Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

SPI Tuding PT REKI Kriminalisasi Masyarakat Tani
Oleh : si
Jum'at | 30-11-2012 | 10:12 WIB

JAKARTA, batamtoday - Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang diberikan kepada PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI) di kawasan HPH eks Asialog dan Inhutani Muaro Jambi, Batanghari dan Sarolangun menimbulkan konflik yang berkepanjangan.


PT REKI yang baru didirikan pada tahun 2005, merupakan konsorsium dari Birdlife yang terdiri dari Birdlife Indonesia, Royal Society for Protection of Bird (RSPB), dan Birdlife International. Perusahaan tersebut dapat dikatakan secara langsung ataupun tidak langsung terkait dengan Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris, yang pada November 2008 lalu mengunjungi hutan eks HPH Asialog di Propinsi Jambi.

Bagi banyak kalangan, kunjungan tersebut dapat dikatakan sebagai diplomasi yang menekan agar PT REKI bisa mendapatkan ijin beroperasi di kawasan hutan. Kemudian diketahui, bahwa PT REKI mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dengan SK Menhut No 327/Menhut-II/2010 25 Mei 2010 tentang IUPHHK Restorasi Ekosistem Hutan seluas 46.385 Ha di Provinsi Jambi.

Padahal, jauh sebelum PT REKI mendapatkan konsesi selama 1 abad (100 tahun) sesuai SK Menhut No 327/Menhut-II/2010 25 Mei 2010 itu, masyarakat petani sudah memasuki lahan tersebut.

Artinya, dalam proses penerbitan ijin banyak hal yang diabaikan terkait situasi sesungguhnya di kawasan yang masuk dalam perijinan itu. Beberapa titik di kawasan tersebut sudah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat, baik dari sekitar hutan maupun daerah lainnnya. Termasuk di dalamnya terdapat juga suku Anak Dalam.

"Jadi yang ada dalam kawasan HPH eks Asialog itu, tidak hanya angota SPI, namun banyak juga masyarakat lainnya," ujar Agus Ruli, Ketua Departemen Polhakam Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta, kemarin.

Ruli menerangkan, di media massa Yusuf Cahyadin Direktur PT REKI (saat itu) mengatakan bahwa terjadi perambahan hutan di kawasannya yang mencapai 16.200 hektar. Dengan komposisi penguasaan 60 persen-nya memiliki lebih dari 25 hektar hingga lebih dari 100 hektar per orang, yang ditanami sawit.

Dalam beberapa kesempatan, secara publik dia juga membangun opini bahwa Serikat Petani Indonesia (SPI) sebagai pelaku yang terorganisir merusak hutan dan ilegal logging.

"Ini bertolak belakang dengan yang ditemukan oleh tim terpadu KP3RE (termasuk di dalamnya PT REKI) di lapangan, banyak permukiman dan lahan pertanian masyarakat," ungkapnya.

Ruli juga menegaskan, SPI secara tegas menyangkal tuduhan fitnah PT REKI, karena hingga kini yang berhasil SPI tertibkan adalah 4.000 hektar yang terdiri lebih dari 700 KK. Dimana di kawasan tersebut dikelola secara berkelanjutan, tersedia lahan untuk fungsi sosial, dan lingkungan.

"Kami menjamin, anggota SPI tidak ada yang penguasaan lahannya hingga ratusan hektar seperti yang dituduhkan," tegasnya.

Bahkan, SPI per tanggal 19 April 2012 bersama Dinas Kehutanan Propinsi Jambi telah menandatangani kesepakatan yang terdiri dari 3 poin. Pertama, Dinas Kehutanan Propinsi Jambi akan melakukan upaya penyelesaian konflik lahan di wilayah propinsi Jambi sebatas kewenangan yang dimilikinya.

Kedua, memfasilitasi tuntutan masyarakat terhadap sengketa lahan kepada Menteri Kehutanan. Dan ketiga, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi bersama Serikat Petani Indonesia (SPI) sepakat untuk memberantas ilegal logging dan menghentikan proses penanaman kelapa sawit di dalam kawasan hutan.

"PT REKI telah menggunakan cara-cara kekerasan dan kriminalisasi. Opini yang disampaikan adalah seakan-akan masyarakat tani yang berbuat kekerasan, penculikan dan pengrusakan. Yang tidak disampaikan kepada publik adalah, tindakan PT REKI yang menyebabkan konflik semakin berlarut-larut," ungkapnya lagi. 

