Artinya, keberhasilan pemerintah menurunkan rasio utang terhadap PDB hanyalah prestasi bias, sebab tidak didukung oleh fakta konkret.

Konsumsi Dibiayai Utang

Masalah lainnya adalah jatuhnya kemampaun masyarakat untuk berkonsumsi. Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengkonsumsi. Tentu saja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.

Jika kita memperhatikan tolak ukur kemampuan konsumsi masyarakat, yaitu indeks penjualan ritel (IPR) dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), memang masih terjadi pertumbuhan. AC Nielsen, misalnya, masih memprediksikan sektor ritel nasional bakal tumbuh 15 persen. Akan tetapi, setelah diperiksa dengan baik, pemicu pertumbuhan konsumsi ini adalah kredit (utang).

Hampir seluruh konsumsi masyarakat kini, baik kelas menengah maupun miskin, dibiayai melalui utang. Berdasarkan data Bank Indonesia per November 2008, pertumbuhan kredit konsumsi tumbuh 32,03 persen menjadi Rp 275,7 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Di tahun 2009, pertumbuhan kredit konsumsi semakin menggila, yaitu sebesar Rp110,8 triliun atau 41,5% menjadi Rp377,9 triliun.

Untuk kalangan bawah, konsumsi dibiayai oleh program sosial neoliberal, diantaranya BLT, PNPM, KUR, Biaya Operasional Sekolah, dsb, melalui skema pinjaman luar negeri. Bahkan, kenaikan gaji anggota TNI/Polri sebesar 5% juga dibiayai melalui tambahan utang di APBN.

Jadi, kenaikan konsumsi masyarakat bukan karena perbaikan daya beli, ataupun pendapatan: upah, laba, dan sewa. Pendapatan rakyat mayoritas, seperti pekerja, petani, UKM, terus mengalami penurunan signifikan akhir-akhir ini.

Pengangguran dan Sektor Informal Berkembang Pesat

Menurut data, hingga februari 2009, jumlah mereka yang bekerja di sector informal sudah mencapai 70 juta orang, atau 70% dari total angkatan kerja. Ini berarti sebagian besar rakyat kita tidak lagi bekerja di sector ekonomi yang diorganisasikan oleh Negara, melainkan hidup dari ekonomi jalanan dan perekonomian gelap.

Ini bertentangan dengan semangat konstitusi dasar (UUD 1945), bahwa tiap warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dengan demikian, kegagalan Negara dalam memberikan lapangan pekerjaan yang layak kepada 70%, dapat dipandang sebagai manifestasi inskonstitusiona. Bukankah Negara tanpa hukum adalah anarki.

Bagi kapitalisme, pengangguran merupakan solusi parsial, asalkan tidak begitu tinggi dan mengancam revolusi sosial. Mengapa? Karena, selama ada pengangguran, maka kapitalis dapat menahan atau melemahkan pekerja dalam negosiasi upah, menekan serikat buruh, dan menurunkan daya tawar buruh di pasar tenaga kerja. Harus disadari, bahwa ancaman PHK merupakan salah satu mekanisme kapitalis untuk mendisiplinkan kelas pekerja.

Tingkat pengangguran yang sangat tinggi, bukan sekedar menjadi persoalan sosial, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap tingkat permintaan terhadap output produksi para kapitalis. Harus disadari, bahwa nilai surplus dapat diperoleh melalui rangkaian produksi dan terwujud di dalam komoditi itu sendiri. Sedangkan profit (keuntungan) hanya dapat diperoleh setelah melalui sirkulasi (terjual di atas biaya produksi). Dengan demikian, tingkat keuntungan sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan, atau biasa disebut oleh para Keynesian sebagai “permintaan efektif”. Semakin banyak penganggur dan berpendapatan rendah, maka menurut Josef Steindl, Paul Baran, Paul Sweezy, tingkat permintaan akan sangat merosot karena proporsi terbesar dari konsumsi masyarakat adalah konsumsi kelas pekerja dan kalangan bawah.

