Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPD Bisa Gugat DPR bila Tak Dilibatkan dalam Pembahasan RUU
Oleh : si
Rabu | 01-05-2013 | 16:04 WIB

JAKARTA, batamtoday - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tak bisa menggugat DPR RI jika secara substansi aspirasi DPD dalam berbagai pembahasan RUU tak diakomodir oleh DPR RI.



Selama prosedur pembahasan perundang-undangan sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewenangan legislasi DPD RI sudah dijalankan, maka DPD tidak bisa menggugat. Tetapi jika  amanat MK tersebut secara prosedural tidak dijalankan oleh DPR RI, maka DPD bisa menggugat ke MK.

"Jadi, ada dua hal penting terkait putusan MK menyangkut kewenangan DPD RI tersebut, yaitu secara formal harus melibatkan DPD RI dalam berbagai pembahasan RUU sampai akhir, dan kedua secara substansi DPD harus kerja-keras agar rumusan, kajian, daftar inventarisasi masalah (DIM)-nya diakomodir oleh DPR RI. Tapi, kalau DPR memutuskan aspirasi DPD diabaikan, ya DPD tak bisa menggugat," tandas pakar hukum tata negara Universitas Andalas Sadli Isra dalam dialog  'Kapan legislasi tripatrit dimulai?' bersama anggota DPD RI Intsiawati Ayus di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (1/5/2013).

Dengan demikian lanjut Sadli, DPD harus berjuang keras karena kewenangan tersebut tak bisa diberikan secara tiva-tiba, kecuali di negara federal.

"DPD harus berjuang keras karena hal itu membutuhkan perjalanan panjang. Apalagi putusan MK itu hanya terkait legislasi terkait kewenangan DPD RI. Belum lagi menyangkut pengawasan, anggaran, dan putusan MK ini memang sebagai perubahan radikal dalam pembuatan UU,"  ujarnya.

Tapi, kalau DPR tetap tidak peduli dengan putusan MK tersebut menurut Sadli, sesungguhnya pemerintah beruntung, karena tidak lagi perlu mempertimbangkan suara fraksi-fraksi DPR, melainkan cukup suara atau DIM DPD, melihat tripatrit itu dengan DPR dan Presiden RI.

"Bukan dengan fraksi-fraksi DPR RI. Kalau DPR tetap jalan terus, tidak peduli, maka dalam hukum tata negara produk UU yang disahkan berpotensi digugat ke MK dan akan diputus inkonstitusional," tambah Sadli lagi.

Sadli mengkhatirkan terjadinya kebuntuan dalam menjalankan proses legislasi sesuai putusan MK tersebut karena berbagai perbedaan pandangan.

"Belum lagi ada RUU yang tidak menjadi wewenang DPD RI,sehingga harus diselesaikan secara bipatrit (DPR dan Presiden). Namun, kita belum tahu bagaimana sikap DPR secara resmi bagaimana menghadapi putusan MK itu," pungkasnya.

Menurut Intsiawati Ayus, dalam tahun 2013 ini ada 27 RUU yang menjadi tugas DPR dan presiden, dan ketika MK memutuskan kewenangan DPD, maka sejak 27 Maret 2013 lalu, putusan MK tersebut berlaku dan berarti proses legislasi harus dilakukan secara tripatrit (DPR, Presiden dan DPD), tanpa harus menunggi revisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD).

"Yang perlu didiskusikan adalah model dan mekanisme tripatrit dan ini menjadi hak inisiatif DPD,"  harapnya.

Karena itu kata Ayus, dalam menjalankan putusan MK tersebut tergantung pada kerelaan DPR RI, di mana setelah kewenangan legislasi itu dikabulkan MK, maka suara DPR RI mewakili lembaga. Bukan lagi mewakili fraksi-fraksi DPR.

"Tripatrit itu DPR mewakili dan merupakan suara lembaga, yang tak lagi melalui fraksi-fraksi DPR. Namun, itu tergantung kerelaan DPR RI untuk menerima dan menjalankan putusan MK tersebut dengan berbagai konsekuensi politik dan hukum yang akan terjadi," tutur anggota DPD RI asal daerah provinsi Riau ini.
 
Editor : Surya