Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Tolak Pelaksanaan Pilkada Langsung Dikembalikan ke DPRD
Oleh : si
Selasa | 12-03-2013 | 16:13 WIB
Hajriyanto.jpg Honda-Batam

Hajriyanto Y Thohari

JAKARTA, batamtoday - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menolak pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung baik gubernur, bupati dan walikota dikembalikan lagi ke DPRD.


Pilkada secara langsung tidak perlu dikembali ke DPRD, melainkan dampak-dampak negatif terhadap pelaksanan pilkada langsung yang dikurangi seperti politik uang, politik dinasti dan lain-lain.

"Kita ini sudah sepakat berdemokrasi dan sudah menjadi amanat konstitusi. Tinggal pelaksanaannya, kalau ada kekurangan dan ekses-ekses negatif yang ditimbulkannya seperti politik biaya tinggi, politik dinasti, tindakan anarkisme, dan sebagainya. Maka pemerintah, DPR, dan parpol harus membuat aturan untuk meminimalisir segala kemungkinan yang negatif itu, dan bukannya kembali ke belakang,” kata Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR dari F-PG di Jakarta kemarin.

Dalam diskusi 'Implementasi Pemilukada' bersama Rahardi Zakaria (Anggota Komisi II DPR dari F-PDIP) dan pengamat politik demografi Universitas Indonesia (UI) Sony Hari Harmadi, Hadjriyanto mengatakan, pilkada secara langsung merupakan upaya untuk menjalankan proses demokrasi dan menjaring kepimpinan nasional yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 4, bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. 

Ia menilai argumentasi untuk mengembalikan pilkada secara langsung ke mekanisme di DPRD tidak kuat, karena timbul akibat gesekan-gesekan di masyarakat, bukan melalui kajian politis dan ideologis. 

“Jadi, bagaimana parpol, pemerintah dan DPR membuat aturan untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya. Money politic, kalau berdampak baik bagi rakyat dengan terjadinya dinamika ekonomi di daerah, maka itu bagus karena merata," ujarnya.

Hajriyanto kemudian mencontohkan mengenai pembuatan atribut kampanye kepala daerah seperti kaos, bendera, brosur, striker, baliho dan alat peraga kampanye lain bisa menghidupkan perekonomian di daerah.

"Pengusaha di kaos, sablon, bendera pasti mendapat pesenan banyak, itu bisa memberikan perekonomian yang positif baik daerah. Yang salah itu, kalau pilkadanya ada di daerah A, pesan atributnya ada di daerah B atau C," katanya.

Kesalahan lain yang bisanya dilakukan para calon kepala daerah adalah memasang iklan di media cetak, elektronik dan televisi nasional sehingga kurang dikenal oleh masyarakat. Seharusnya mereka memasang iklan di media cetak, elektronik maupun televeisi lokal, selain akan dikenal masyarakat juga menumbuhkan ekonomi di daerah.

Hajriyanto menegaskan apabila pilkada langsung dikembalikan ke mekanisme di DPRD, tentu masyarakat akan mempertanyakan karena pelaksanaan demokrasi telah di-distorsi.

"Rakyat bisa marah besar, karena selain aspirasinya diambil-alih oleh DPRD, dan juga tak lagi mendapat order dan pembagian uang. Dan, kembali ke parpol, DPR, dan pemerintah untuk meminimalisir segala kemungkinan ekses negatif yang ditimbulkannya," kata Wakil Sekjen Partai Golkar ini.

Ia menambahkan, daripada mengembalikan pilkada secara langsung ke mekanisme di DPRD, lebih baik dibuat aturan yang tegas di undang-undang maupun di internal partai politik agar untuk menjadi calon kepala daerah tidak diperlukan 'mahar politik' atau berbiaya murah sehingga seluruh masyarakat bisa menjadi calon kepala daerah asalkan memiliki kompetensi, dan bukan hanya orang-orang berduit saja.

Anggota Komisi II DPR Rahardi Zakaria juga sependapat jika pemilukada langsung tetap dipertahankan, dan tidak perlu dikembalikan ke mekanisme di DPRD.

"Mesti masih banyak madhorot-ekses negatifnya. Justru kalau dipilih DPRD tidak demokratis. Termasuk kalau wakil gubernur, wakil bupati dan wakil walikota ditunjuk pemerintah. Masak, pemimpin daerah orang tak berkeringat di partai, yang nantinya seorang wakil bisa menggantikan kepala daerah,” kata Rahardi.

Sementara itu, Sony Hari Harmadi, pengamat politik demografi UI mengatakan, sebagai negara yang besar, Indonesia juga memiliki konsekuensi politik yang besar juga.

"Negaranya yang besar, maka biaya politiknya juga besar. Yang menjadi masalah sekarang ini, adalah pilkda tidak dilakukan secara serentak sehingga menimbukkan biaya politik mahal. Sebaiknya pilkada dilakukan secara serentak, sehingga menghemat biaya dan tidak perlu dikembalikan ke DPRD," kata Sony.

Seperti diketahui, saat ini pemerintah diwakili Mendagri Gamawan Fauzi tengah membahas revisi UU Pilkada bersama Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan daerah dan otonomi daerah.

Mendagri mengusulkan pilkada gubernur dikembalikan ke DPRD, sementara pilkada bupati/walikota tetap dilakukan secara langsung.

 Editor : Surya