Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tidak Ada Kerugian Konstitusional

MK Nyatakan Uji Materi Tain Komari Tidak Dapat Dilakukan
Oleh : si
Jum'at | 22-03-2013 | 07:41 WIB
Tain_Komari.jpg Honda-Batam

Tain Komari dan Yudi Saputra di Mahkamah Konstitusi (Foto : Humas MK)

JAKARTA, batamtoday - Mahkamah Konstitusi (MK) meminta Tain Komari selaku Ketua LSM Kelompok  Diskusi Anti 86 mengkonstruksikan kembali permohonannya, karena uji materi yang diajukan tidak dapat dilakukan karena telah melewati tenggat waktu yang ditentukan, yakni 45 hari setelah resmi diundangkan.


Hal itu disampaikan Ketua Sidang Panel Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat memimpin sidang uji materi UU No. 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perppi Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (FTZ) di Jakarta,Kamis (21/3/2013).

"Para Pemohon belum secara spesifik menyebutkan kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakunya UU yang tengah diuji. Para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan, sebelum MK memutuskan akan menggelar sidang," kata Maria Farida Indrati saat memimpin sidang pemeriksaan pertama perkara tersebut.

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menegaskan, jika pemohon ingin uji materinya diterima MK maka kontruksi hukumnya harus diubah. Disamping itu batas waktu uji materi sudah melewati ambang batas yang ditentukan selama 45 hari setelah resmi diundangkan.

"Para Pemohon untuk mengkonstruksikan kembali permohonannya karena uji formil yang diajukan tidak dapat dilakukan karena telah melewati tenggat waktu yang ditentukan, yakni 45 hari setelah resmi diundangkan," ujar Maria Farida Indrati saat menyidangkan Perkara Nomor : 29/PUU-XI/2013.

UU No. 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2000 tentang FTZ telah diundangkan secara resmi ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, serta telah diundangkan oleh mantan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata pada 1 November  2007 lalu.

Tain Komari, Ketua LSM Kelompok Diskusi Anti 86 mengajukan uji materi UU No.44 tahun 2007 pada 1 Maret 2013 lalu, karena menilai UU tersebut menyebabkan terjadinya dualisme pemerintahan di Batam, antara Pemerintah Kota Batam dipimpin Walikota Ahmad Dahlan dan Badan Pengusahaan Batam yang dipimpin Mustofa Widjaja.

Dalam mengajukan uji materi tersebut, Tain Komari yang kini telah menjadi Staf Ahli Ketua DPRD Batam Surya Sardi dari Partai Demokrat, tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Tain Komari hanya didampingi rekannya di LSM Kelompok Diskus Anti 86, Yudi Saputra. 

Dalam permohonannya, Tain Komari mempersoalkan terbitnya UU tersebut yang telah menyalahi aturan. UU No 44 Tahun 2007 yang telah dijadikan konsideran terbitnya PP No. 46 Tahun 2007 Tentang Penetapan FTZ Batam, PP No. 47 tentang Penatapan FTZ Bintan dan PP No. 48 tahun 2007 tentang Penetapan FTZ Karimun.

"Hal ini helas jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi, dan inkonstitusional," katanya.

Menurut Staf Ahli Ketua DPRD Kota Batam Surya Sardi ini, UU tersebut telah bertabrakan dengan UU lainnya seperti UU Pemerintahan Daerah, UU Penanaman Modal dan UU Kepabeanan.

"Konsideransi lahirnya PP No 46,47 dan 48 Tahun 2007 tersebut tidak kuat dan tidak benar karena berdasarkan Perpu No. 1 tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 36 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, bahwa PP merupakan penjabaran, juklak dan juknis dari UU bukan Perpu, sehingga semua PP diatas harus dinyatakan gugur demi hukum," katanya.

Tain yang pernah getol menggulirkan kasus Bantuan Sosial Pemerintah Kota Batam bersama mantan Kepala Kejaksaan Negeri Batam Tatang Sutarna, yang melibatkan Wali Kota Batam Ahmad Dahlan yang juga ketua Partai Demokrat Batam itu, menilai UU No.44 Tahun 2007 telah menyebabkan terjadinya dualisme pemerintahan di Batam.

"Jadi ada dua institusi negara di Batam, Pemerintah Kota dan Badan Pengusahaan Kawasan Batam atau BP Batam. Masing-masing mengeluarkan regulasi dan ketentuan yang menimbulkan kebingungan di masyarakat," katanya.

Sedangkan Yudi Saputra menambahkan, keberadaan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dikepalai Mustopa Widjaja merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat yang ikut mengendalikan kegiatan ekonomi di Batam.

"Kami mencurigai, kenapa harus ada campur tangan pemerintah pusat di Batam. Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, hanya Batam yang memiliki dua pemerintahan, Ini maksudnya apa?" ujar Yudi Saputra.

Editor : Surya