Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pancasila Dasar, Bukan Pilar
Oleh : opini
Rabu | 15-05-2013 | 17:11 WIB

Oleh Arpianto

MENYIKAPI KEDUDUKAN PANCASILA sebagai dasar negara bukan menempatkan Pancasila sebagai pilar bangsa. Setiap orang memahami bahwa pilar tak sama maknanya dengan dasar. Pilar yang berarti tiang penyangga, tentu berbeda dengan dasar atau fundamen.

Tentunya, dalam Pancasila sebagai dasar negara berperan untuk memberikan suatu aturan yang mengatur terjalinnya penyelenggaraan negara. Perihal tersebut, bisa diuraikan bahwa Pancasila dijadikan sebagai basis negara yang bermakna, Pancasila dijadikan dasar dalam penyelenggaran negara, Pancasila dijadikan dasar dalam pengaturan dan sistem pemerintahan negara dan Pancasila merupakan sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan ini bisa disimpulkaan, bahwa Pancasila sebagai dasar negara yang berperan untuk dijadikan tujuan atau dambaan dari bangsa Indonesia sebagai fasilitas pemersatu bangsa. Arti ideologi Pancasila, yakni untuk sebagai pandangan, pedoman, kepercayaan serta nilai bangsa Indonesia yang dengan normatif butuh diwujudkan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara.

Maka sudah semestinya Pancasila dijadikan dasar negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ideologi Pancasila itu disusun dengan sistematis, serta diberi panduan pelaksanaanya saat menanggapi serta merampungkan problem yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Dengan harfiah, ideologi bermakna pengetahuan perihal ide atau pedoman.

Istilah ideologi datang dari kata idea yang bermakna ide, rencana, pengertian dasar, pedoman serta logos yang bermakna pengetahuan. Di dalam pengertian sehari-hari, ideologi merupakan seperangkat ide, inspirasi, dasar, dari sesuatu masyarakat perihal kebaikan berbarengan yang dirumuskan di dalam wujud tujuan yang perlu dicapai serta langkah yang dipakai untuk meraih tujuan itu.

Jika kita pahami apa yang diwancanakan oleh MPR-RI, yang menempatkan Pancasila sebagai pilar merupakan suatu hal yang tidak pantas ditempatkankan, karena mensejajarkan Pancasila dengan 3 pilar lainnya yaitu UUD, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika. Maka dasar pemikiran MPR RI tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah diakukan BP 7 semasa orde baru berkuasa, dengan program P4-nya. Apalagi, pada saat ide dasar pemikiran tersebut digagas dan disepakati MPR RI ketika kondisi berbangsa dan bernegara segenap tumpah darah Indonesia dalam kondisi sebaliknya, justru sangat amat terpuruk. Korupsi semakin merajalela dan bringas, dilakukan oleh semua beragam pejabat negara dan para birokrat serta elite politik.

MPR RI yang memposisikan Pancasila sebagai pilar jelas keliru, karena secara teknis maupun filosofis pengertiannya jadi bias. Dalam pengertian teknik konstruksi, pemahaman terhadap pilar akan mengingatkan orang pada fondasi sebuah bangunan. Pada giliranya, ketika hendak dicerna secara filosofis, pengertian maupun pemahaman terhadap Pancasila yang disebut sebagai suatu pilar dari pilar lainnya itu menjadi rancu, karena dipahami sebagai tiang penyangga. Antara pilar dan fundasi jelas berbeda. Fundasi sebagai alas, sedangkan pilar sebagai tiang. Logikanya, tidak ada satu pun bangunan yang cuma berdiri diatas tiang tanpa adanya fundasi.

Meposisikan Pancasila

Sasaran membumikan Pancasila sudah selayaknya dilakukan sebagai pandangan hidup atau ideologi yang memengaruhi kehidupan secara efektif, tak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara, tetapi perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses pengakaran (radikalisasi).

Proses radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis: yakni (mitos), penalaran (logos), dan kejuangan (etos). Jika kita telaah pada dimensi mitos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Pada sisi ini, bangsa kita harus menyakini, seperti yang pernah disampaikan oleh John Gardern (dalam tulisannya Yudi latif) mengatakan, tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya pada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.

Mematrikan keyakinan pada hati warga tidak selalu bersifat rasional. Pendekatan afektif emotif dengan menggunakan bahasa seni-budaya dan instrumen multimedia, akan jauh lebih efektif. Dan sekarang kita lihat bagaimana pada dimensi logos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk mengembangkan Pancasila dari ideologi menjadi ilmu. Pancasila harus dijadikan paradigma keilmuan yang melahirkan teori pengetahuan dan komunitas epistemiknya.

Proses objektivitas penting karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan relalitas-kebijakkan. Sedangakan jika kita telaah lebih dalam lagi pada dimensi etos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbukan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan korespondensi dengan realitas sosial. Dengan kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Bertitik tolak dari dasar itu, tatanan bernegara, baik dengan UUD, UU, konvensi, maupun budaya yang mengejawantahkan dasar atau fundamen kehidupan bagi kelompok yang menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia dapat hidup. Bagi Bung Karno, bangsa, dengan menyitir Ernst Renan, adalah kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) sehingga atas dasar Pancasila dirancanglah konstitusi, yaitu UUD 1945 bentuk negara kesatuan (NKRI) dan bukan negara federal, dan hasrat bangsa untuk menghargai keberagaman dalam moto Bhinneka Tunggal Ika.

Semua itu menjadi sarana untuk membangun kebersamaan sebagai warga bangsa untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur. Tetapi sangat disayangakn penyebarluasan konsep empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, disambut dengan baik.

Tak kurang UU tentang Partai Politik (UU No 27 Tahun 2008) mengamanatkan agar anggota DPR perlu memasyarakatkan empat pilar itu. Malah ada perguruan tinggi swasta yang menganugerahi gelar doktor honoris causa kepada seorang pejabat negara yang dipandang berjasa memasyarakatkan empat pilar itu. Ini sudah tentu menjadi pola pikir yang salah dengan menyamakan Pancasila hanya salah satu pilar. Pola pikir yang keliru akan menghasilkan tindakan dan praksis hidup yang keliru pula. Pancasila adalah dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memaknai Pancasila Seutuhnya

Sebagai asas dan dasar negara, Pancasila merupakan philosophische grondslag atau dasar filosofis bagi suatu negara dan bangsa yang bernama Indonesia. Bila negara Indonesia diibaratkan sebagai wadah, tegas Bung Karno,...Dan wadah ini hanyalah bisa selamat tidak retak jikalau wadah ini didasarkan di atas dasar yang kunamakan Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemen-elemen yang tersusun daripada Pancasila (Pidato 17 Juni 1954).

Dalam pada itu, Soekarno (Bung Karno), dalam pidato pada 1 Juni 1945 di depan Sidang BPUPKI, yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila, menyatakan, sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya, lanjut Bung Karno, bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita, ahli bahasa, Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
 
Penulis adalah Wakabid Litbang Infokom DPC GMNI Pekanbaru dan Mahasiswa Universitas Riau