Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hari Nelayan Indonesia, Industrialisasi Perikanan Dipertanyakan
Oleh : rilis
Sabtu | 06-04-2013 | 08:21 WIB

JAKARTA, batamtoday -- Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Budi Laksana menilai Hari Nelayan Indonesia yang diperinagti setiap tanggal 6 April, bagi masyarakat belum begitu banyak mengetahui. Sehingga wajar jika nelayan masih menjadi kelompok yang terpinggirkan secara ekonomi sosial, politik, budaya, dan tidak menjadi perhatian serius pemerintah.

Pada tahun 2011, jumlah nelayan miskin mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai 31,02 juta orang. Sejumlah 7,87 juta nelayan miskin itu tersebar di sekitar 10.600 desa nelayan di seluruh Tanah Air.

"Sangat ironis, Indonesia sebagai negara kepulauan masih menyisakan masyarakat nelayan menjadi kelompok tertinggal," ujar Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI), dalam rilisnya yang diterima batamtoday, Sabtu (6/4/2013).

Tidak sedikit program-program yang dilakukan pemerintah guna meningkatkan taraf hidup nelayan. Sehingga menjadi perhatian pemerintah. Melalui Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang percepatan penangulangan kemiskinan dan Instruksi Presiden No. 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan hingga terbitlah program Peningkatkan Kehidupan Nelayan (PKN) yang berbasis industrialisasi perikanan.

Industrialisasi Perikanan untuk Siapa?

Industrialisasi perikanan yang tertuang pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 27 Tahun 2012 dengan tujuan terwujudnya percepatan, peningkatan pendapatan, pembudidaya, nelayan, pemasar dan petambak garam (pasal 3). Selain itu mendorong komoditas unggulan di tiap daerah melalui pengembangan dan modernisasi sistem produksi dan pemasaran yang terintegrasi dari hulu sampai dengan hilir. 

Bagi Serikat Nelayan Indonesia (SNI), pendekatan industrialisasi perikanan hanya berdasarkan pasar dan bukan pendekatan berbasis komunitas nelayan itu sendiri. Jumlah ekspor terus dinaikan tanpa melihat kebutuhan dalam negeri. Walau ekspor perikanan tahun 2012 menunjukan capaian 3,93 miliar dolar AS atau naik 11,62 persen dibanding tahun sebelumnya, namun di tahun bersamaan jumlah nilai tukar nelayan (NTN) turun. Badan Pusat Statistik merilis nilai tukar nelayan di bulan Januari 2012 turun sebesar 0,27 persen.

Menurut Sekjen SNI ini, hal ini yang seharusnya dijawab oleh pengambil kebijakan (Pemerintah) dengan kenyataan jutaan nelayan Indonesia masih terikat hutang pada tengkulak dan sangat kesulitan mengakses modal di perbankan, terutama bagi kapal nelayan di bawah 10 GT.

"Kurangnya tempat pelelangan ikan (TPI), yang seharusnya bisa menjadi akses transaksi nelayan untuk mendapatkan harga ikan yang fair dan adil, bahkan hampir sebagian mati suri. Hal itu masih ditambah tidak lancarnya distribusi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN), hingga nelayan harus ke SPBU dengan harga yang lebih mahal dan melewati prosedur yang lebih mahal. Sehingga industrialiasi perikanan masih dipertanyakan untuk siapa, kesejahteraan nelayan kah atau hanya mengejar angka pendapatan negara (devisa) saja?" ujarnya.

Perluasan penyerapan tenaga kerja (pro job) juga tidak bisa diharapkan, karena nelayan banyak berganti profesi atau bekerja di kapal-kapal asing di luar negeri setelah bekerja sebagai nelayan di dalam negeri sudah tidak bisa diharapkan lagi.

"Program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN) melalui industrialisasi perikanan, hingga saat ini masih belum nyata. Faktanya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan masih suka berbicara angka dan wacana untuk peningkatan kesejahteraan nelayan. Nyatanya industrialisasi perikanan masih menabrak rambu-rambu Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 tentang mengutamakan kepentingan produksi dalam negeri untuk konsumsi nasional sebelum dibawa keluar negeri," pungkas Budi Laksana.

Budi juga mempertanyakan keberadaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap, yang mengizinkan secara tunggal kapal 1000 GT membawa ikan keluar negeri.

"Dimana logikanya jika pasokan ikan dalam negeri saja berkurang. Bagaimana mau bicara ekonomi biru jika ratusan nelayan jenis rajungan harus menjerit karena harga di pasaran anjlok hingga 30 persen dari harga normal," ungkapnya.

Jadi sebelum melangkah terlalu jauh, kata Sekjen SNI ini, alangkah bijaknya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membangun infrastruktur dasar seperti akses mudah diperbankan, tempat pelelangan ikan dan juga microfinance berbasis komunitas nelayan.

Editor: Surya