Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dua 'Pemain' PMI Ilegal Lewat Pelabuhan Resmi di Batam Hanya Divonis 2 Tahun Penjara
Oleh : Paskalis Rianghepat
Jumat | 04-07-2025 | 15:08 WIB
AR-BTD-4512-Sidang-PMI-Ilegal.jpeg Honda-Batam
Terdakwa Misno bin Sirun dan Roni Suryadi, saat menjalani sidang pembacaan vonis di PN Batam, Kamis (3/7/2025). (Foto: Paskalis Rianghepat/Batamtoday)

BATAMTODAY.COM, Batam - Pengadilan Negeri (PN) Batam menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 200 juta kepada dua terdakwa kasus penempatan ilegal Pekerja Migran Indonesia (PMI), yakni Misno bin Sirun dan Roni Suryadi.

Vonis tersebut dibacakan majelis hakim dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis (3/7/2025). Majelis Hakim yang diketuai Irpan Lubis, dengan anggota hakim Feri dan Rinaldi, menyatakan kedua terdakwa terbukti sah dan meyakinkan terlibat dalam praktik penempatan PMI secara ilegal.

"Perbuatan para terdakwa tidak hanya melanggar aturan administratif, tetapi juga membuka peluang terjadinya eksploitasi terhadap calon pekerja migran yang diberangkatkan tanpa perlindungan hukum," kata hakim Irpan Lubis, saat membacakan amar putusan.

Majelis juga memerintahkan agar kedua terdakwa tetap ditahan. Masa penahanan yang telah dijalani akan diperhitungkan dan dikurangkan dari total hukuman.

Putusan ini lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Izhar, yang sebelumnya menuntut keduanya dihukum tiga tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. "Para terdakwa secara sadar dan terencana memfasilitasi keberangkatan lima warga negara Indonesia ke Singapura tanpa melalui mekanisme penempatan resmi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia," jelas jaksa Izhar, saat membacakan tuntutannya.

Dalam dakwaan jaksa terungkap, kasus ini berawal dari aktivitas terdakwa di sekitar Kedai Kopi Kona, kawasan Jodoh, Batam, pada akhir Oktober 2024. Misno diketahui menjadi perantara antara seorang bernama Heri dengan lima calon PMI yang ingin bekerja ke Singapura.

Gelombang pertama pemberangkatan terjadi pada 29 Oktober 2024, ketika tiga perempuan calon PMI, yakni Henny Nur Qamdiyah, Lilis Ayad Asan, dan Enok Tini Hartiningsih, dikirim ke Singapura melalui jalur resmi Pelabuhan Ferry Internasional Batam Center. Heri mentransfer dana sebesar Rp 6,9 juta ke rekening Misno untuk mengurus paspor, tiket ferry, serta dokumen keimigrasian, sementara masing-masing calon PMI menerima uang saku Rp 450 ribu.

Gelombang kedua direncanakan pada 31 Oktober 2024 untuk dua calon PMI lainnya, Tri Hartati dan Lailatul Fitriyah. Namun, keberangkatan mereka berhasil digagalkan aparat Direktorat Kriminal Khusus Polda Kepri yang mengamankan keduanya di pelabuhan sekitar pukul 13.00 WIB. Tak lama kemudian, Misno turut ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk pemeriksaan.

Dalam praktiknya, terdakwa Misno bekerja sama dengan Roni Suryadi, yang berperan mengatur alur dokumen dan pembiayaan pemberangkatan. Dana sekitar Rp 2,4 juta disebut ditransfer ke rekening atas nama Seto Riady Putra guna mengurus dokumen dan keberangkatan para calon PMI.

Jaksa Izhar menilai perbuatan para terdakwa tidak hanya melanggar hukum keimigrasian dan ketenagakerjaan, tetapi juga menunjukkan pola sistematis dalam penempatan tenaga kerja secara ilegal. "Mereka menggunakan jalur resmi dengan dokumen yang tampak sah, namun prosesnya sama sekali di luar pengawasan negara. Tidak ada perlindungan hukum, tidak ada perjanjian kerja, dan kondisi ini membuka celah terjadinya eksploitasi," tegas Izhar.

Meski para terdakwa juga sempat dikenakan dakwaan alternatif terkait Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), majelis hakim memutuskan hanya menguatkan unsur penempatan ilegal karena belum cukup bukti yang menunjukkan adanya eksploitasi langsung.

Kasus ini menjadi peringatan bahwa jalur keluar masuk pekerja migran melalui pelabuhan resmi masih rentan disalahgunakan. Modus yang digunakan tampak legal di permukaan, namun bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum dan hak asasi pekerja migran.

Editor: Gokli