Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Moral Pelajar Versus Implementasi Kurikulum 2013
Oleh : opini
Sabtu | 27-04-2013 | 16:05 WIB

Oleh: Raja Dachroni

HATI SIAPA yang tak teriris dan gelisah ketika membaca berita Tanjungpinang Pos edisi Rabu (02/04/13), 'Perawan Siswi SMU Dihargai Sepeda Motor'. Fenomena sejenis, sebenarnya tidak terjadi hanya di Tanjungpinang, tapi juga di kota-kota besar lainnya kita bisa menyaksikan berita yang serupa. Dan, fenomena inilah yang membuat tangan penulis terusik untuk menuangkan ide melalui tulisan untuk memecahkan permasalahan di atas.

Membaca  berita di media massa, baik elektronik maupun cetak, tentang semakin parahnya kerusakan moral pelajar SMA dan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, tentu membuat kita gelisah. Beragam permasalahan yang mewarnai kaum terpelajar kita itu adalah tawuran, seks bebas, narkoba hingga terakhir kita disuguhkan dengan fenomena pelajar jadi korban transaksi seks.

Di sekolah dan perguruan tinggi sekarang juga muncul istilah 'ayam kampus' dan 'ayam sekolah' yang secara sengaja menjajakan diri untuk memuaskan nafsu pria hidung belang untuk memenuhi nafsu bernama gaya hidup. Mau jadi apa bangsa ini ke depan, mengingat nasib bangsa ini akan diteruskan dan dilanjutkan oleh generasi pelajar saat ini.

Sementara itu, kita juga disuguhkan hiruk-pikuk debat kurikulum baru yang sangat kontroversial itu. Mungkinkah permasalahan pendidikan saat ini bisa dijawab dengan kurikulum terbaru tahun 2013, yang akan segera dilaksanakan pada bulan Juli mendatang? Terlepas dari kontroversi itu, penulis sangat berharap pihak penyelenggara Kurikulum 2013 yang syarat dengan penajaman intelektual pelajar juga bisa memerankan fungsinya sebagai pendidik yang bisa mencarikan solusi ini.

Hasil dari survei Komisi Nasional Perlindungan Anak, siswa-siswi SMP dan SMA ternyata 93,7 persen pernah berciuman, 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah melakukan aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMU pernah melihat film porno. Krisis moral terjadi karena manusia sudah tidak bisa lagi membedakan yang salah dan yang benar, yang baik dan yang buruk. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukan akan merugikan dan mencelakakan orang lain, bahkan akibat lebih jauh adalah kesengsaraan umat manusia.

Marilah kita berpikir secara bersama-sama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pelajar karena mereka adalah generasi harapan bangsa ini dalam jangka waktu yang sangat panjang, sebab untuk memprediksikan Indonesia ke depan dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan melihat kondisi pemudanya saat ini. Jadi, tidak berlebihan kalau penulis jika bangsa ini mau maju maka permasalahan moral etika (Morek) pemudanya harus diperhatikan oleh pemerintah.

Implementasi Kurikulum 2013

Meminjam pendapat rekan penulis, Nasrullah Syarif, 'Potret Kurikulum 2013' di www.kompasiana.com (27/02/13) ditulis bahwa jika ditinjau dari isi konsep yang digagas dalam Kurikulum 2013, terlihat sangat komprehensif dengan mengedepankan pola tematik-integratif dalam pembelajaran di sekolah. Pola tematik-integratif suatu hal yang penting dilakukan guna menstimulus daya belajar peserta didik agar lebih aktif dan kreatif. Beban mata pelajaran yang diberikan tidak berlebihan lagi. Mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran lainnya diintegrasikan menjadi satu topik bahasan yang menarik. Disamping itu, kurikulum ini juga memadukan aspek kurikuler, kokurikuler dan ektrakurikuler.

Masih menurutnya, namun perlu disadari bahwa keunggulan konsep terkadang tidak selalu berbanding lurus dengan tindakan di lapangan. Penting untuk mempertimbangkan variabel efisiensi dan efektivitas. Berbicara efesien tentu mengarah pada persoalan daya guna. Selanjutnya, efektivitas terkait dengan persoalan hasil guna. Dalam tinjauan efisiensi, ada keganjilan yang terlihat pada alokasi anggaran yang digunakan. Diakui, pelaksanaannya butuh pendanaan yang banyak tetapi bukan berarti anggaran negara dikeluarkan hanya berdasar pada keinginan semata. Tidak mempertimbangkan penggunaan anggaran sesuai dengan perencanaan sebelumnya.

