Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

KTT ASEAN-18 di Indonesia

Buruh Migran Tumbal Integrasi ASEAN
Oleh : Tunggul Naibaho
Selasa | 12-04-2011 | 13:00 WIB

Jakarta, batamtoday - Institute for National and Democratic Studies (INDIES) mengkritik desakan Presiden SBY tentang percepatan penyatuan ekonomi ASEAN yang harus segera dilakukan, dan kemungkinan pembicaraan konkrit ke arah tersebut akan dilakukan pada KTT Asean ke-18 di Jakarta pada Mei bulan depan.

Direktur Eksekutif INDIES, Oki Firman Febrian dan peneliti INDIES Aan Anshary menilai SBY abai pada kenyataan  bahwa integrasi ekonomi kawasan ASEAN akan menumbalkan buruh migran yang mayoritas berasal dari Indonesia.

Demikian disampaikan keduanya kepada batamtoday, Selasa, 12 April 2011.

"SBY mengabaikan fakta bahwa buruh migran asal Indonesia adalah mayoritas di kawasan Asean, dan itu akan menjadi tumbal," tegas Oki.

Oki menjelaskan, terdapat kurang lebih enam juta buruh migran yang tersebar di dalam kawasan ASEAN. Sebagian besar berasal dari Indonesia. Selebihnya Myanmar, Kamboja, dan Vietnam. Sebagian besar buruh migran bekerja di Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand. Mayoritas buruh migran di kawasan ASEAN adalah para pekerja manual (unskilled labor) dan bekerja di sektor domestik, perkebunan, dan pabrik-pabrik pengolahan.

"Buruh migran Indonesia ada sekitar 6 juta di kawasan Asean, dan kebanyakan tanpa skill dan tanpa perlindungan. Apakah mereka mau dijadikan tumbal oleh SBY?" tanya Oki lagi.

Lebih lanjut Peneliti INDIES, Aan Anshary menerangkan, terjadinya fenomena migrasi tenaga kerja di kawasan ASEAN diakibatkan karena adanya kesenjangan ekonomi di tingkat kawasan. Faktor pendorong migrasi tidak hanya disebabkan karena kegagalan pembangunan yang melahirkan limpahan pengangguran sebagaimana terjadi di Indonesia, melainkan juga karena tingginya permintaan tenaga kerja murah untuk menghidupkan industri dan perekonomian di beberapa negara ASEAN.

Integrasi ekonomi di bidang industri, kata Aan, tidak mungkin terjadi tanpa adanya tenaga kerja murah yang dipasok ke kantong-kantong industri di berbagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone) yang ada di berbagai negara di kawasan ASEAN, khususnya Malaysia dan Singapura.

"Industri pengolah bahan mentah, seperti perkebunan dan pertambangan, tidak mungkin bisa menjadi keunggulan komparatif ASEAN jika tidak ditopang tenaga dari jutaan buruh migran yang bekerja dengan upah rendah tanpa perlindungan yang memadai," jelas Aan.

Aan menambahkan, Integrasi ekonomi di bidang jasa keuangan dan perbankan justru bersandar pada arus uang kiriman buruh migran (remitansi). Hal ini, dibuktikan dengan agresifnya perbankan Malaysia mengekspansi bank-bank di Indonesia untuk turut mengeruk manisnya uang remiten. Hal ini tidak mengherankan, sebab berdasarkan penelitian Bank Pembangunan Asia (2008), arus remiten di koridor Malaysia dengan Indonesia adalah yang terbesar dibandingkan koridor lain.

Tingginya ketergantungan proses integrasi ASEAN pada topangan tenaga buruh migran, menurut Aan, adalah hal yang menyebabkan kualitas perlindungan buruh migran di tingkat kawasan ASEAN sangat buruk baik di tingkat negara-negara pengirim maupun negara-negara penerima.

Pembicaraan tentang buruh migran di tingkatan Asean, dinilai Aan, hanya sekadar isapan jempol yang tidak bermakna apapun. Hal ini ditujukan agar nilai tawar tenaga kerja migran tetap rendah sehingga pengerukan keuntungan ekonomi bisa tetap maksimal.

Tentang desakan percepatan pengintegrasian ekonomi kawasan Asean, menurut OKi, SBY dan para pemimpin ASEAN harus menerapkan prinsip saling menguntungkan, maka rakyat, khususnya para buruh migran yang secara riil dan langsung bekerja dalam proses integrasi tersebut, seharusnya dapat turut menikmati keuntungan maksimal.

“Lihat saja kenyataan hari ini, buruh migran justru menjadi kalangan yang paling sengsara!” tegas Oki. Jadi, jangan ingkari kenyataan jika sesungguhnya, buruh migran telah menjadi tumbal dari penyatuan ekonomi di kawasan ASEAN, tandas Oki.