Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Karpet Biru untuk Ekonomi Hijau
Oleh : Dodo
Kamis | 21-02-2013 | 10:42 WIB

JAKARTA, batamtoday - Kerja, kerja dan kerja. Kondisi inilah yang harus dipenuhi Indonesia untuk beralih ke ekonomi hijau.



Peryataan ini dikemukakan oleh Sarwono Kusumaatmadja di tengah lemahnya kepemimpinan yang mampu menggerakkan hati dan pikiran masyarakat.

Hanya kerjalah yang mampu merebut persepsi masyarakat untuk mengadopsi sistem ekonomi ramah lingkungan dan berkelanjutan ini.

“Jika kita bisa merebut hati masyarakat dengan bekerja, negara akan ikut serta,” tuturnya dalam Seminar Nasional “Karpet Merah Ekonomi Hijau” yang berlangsung di Jakarta, kemarin.

Hadir sebagai pembicara Mubariq Ahmad, Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+; Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Pembina Yayasan Leuser Internasional; Sipet Hermanto, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah; Martua Sirait, Dewan Kehutanan Nasional; Rifqi Assegaf, Asisten Deputi 6 Bidang Hukum UKP4; dan Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif WALHI. Sedangkan Wimar Witoelar dari Yayasan Perspekftif Baru (YPB) menjadi moderator.

Menurut para panelis, ada tiga syarat agar ekonomi hijau berjalan baik di Indonesia. Syarat yang pertama adalah partisipasi semua pihak, terutama masyarakat terdampak dan masyarakat adat. Syarat kedua adalah perlunya dibentuk lembaga khusus untuk menangani isu-isu terkait ekonomi hijau. Dan syarat ketiga adalah penataan pertanahan (land governance) serta peraturan terkait.

Semua syarat di atas diperlukan guna memastikan penerapan ekonomi hijau mampu menjawab krisis perubahan iklim, krisis lingkungan, dan krisis sosial.

Menurut Martua Sirait, untuk bisa melibatkan masyarakat adat di sekitar dan di dalam hutan, penguasaan wilayah hutan perlu diperjelas. Saat ini, telah terjadi ketimpangan penguasaan hutan di Indonesia.

Kawasan hutan yang boleh dikelola masyarakat, luasnya hanya mencapai 0,25 juta hektar. Sementara, lahan yang diperuntukkan bagi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusaha Hutan (HPH) luasnya mencapai 35,8 juta hektar. “Yang harus dilakukan adalah memberikan kepastian tenurial dengan pengukuhan kawasan hutan, perluasan wilayah kelola rakyat, dan penyelesaian konflik,” ujar Martua.

Rifqi Assegaf dari UKP4 menyatakan, pembentukan tim atau badan atau lembaga khusus untuk menangani konflik tanah dan hutan merupakan sebuah langkah yang harus diambil pemerintah. Tim atau badan khusus tersebut beranggotakan berbagai stakeholders di pemerintahan dan masyarakat.

“Hal ini penting karena penyelesaian konflik tersebut melibatkan berbagai sektor di pemerintahan. Selain itu, penyelesaian konflik juga membutuhkan peran dan dukungan anggaran, perubahan aset, perubahan tata wilayah, dan lain-lain,” jelas dia. Landasan hukum untuk membentuk tim atau badan khusus, menurut Rifqi, sudah ada, misalnya Ketetapan MPR No.V Tahun 2003, dan Inpres No.2/2013.

Menurut Mubariq Ahmad, adopsi dan implementasi REDD+ adalah pintu masuk strategis menuju ekonomi hijau. Untuk itu, REDD+ perlu memeroleh dukungan kebijakan sebagai basis dari semua kegiatan ekonomi hijau, antara lain kebijakan tata guna lahan, tata batas hutan, moratorium, dan perbaikan sistem perizinan pemanfaatan lahan. “Karena target yang ingin dicapai melalui REDD+ adalah perbaikan tata kelola hutan dan lahan,” tuturnya.

Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, dunia saat ini menunggu kepemimpinan Indonesia dalam REDD+. “Namun sayang pernyataan ini tidak dihiraukan, mungkin karena kepemimpinan tidak sedang kita temukan,” tuturnya.

Menurut Abetnego Tarigan dari WALHI, kebijakan perubahan iklim kini sepenuhnya ada di tangan presiden. “Isu ini belum masuk ke ruang parlemen dan dikhawatirkan akan mati, karena masa jabatan presiden akan segera berakhir dan tidak bisa dipilih lagi,” tuturnya. Guna mencegah hal itu terjadi, perubahan iklim harus masuk pada perdebatan politik. “Jangan hanya bermain setengah kamar saja,” ujar Abetnego.

Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah saat ini menjelang berakhirnya kepemimpinan pada 2014. Seperti kelembagaan REDD+ yang belum terbentuk, penyelesaian konflik agraria, tumpang tindih peraturan dan peta pengelolaan kehutanan, hingga berakhirnya instruksi presiden (inpres) tentang moratorium hutan pada Mei nanti.

Sarwono menegaskan agar Indonesia berkonsentrasi pada hal-hal baik yang bisa dilakukan. “Kalau hal baik harus dibicarakan terus menerus sampai didengar,” ujarnya. Sehingga menurut Sarwono jangan kaget kalau dalam waktu dekat ini pemerintah akan keluar dengan istilah baru bernama ekonomi biru. “Karena pada intinya sama dengan ekonomi hijau, kita dengarkan saja isinya, kalau baik kita jalankan,” tuturnya lagi.

Sumber: Hijauku.com