Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

RUU Ormas Dinilai Mengancam Komunitas Keberagaman
Oleh : si
Jum'at | 01-03-2013 | 13:30 WIB
yeni-wahid121114b.jpg Honda-Batam

Yenny Wahid

JAKARTA, batamtoday - Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) yang kini terus digodok Panitia Khusus (Pansus)  DPR RI dinilai mengancam dan mengekang keberadaan komunitas keagamaan yang tumbuh di tanah air sepertii majlis taklim, paroki, pengurus mushala, masjid, gereja, wihara dan sebagainya.

 

Organisasi-organisasi keagamaan yang umumnya memiliki struktur sederhana, namun tak berbadan hukum tersebut akan diatur dan dikontrol negara melalui RUU Ormas.

"Ini sebagai bentuk kontrol negara untuk mengawasi organisasi kemasyarakatan di Indonesia,"  tandas tandas Direktur The Wahid Institute (WI) Zannuba Arifah Chafshoh atau Yenny Wahid di Jakarta, Jumat (1/3/2013).

Pernyataan itu disampaikannya bersama Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI) yang digelar di gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dipimpin oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin.

Kegiatan ini dihadiri sejumlah pemimpin organisasi kemasyarakatan lintas agama sepeti Al-Washliyah, Syarikat Islam, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan sejumlah NGO yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berserikat (KBB).

Kontrol pemerintah tersebut lanjut Yenny, dilakukan sampai ke tingkat desa, di mana ormas yang tidak berbadan hukum juga diwajibkan memberitahukan keberadaannya secara tertulis dengan menyertakan  nama dan alamat organisasi, nama pendiri, tujuan dan kegiatan, nama pengurus.

Selain itu, mereka juga harus mendapatan Surat Keterangan Terdaftar. Aturan itu disebut dalam pasal 18 ayat 1 dan 2 dalam draf Panja Ormas DPR 5 Desember 2012.

Masyarakat juga harus melaporkan kepada pemerintah terkait dana dan bantuan yang diterima. Sebab, ada aturan di mana ormas dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas.

"Tidak boleh lagi ada istilah hamba Allah," kata Din Syamsudin.

RUU Ormas membagi ormas dalam dua kategori. Pertama, ormas berbadan hukum terdiri dari Yayasan dan Perkumpulan dan kedua, ormas tak berbadan hukum. Ormas tak berbadan hukum diwajibkan pula memeroleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari pemerintah.

Untuk mendapatkan itu, ormas harus memenuhi persyaratan administasi mulai dari AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan notaries, program kerja, kepengurisan, Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama ormas, dan kesanggupan melaporkan kegiatan.

Menurut puteri alm. Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur),  RUU Ormas juga mengancam dalam pelakasnaan hak warga negara untuk menjalankan agama dan keyakinannya, khususnya kelompok minoritas.

Misalnya larangan "melakukan penyalahgunaan, penistaan, dan/atau penodaan terhadap agama yang diakui di Indonesia" di Pasal 61 ayat 2 poin d. Kalimat agama yang diakui di Indonesia bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Uji Materi UU PNPS 1965.

Putusan lembaga ini menyatakan negara tak hanya mengakui enam agama, tapi juga mengakui kehadiran agama dan keyakinan lain di Indonesia. Mereka tak dihalangi dan bahkan diberi hak untuk tumbuh dan berkembang.

"Pasal dalam RUU itu justru mengancam komunitas minoritas di Indonesia,"  pungkas Yenny.

Editor : Surya