Sampai saat ini, pendanaan untuk pelaksanaan kurikulum mencapai 2,4 triliun. Anggaran ini telah membengkak dua kali dari prediksi awal. Awalnya dianggarkan 684 miliar, kemudian bertambah 1,4 triliun. Pada akhirnya bertambah lagi menjadi 2,4 triliuan. Fakta ini menimbulkan multi tafsir terkait rancangan yang telah diajukan stakeholders. Artinya, rincian anggaran yang dibuat tidak konstan. Dari sini pula terlihat adanya indikasi ketidaksiapan perencanaan anggaran dan anggaran yang diajukan dinilai kurang proyektif. Apabila yang terjadi seperti itu adanya, aka dapat dipastikan anggaran untuk pelaksanaan Kurikulum 2013 akan terus bertambah secara periodik dari waktu ke waktu.

Jelas hal ini menunjukkan kepada kita semua, bahwa dalam tataran implementasi kelak akan menghadapi kesulitan yang tidak mudah. Akan tetapi, dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh dan dedikasi guru yang matang tentunya bukan suatu hal yang sulit untuk mengimplementasikannya. Hanya saja, memang yang ingin penulis tekankan adalah bagaimana implementasinya nanti bisa disejalankan dengan perhatian kita terhadap moral pelajar yang semakin amburadul ini.

Secara holistik memiliki beragam permasalahan. Pertama, perilaku bermasalah (problem behavior). Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah, misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.

Kedua, perilaku menyimpang (behaviour disorder). Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri. Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.

Ketiga, penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment). Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).

Keempat, perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder). Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar.

Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.

Keenam, Attention Deficit Hyperactivity disorder, yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.

Peranan Lembaga Pendidikan Untuk tidak segera mengadili dan menuduh remaja sebagai sumber segala masalah dalam kehidupan di masyarakat, barangkali baik kalau setiap lembaga pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) mencoba merefleksikan peranan masing-masing.

Pertama,  Lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan yang utama dan pertama. Kehidupan kelurga yang kering, terpecah-pecah (broken home), dan tidak harmonis akan menyebebkan anak tidak kerasan tinggal di rumah. Anak tidak merasa aman dan tidak mengalami perkembangan emosional yang seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di luar keluarga, misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan lain-lain. Banyak keluarga yang tak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada sekolah. Kiranya keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tercukupnya kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan kepribadian yang optimal bagi para remaja.

Kedua, Pembinaan moral dalam lembaga keluarga, sekolah, dan masyarakat.   Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual. Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan pembentukan sikap.

Ketiga, kehidupan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat apakah mendukung optimalisasi perkembangan remaja atau tidak.   Saat ini, banyak anak-anak di kota-kota besar seperti Jakarta sudah merasakan kemewahan yang berlebihan. Segala keinginannya dapat dipenuhi oleh orangtuanya. Kondisi semacam ini sering melupakan unsur-unsur yang berkaitan dengan kedewasaan anak. Pemenuhan kebutuhan materiil selalu tidak disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan anak. Akibatnya, anak cenderung menjadi sok malas, sombong, dan suka meremehkan orang lain.

Keempat, bagaimana lembaga pendidikan di sekolah dalam memberikan bobot yang proposional antara perkembangan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak. Akhir-akhir ini banyak dirasakan beban tuntutan sekolah yang terlampau berat kepada para peserta didik. Siswa tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga dipaksa oleh orangtua untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan mengikuti les tambahan di luar sekolah. Faktor kelelahan, kemampuan fisik dan kemampuan inteligensi yang terbatas pada seorang anak sering tidak diperhitungkan oleh orangtua. Akibatnya, anak-anak menjadi kecapaian dan over acting, dan mengalami pelampiasan kegembiraan yang berlebihan pada saat mereka selesai menghadapi suasana yang menegangkan dan menekan dalam kehidupan di sekolah.

Kelima, bagaimana pengaruh tayangan media massa, baik media cetak maupun elektronik yang acapkali menonjolkan unsur kekerasan dan diwarnai oleh berbagai kebrutalan. Pengaruh-pengaruh tersebut maka munculah kelompok-kelompok remaja, gang-gang yang berpakaian serem dan bertingkah laku menakutkan yang hampir pasti membuat masyarakat prihatin dan ngeri terhadap tindakan-tindakan mereka. Para remaja tidak dipersatukan oleh suatu identitas yang ideal. Mereka hanya himpunan anak-anak remaja atau pemuda-pemudi, yang malahan memperjuangkan sesuatu yang tidak berharga (hura-hura), kelompok yang hanya mengisi kekosongan emosional tanpa tujuan jelas.

Tentunya kita tidak ingin pelajar kita cerdas secara intelektual saja dengan efek dari implementasi Kurikulum 2013 nanti, tapi kita berharap moral pelajar kita bisa semakin membaik, sehingga masa depan bangsa ini akan lebih cerah dengan lahirnya generasi emas yang tidak hanya sehat secara fisik tapi memiliki kesehatan moral atau spritual yang baik. Semoga!!!

Penulis adalah Dosen STISIPOL Raja Haji dan Direktur Gerakan Kepulauan Riau Gemar Menulis (GKGM)