Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Wartawan di Pusaran Politik
Oleh : Opini
Jum'at | 10-05-2013 | 18:15 WIB

Oleh : Eko Maryadi

DEMOKRASI membuka peluang setiap warga negara membangun bangsa melalui jalur profesi atau jalur politik. Wartawan termasuk kelompok masyarakat yang berpeluang memperkuat demokrasi melalui media dan partai politik. 

 
Tidak ada masalah dengan wartawan yang bekerja pada kantor media berbadan hukum, apapun posisinya di redaksi. Yang penting ia memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ), di samping memiliki pengetahuan dan skill sebagai wartawan.

Yang perlu dicermati dewasa ini, wartawan ramai-ramai menjadi calon legislatif (caleg), atau pengurus partai politik. Ini sejalan dengan dibukanya rekrutmen anggota caleg oleh partai politik di seluruh Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 12 partai politik yang akan berlaga dalam Pemilihan Umum 2014.

Wartawan, khususnya dari televisi dan presenter, menjadi incaran partai politik (parpol). Terutama parpol generasi baru yang para petingginya adalah juga penguasa media. Wartawan dan presenter TV dianggap punya popularitas lebih di mata pemilih mengingat seringnya mereka tampil di layar kaca. Bukan kebetulan jika pendukung utama Partai Hanura, Partai Nasdem, dan Partai Golkar adalah konglomerat media penyiaran.

Wartawan dan Politik Indonesia
Pada era Orde Lama dan Orde Baru, ada sederet wartawan yang menjadi "politisi", baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Burhanuddin Mohamad Diah dan Harmoko, pernah menjadi anggota DPR, selain menjadi pejabat eksekutif (Menteri). Harmoko yang pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, menduduki jabatan Menteri Penerangan RI, dan menjadi Ketua Umum Golkar pada era Orde Baru. Adam Malik, wartawan pendiri LKBN Antara, pernah menjadi Menteri Luar Negeri, bahkan Wakil Presiden (1978-1983).

Memasuki era reformasi (1998-sekarang), sejumlah wartawan terjun ke politik. Ada yang masuk ke jalur eksekutif, ada yang menjadi anggota legislatif, ada yang mendirikan partai politik. Berikut adalah beberapa contohnya. Syaifullah Yusuf adalah mantan wartawan Detik yang kemudian menjadi Wakil Gubernur di Jawa Timur (Pemilu 2009), sebelumnya menjadi anggota DPR dari PDIP. Bambang Soesatyo, politisi asal Golkar dulunya wartawan Suara Karya, Efendi Choirie mantan wartawan Harian Surya Surabaya kemudian anggota DPR dari PKB, Ramadhan Pohan, anggota DPR dari partai Demokrat, sebelumnya mantan koresponden Jawa Pos di Washington DC.

Beberapa tokoh pers nasional juga ikut mendirikan partai politik. Misalnya, Erros Djarot (eks wartawan Detik) mendirikan Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK), Goenawan Muhamad (Tempo) ikut mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), Surya Paloh (Media Indonesia/Metro TV) ikut mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Di luar tiga nama itu, masih ada Dahlan Iskan, tokoh pers nasional, pendiri grup Jawa Pos, sekarang menjabat Menteri BUMN.

Etika Jurnalistik dalam Ranah Politik
Tidak ada Undang Undang (UU) yang melarang wartawan masuk politik. Tidak dalam UU Pers, tidak dalam UU Pemilu, juga tidak dalam UU Partai Politik. UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers misalnya, hanya mengatur "pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini publik, harus mendapatkan perlindungan hukum, bebas dari campur tangan dan paksaan pihak manapun".  

Secara substansial, partai politik dan pers sama-sama memiliki peluang untuk memperkuat demokrasi. Meskipun begitu, pers dan partai politik memiliki perbedaan dalam soal rekrutmen, watak-ideologi, dan dalam cara melayani kepentingan publik. Apalagi pers memiliki Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjadi panduan wartawan dalam bekerja. Dalam KEJ antara lain diatur keharusan wartawan bersikap independen, berimbang, tidak menulis berita fitnah, bohong, atau menyebarkan propaganda yang menyesatkan.