Ia mencontohkan, pertama pada 5 Oktober 2010 lalu telah terjadi penangkapan dan pemukulan terhadap warga tani, Asnan, oleh kepolisian bersama pihak keamanan PT REKI. Saat itu yang ditangkap tidak hanya Asnan, tiga warga lainnya, yakni Iing, Satar dan Iskandar.

Kedua, pada 23 Juli 2012, dua anggota SPI ditangkap di halaman kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari. Keduanya ditangkap ketika menghadiri undangan Dinas Kehutanan Pemkab. Batanghari, Jambi dalam rangka pembahasan rencana inventarisasi lahan masyarakat di wilayah Bukit Sinyal yang berkonflik dengan PT REKI.

Ketiga, penangkapan terhadap 13 anggota SPI pada tanggal 18 Oktober 2012 oleh tim gabungan Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC), Brimob, dan pihak keamanan PT REKI.

Selain kekerasan fisik, PT REKI juga menggunakan cara-cara teror dan intimidasi serta mendesain konflik horizontal. Hal ini dilakukan dengan menggunakan organisasi kemasyarakatan atau laskar milisi sipil. Mereka melakukan teror melalui pesan singkat, dan bahkan mengitimidasi langsung kepada pimpinan SPI di Jambi.

"Bagi SPI, menggunakan milisi seperti ini sangat berpotensi terjadinya konflik horizontal, yang tentunya mengganggu proses penyelesaian konflik itu sendiri," tandasnya.

Achmad Yakub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP SPI, menambahkan, kegagalan PT REKI mengidentifikasikan masalah, menuduh dengan serampangan, menangkapi petani bersama Polisi Kehutanan dan Polri, menyebarkan opini yang buruk terhadap SPI, merupakan tindakan dan cara-cara lama dalam penyelesaian konflik agraria, yang semuanya ini memperlihatkan ketidakmampuan PT REKI sendiri.

Ketidakcakapan PT REKI mengelola hutan juga terkuak dalam SK Menhut No 293/Menhut-II/2007: 28 Agustus 2007 di Provinsi Sumatera Selatan seluas 52.170 Ha. Dari hasil Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) yang dilakukan oleh auditor Ayamaru Certification, PT REKI dinyatakan kinerjanya berpredikat buruk, sehingga dinyatakan tidak lulus.

Bagaimana tidak, dengan luas kawasan sedemikian rupa, perusahaan memiliki tenaga teknis kehutanan hanya 6 orang sarjana kehutanan dan tenaga teknis PHPL 5 orang. Jumlah GANIS PHPL dinilai tidak memadai dengan realisasi sebesar 33,3 persen untuk dua unit.

Tidak hanya itu, nilai buruk didapatkan oleh PT REKI terkait tingkat investasi dan reinvestasi yang memadai dan memenuhi kebutuhan dalam pengelolaan hutan, administrasi, penelitian dan pengembangan, serta peningkatan kemampuan SDM. Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air akibat pemanfaatan hutan, juga dinilai buruk.

"PT REKI melaporkan bahwa tidak terdapat perubahan fungsi hutan pada areal kerja PT REKI sampai saat ini. Namun terdapat bukti upaya PT REKI untuk mendata dan melaporkan penggunaan kawasan di luar sektor kehutanan yang dilakukan tanpa melalui prosedur perijinan yang berlaku oleh BP Migas/PT Elnusa, PT Conoco Philips dan PT Barasentosa Lestari. Artinya, di kawasannya terdapat perusahaan-perusahaan besar namun tidak bertindak keras seperti memperlakukan masyarakat tani. Keseriusan, komitmen dan kapasitas PT REKI yang punya konsesi yang sangat luas hampir mencapai 100.000 hektar dalam jangka waktu 1 abad sangat diragukan," ungkap Yakub

Langkah yang paling mungkin dalam penyelesaian konflik, yang harus dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kehutanan, kata Yakup, adalah dengan merevisi luasan konsesi PT REKI yang begitu luas dan berjangka waktu sebad tersebut. Karena sebelum ijin dikeluarkan, masyarakat sudah berada dan mengolah lahan tersebut dengan baik untuk kehidupannya.

"Demikian juga kapasitas dan kemampuan perusahaan PT REKI, ternyata kinerjanya berpredikat buruk. Sehingga merevisi luasan konsesi PT REKI yang begitu luas dan berjangka waktu sebad itu merupakan langkah yang tepat dan secepatnya harus segara diambil. Jika tidak, kemungkinan kerusakan hutan oleh pihak-pihak tertentu akan terus terjadi," tandasnya.