Dampaknya lebih jauh adalah efek kelebihan produksi , khususnya industry di dalam negeri, sehingga semakin mempercepat proses de-industrialisasi. Ada kontradiksi konstan antara pertumbuhan cepat dari kekuatan produksi dan kemampuan massa untuk mengkonsumsi. Tentusaja ada iklan, sistem kredit, dan usaha lain untuk mempromosikan konsumerisme, semua itu terjadi, tetapi tidak selalu bekerja dengan baik.

Kebijakan neoliberal yang begitu deras dalam dekade terakhir, khususnya di bawah pemerintahan SBY, turut berkontribusi kepada meningkatnya gejolak de-industrialisasi di dalam negeri. Pada triwulan ketiga 2009, pertumbuhan industry hanya mencapai 1,3 persen, tak sampai sepertiga pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen.

Di bawah kapitalisme, industry merupakan salah satu lapangan tempat mengolah dan menghasilkan keuntungan (profit). Jika benar, Negara adalah organisasi kelas tertentu, dalam hal ini Negara kapitalis, maka Negara seperti Indonesia ini sebetulnya sudah bangkrut. Sebab, negeri ini tidak lagi sanggup menyediakan “mesin” pencipta profit bagi kapitalis Indonesia, dalam hal ini adalah Industri.

Semakin banyak pengangguran dan sektor informal, semakin sedikit kelompok pembayar pajak untuk Negara. Apalagi, di Indonesia, pendapatan di bawah 5 juta per-bulan tidak kena pajak. Ini malapetaka bagi Indonesia, sebuah Negara yang 80% penerimaan APBN-nya digenjot dari setoran pajak.

Sumber Daya Dijarah Pihak Asing

Dengan sumber daya alam yang melimpah, mengutip Bung Karno, seharusnya itu menjadi bagian dari jembatan emas untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Sumber daya alam itu telah menjadi syarat-syarat kemajuan bagi Indonesia: Indonesia adalah penghasil biji-bijian terbesar ke-6 di dunia, penghasil beras ke-3 di dunia setelah China dan India, penghasil teh terbesar ke-6 di dunia, penghasil kopi terbesar ke-4 di dunia, dan penghasil coklat terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Juga penghasil terbesar minyak sawit dunia, penghasil karet alam kedua, penghasil cengkeh terbesar, penghasil tembaga ketiga setelah Cili dan AS, penghasil timah kedua dunia, penghasil nikel ke-6, penghasil emas ke-8 dunia, penghasil natural gas keenam, serta penghasil batubara ke-9 dunia.

Namun, di bawah rejim neoliberal, seperti para kolonialisator dulu, semua syarat-syarat kemajuan itu telah diserahkan kepada pihak asing, kemudian rakyat kita harus membeli kembali dengan harga lebih mahal. Sekarang ini, pihak asing sudah menguasai 80-90% pengelolaan migas kita, dan hampir 100% perusahaan tembaga dan energy adalah perusahaan asing.

Bersamaan dengan itu, kepemilikan asing di sector perbankan juga sudah mencapai 60%, sebuah posisi yang cukup dominan dalam mengarahkan perbankan.

Semua itu dimungkinkan oleh UU Penanaman Modal yang baru, sebuah persembahan terbaik SBY kepada tuan-tuannya (imperialis), sebab mengijinkan kepemilikan asing terhadap asset nasional hingga 99%. Akibat dari semua itu, Mulai dari telekomunikasi, angkutan laut, migas, mineral, sumber daya air, perkebunan sawit, hingga sektor pendidikan, kesehatan (medis), ritel, dan industri lain. Sekitar 75 persen pasar garmen nasional dikuasai asing. Bahkan jarum jahit, sandal jepit, pangan seperti daging, susu, kedelai, jagung, gula, sayur-sayuran, buah-buahan, hingga garam pun impor.

Meskipun memiliki hamparan sawah yang sangat luas, Indonesia justru masuk dalam daftar pengimpor beras di dunia. Begitu pula dengan kebutuhan gula, tiap tahunnya kita mengimpor 30% kebutuhan gula nasional, padahal kita pernah menjadi eksportir gula semenjak jaman kolonial dulu. Indonesia juga mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai, 10% kebutuhan jagung, 15% kebutuhan kacang tanah dan 70% kebutuhan susu.

Indonesia Sebagai Negara Diambang Kebangkrutan

Negara adalah adalah organ kekuasaan kelas, dalam hal ini Negara adalah alat penindasan kelas berkuasa. Ini merupakan kesimpulan tidak terbantahkan. Bankrutnya Negara Indonesia bukan berarti bahwa saya sedang menangisi hilangnya sebuah organisasi penindasan, tidak sama sekali.

Terbentuknya Negara Indonesia karena hasil perjuangan anti-kTolonial. Ini merupakan kesimpulan tak terbantahkan. Aspek penting dari perjuangan anti-kolonial adalah persatuan kepentingan berbagai klas (borjuis kecil progressif, pekerja, petani) melawan kapitalis penjajah.

Karena itu, seperti dijelaskan oleh Michael Kalecki, seorang ekonom progressive terkenal, Negara paska kolonial selalu menegaskan kebijakan yang relatif independen dan mandiri dari negeri-negeri penjajah (imperialis). Dalam hal ini, Kalecki menyebutkan dua ciri bagi Negara paska kolonial; mengutamakan sektor publik dan non-blok (tidak memihak).

Sektor publik, yang dibangun oleh sebagian besar Negara dunia ketiga bekas jajahan dengan bantuan Soviet, adalah benteng untuk menghadapi negeri-negeri imperialis. Itu digunakan untuk membangun basis industry di dalam negeri, mencapai kemandian teknologi, mengembangkan skill-dasar ekonomi, dan untuk menyediakan pengaturan bagi kapitalisme domestic, termasuk di dalamnya borjuis nasional, produsen kecil, pemilik agro bisnis, dsb. Disamping itu, sektor public juga menjadi mekanisme bagi Negara nasional untuk memberi perlindungan khusus bagi kesejahteraan rakyatnya---pekerja, petani, dan kaum miskin lainnya. Inilah elemen progressif dari Negara dunia ketiga.

Sedangkan prinsip non-blok, pada prakteknya, diperlukan oleh Negara bekas jajahan untuk menciptakan jarak terpisah jauh dengan Negara imperialis, namun tetap membuka pintu bagi Uni Sovyet dan camp anti-imperialis. Indonesia pernah menjadi deklarator gerakan non-blok pada tahun 1950-an.

Di dalam praktiknya, imperialisme selalu menyerang kedua ciri kebijakan negeri bekas jajahan ini, dan terutama sekali yang pertama. Segera, terutama di bawah neoliberalisme, negeri imperialis mendiskreditkan setiap bentuk kebijakan publik, mempromosikan privatisasi.

Masuknya neoliberalisme, seperti dicatat Alvaro Garcia Linera, wakil presiden Bolivia saat ini, disertai dengan penyusutan dan deformasi negara, terutama aspek negara yang baik-buruknya berhubungan dengan konsep kolektif atau ide-ide kesejahteraan. Neo-liberalisme bertujuan menghancurkan pengertian negara sebagai kolektif atau penjamin kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi korporat yang menyerukan pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang diakumulasikan berkali-kali oleh dua, tiga, empat, atau lima generasi.

Jadi, sekali lagi, yang saya hendak tegaskan, bahwa Indonesia yang sedang berada di ambang kebangkrutan adalah Indonesia hasil perjuangan anti-kolonial, sebuah negeri hasil perjuangan pembebasan nasional selama berates-ratus tahun. Yang menghancurkan bukan saja imperialisme, tetapi sebuah kelompok politik, teknokrat, dan kaum liberal (aktivis, seniman, penulis, dll) pemuja dunia pertama-imperialisme.

 

Penulis adalah peneliti di Lembaga Pembebasan Media Ilmu Sosial (LPMIS), Pemimpim Redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.