Sistem rekrutmen partai politik bersifat terbuka, sukarela, dan amatir (tidak dibayar). Meskipun prakteknya seorang caleg harus menyiapkan "amunisi" untuk "membeli" kursi yang diminatinya. Dalam rekrutmen parpol, siapapun orangnya, asal bisa jadi vote-getter, terlebih punya amunisi cukup, jadilah dia. Sementara sistem rekrutmen jurnalis dilakukan tertutup dan harus melewati seleksi kompetensi khusus khusus jurnalisme.

Ideologi partai politik dan pers jelas berbeda. Ideologi partai politik, apapun itu, pada ujungnya ialah kekuasaan. Partai politik menginginkan kekuasaan untuk mengelola masyarakat sesuai ideologi mereka. Sehingga segala cara ditempuh untuk mencapai tujuan (kekuasaan).

Sedangkan ujung profesi wartawan ialah melayani masyarakat dengan informasi yang jujur, akurat, independen. Wartawan harus bekerja sesuai kaidah kode etik jurnalistik untuk meningkatkan harkat kemanusiaan.

Dalam soal cara, wartawan mencari dan mengolah informasi harus berdasarkan Kode Etik Jurnalistik, tidak bisa seenaknya apalagi menghalalkan segala cara. Termasuk diantaranya menulis berita pesanan, menyalahgunakan profesi dan menerima sogokan atau gratifikasi. Dalam politik, semua hal tadi, seakan sudah jadi kelaziman.

Dalam hal loyalitas, anggota parpol wajib mengikuti garis kebijakan partai dan tunduk kepada keputusan pimpinan partai. Sedangkan jurnalis ia bebas menganut ideologi apapun. Ia tak punya kewajiban tunduk pada garis ideologi atau pilihan politik bos pemilik media.

Secara etik, setiap jurnalis bahkan dituntut bersikap nonpartisan (tidak berpihak) dan menjaga independensinya dari intervensi apapun di luar tujuan jurnalistik. Inilah kenapa profesi wartawan dan politisi harus dipisahkan.

Pilar Ke-empat Demokrasi
Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, pers telah tumbuh menjadi pilar ke-empat di luar kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif (trias politica). Karena itu, secara etika politik tidak boleh ada rangkap jabatan atau rangkap fungsi yang bisa mengarah pada kekuasaan yang absolut.

Jika pers berperan sebagai kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, maka orang pers tidak boleh merangkap menjadi salah satu atau lebih pilar kekuasaan tersebut. Artinya wartawan yang terjun ke politik, apakah menjadi anggota legislatif atau pejabat eksekutif, dia harus keluar dari ruang redaksi suatu media untuk menghindari konflik kepentingan.

Wartawan secara fungsi merupakan wakil publik yang harus berdiri di atas semua golongan dan tidak boleh berpihak kepada salah satu kepentingan atau partai politik tertentu, utamanya dalam urusan pemberitaan.

Pada masa Orde Baru, media dan organisasi wartawan pernah dikuasai partai politik tertentu bahkan disalahgunakan oleh pejabat negara sebagai ajang propaganda politik dan corong penguasa.

Politisi atau partai politik lazim membuat propaganda. Tapi jurnalis profesional hanya memproduksi berita yang akurat, berimbang dan independen. Intinya, profesi wartawan tidak bisa dirangkap dengan pekerjaan sebagai politisi. Lebih elok seoarang wartawan yang pindah jalur ke politik, menyampaikan pilihannya itu di depan publik (declare).

Sayangnya tidak ada aturan tertulis soal rangkap jabatan ini kecuali dalam peraturan organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam salah satu pasal Anggaran Rumah Tangga (ART) AJI tertulis : anggota AJI bukan pegawai negeri dan tidak boleh jadi pengurus partai politik.

Artinya seorang jurnalis bisa menjadi simpatisan atau anggota parpol, tapi tidak boleh menjadi pengurus partai. Termasuk tidak boleh merangkap sebagai anggota legislatif, pejabat negara (PNS), atau pengurus organisasi lain yang bertentangan dengan marwah AJI.

Demokrasi membutuhkan masyarakat yang kuat, melek informasi, serta memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Pemisahan empat pilar kekuasaan -eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pers yang bebas- secara efektif akan menguatkan dan menyehatkan demokrasi.

Penulis adalah Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI)