Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mahfud Nilai Birokrasi Hambat Penegakan Hukum di Indonesia
Oleh : si
Jum'at | 09-11-2012 | 19:04 WIB
Mahfud_MD.jpg Honda-Batam

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD

JAKARTA, batamtoday - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfudh MD menegaskan jika Indonesia sebagai negara hukum ini sudah berjalan bagus, hanya tinggal membenahi birokrasi yang justru sering menghambat penegakan hukum itu sendiri.



Contohnya MK, Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) tergolong bagus, bukan karena Mahfud MD, Abraham Samad dan Eman Suparman yang hebat, melainkan karena orang-orang baru dan institusi baru yang terlepas dari birokrasi lama, yang terbelenggu berbagai hal yang menghambat penegakan hukum.

“Sebutlah Hendarman Supandji, sebelum adalah hakim yang hebat dan bersih, tapi begitu masuk Kejagung,  beliau tidak bisa berbuat banyak karena terbelenggu birokrasi lama, yang justru menghambat penegakan hukum di Kejagung sendiri,” tandas Mahfudh MD dalam diskusi hukum dan keadilan yang digelar oleh PP Ikatan Sarjana Nahdlatukl Ulama (ISNU) bersama Ketua Umum ISNU Ali Masykur Musa dan pengamat hukum tata negara Refly Harun di Gedung PBNU Jl. Kramat Raya Jakarta, Jumat (9/11/2012).

Mahfud sepakat jika tiga elemen hukum, yaitu substansi, strukutur, dan kultur hukum itu harus saling menguatkan. “Substansi atau materi hukumnya sudah bagus, kulturnya sudah bagus, dan hanya strukturnya yang belum direformasi. Banyak pejabat hukum yang memberikan keputusan hukum berbeda-beda, bahkan bertentangan dengan suara hati nurani rakyat,” katanya.

Menurut Mahfud, pejabat dan birokrasi itu harus terputus dari masa lalu karena masa lalu itu sarat dengan korupsi, dan suap menyuap. Seperti yang dilakukan oleh Jeman, Amerika Latin, Yugoslavia dan negara dunia lainnya itu memutuskan rantai dengan masa lalu, dan mengampuni pejabat masa lalu, dan selanjutnya membangun trandisi penagakan hukum baru sampai dihukum mati.

“Jadi, birokrasi dan elit kita yang tersandera dengan masa lalu yang membuat kultur hukum kita ini buruk, padahal kultur rakyat sangat bagus,” ujarnya.

Sementara Refly Harun mengatakan, struktur hukum masih ermasalah, karena terbukti banyak UU yang direvisi atau judicial review oleh rakyat. Untuk itu, kultur hukum tanpa struktur hukum yang bagus hanya di atas kertas saja. Misalnya, apakah harus dimulai dari proses pemilu?

“Eksekutif, yudikatif dan legislatif? Dengan syarat 20 persen kursi DPR dan 35 persen suara pemilu misalnya, maka ini menghambat capres alternatif yang sesungguhnya lebih bebih baik daripada yang diusung oleh parpol. Sehingga siapa yang akan menjadi pemimpin negara ini selalu ditentukan oleh oligarki elit parpol, dan akan berkuasa ya itu-itu saja,” ungkap Refly kecewa.

Sedangkan Ali Masykur menilai hukum Indonesia bermasalah di tingkat struktur, substansi, dan kultur hukum sekaligus. Struktur mencakup institusi penegakan hukum beserta aparaturnya seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Substansi meliputi keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.

Di tingkat struktur kata Ali Masykur, Indonesia belum mempunyai institusi penegak hukum yang berwibawa dengan banyaknya kasus mafia peradilan dan korupsi yang melibatkan oknum-oknum kepolisian, kejaksaan, hakim, dan pengacara. Institusi penegak hukum justru terbelit dengan persoalan hukum. Hakim tindak pidana korupsi justru menjadi tersangka dalam kasus suap dan korupsi. Jaksa memilih dan membuang pasal-pasal penuntutan berdasarkan transaksi kepentingan.

“Pengacara bekerja berdasarkan orientasi laba mengabaikan kode etik profesi penegak hukum. Kepolisian jatuh wibawanya karena para perwira kepolisian tengah diseret ke proses hukum. Lembaga peradilan justru menjadi lembaga yang melawan keadilan. KPK yang diharapkan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi kini tengah menghadapi upaya pengerdilan. Pada prinsipnya, kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga hukum dan aparaturnya berada di titik nadir,” tuturnya prihatin.

Terbukti di tingkat substansi, banyak produk hukum dan perundang-undangan yang dibuat dengan mengingkari dasar, semangat, dan filosofi bernegara sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945. Akibatnya, banyak sekali produk perundang-undangan yang dimintakan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejak 2003 hingga Juli 2012, MK telah menerima permohonan uji materi sebanyak 460 Undang-Undang, 138 di antaranya (27 persen) dibatalkan oleh MK. Hal ini menunjukkan rendahnya substansi peraturan yang dibuat. Dalam pernyataan Ketua MK, Mahfud MD, buruknya kualitas UU akibat praktik jual beli kepentingan.

Sementara di tingkat kultur, masih ada kesenjangan antara hukum dalam tulisan dan hukum dalam perbuatan (law in the books dan law in action). Hukum gagal mendapat tempat dalam kerangka budaya masyarakat karena hukum dibuat berbeda dengan keinginan mereka. Akibatnya, menegakkan supremasi hukum ibarat menegakkan benang basah karena hukum dibuat sekadar sebagai peraturan untuk dilanggar karena tidak berjangkar dari nilai-nilai masyarakat, tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, tidak melindungi dan membela kepentingan mereka.

Dengan demikian, klaim-klaim tentang rendahnya budaya hukum masyarakat sebagai kendala penegakan hukum harus juga diusut dari kualitas dan substansi hukumnya dan penegakannya.

“Jadi, jika hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, ia akan kehilangan pijakan moral untuk ditaati. Jika hukum perkasa di hadapan pencuri sandal jepit tapi lumpuh di hadapan koruptor kakap, ia akan kehilangan wibawa sebagai instrumen keadilan untuk semua. Jika hukum gagal memenuhi harapan masyarakat, ia akan kehilangan fungsi sebagai instrumen tertib sosial. Karena itu, ISNU mendesak reformasi menyeluruh sistem hukum di Indonesia dengan meningkatkan peran dan kapasitas BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) dalam proses pembuatan hukum agar selaras dan sejalan dengan cita-cita nasional dan tujuan bernegara,” tegas Ali Masykur.