Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Lakukan Liberalisasi Pendidikan, MK Bubarkan RSBI
Oleh : si
Selasa | 08-01-2013 | 18:54 WIB
Mahfud_MD.jpg Honda-Batam

PKP Developer


Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD

JAKARTA, batamtoday -Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengatur penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).



Mahkamah menilai RSBI/SBI bertentangan dengan UUD 1945 dan sebagai bentuk liberalisasi pendidikan, sehingga dengan keputusan ini maka RSBI/SBI yang ada saat ini harus dibubarkan.

"Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa, (8/1).

Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sistem Pendidikan berbunyi: "Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".

Hakim Konstitusi menyatakan memahami konsepsi SBI suntuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Namun menurut mereka amanat Undang-Undang untuk mencerdaskan bangsa tidak semata-mata dilakukan dengan mewajibkan penyediaan fasilitas untuk menghasilkan peserta didik dengan kemampuan setara dengan siswa di negara maju.

"Tetapi pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa. Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Selain itu, kata Anwar, pembedaan SBI/RSBI dengan sekolah lain dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun output pendidikan akan melahirkan perlakuan berbeda pada sekolah dan siswanya.

"Pembedaan perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah," katanya.

Mahkamah juga menyebutkan bahwa program RSBI/SBI lebih banyak dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga kaya, sehingga dianggap sebagai liberalisasi pendidikan. Beasiswa hanya disediakan untuk menampung anak-anak sangat cerdas yang jumlahnya tidak banyak.

"Sehingga anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi, yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin bersekolah di SBI/RSBI," kata Anwar.

MK juga menyatakan keberadaan RSBI/SBI menimbulkan pembedaan perlakuan terhadap akses pendidikan dan memunculkan komersialisasi pendidikan. MK menilai kelas internasional di sekolah negeri menjadikan pendidikan berkualitas menjadi barang mahal yang hanya dinikmati oleh mereka yang mampu secara ekonomi.

Padahal pendidikan berkualitas seharusnya bisa dinikmati oleh semua. "Terlebih lagi terhadap pendidikan dasar, sepenuhnya harus dibiayai oleh negara sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945," kata Anwar.

Menurut Mahkamah, kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional juga akan mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional.

"Berpotensi mengurangi jatidiri bangsa yang harus melekat pada setiap peserta didik, mengabaikan tanggung jawab negara atas pendidikan, dan menimbulkan perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang berkualitas sehingga bertentangan dengan amanat konstitusi."

Pengujian atas Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan tersebut sebelumnya diusulkan oleh sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Mereka meminta MK menguji pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas karena tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI ini lantaran mahal. Mereka adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan).