Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menjaga Objektivitas Transparansi Lembaga Survei dalam Penilaian Citra Penegak Hukum
Oleh : Opini
Minggu | 26-01-2025 | 15:08 WIB

Oleh Prof. Dr. H.M. Soerya Respationo, S.H., M.H., M.M

HASIL SURVEI terbaru Litbang Kompas yang mencatat peningkatan citra baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 60,9 persen pada September 2024 menjadi 72,6 persen di Januari 2025 merupakan sebuah capaian yang patut diapresiasi.

Namun, sebagai akademisi dan praktisi hukum, saya, Prof. Dr. H.M. Soerya Respationo, S.H., M.H., M.M., Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Batam, ingin menggarisbawahi perlunya masyarakat memahami lebih mendalam konteks, metodologi, dan parameter yang digunakan dalam survei ini.

Pemahaman yang objektif dan komprehensif sangat penting agar data survei tidak hanya menjadi sekadar angka, tetapi juga menjadi refleksi atas kinerja penegakan hukum secara menyeluruh.

Lebih lanjut, dalam diskursus mengenai citra lembaga penegak hukum, penting untuk tidak hanya berfokus pada peningkatan persepsi terhadap satu institusi, melainkan juga melihat kontribusi kolektif dari semua pihak yang terlibat, termasuk kejaksaan.

Kejaksaan telah menunjukkan konsistensinya dalam mengungkap kasus-kasus besar, memulihkan aset negara, dan menjadi pelopor dalam penerapan keadilan restoratif.

Dalam konteks ini, transparansi lembaga survei menjadi kunci untuk memberikan informasi yang kredibel dan edukatif, sekaligus menjaga kesatuan antarlembaga penegak hukum agar tetap harmonis dan sinergis dalam menjalankan tugas konstitusionalnya.

Kejaksaan Tetap Konsisten dalam Penegakan Hukum dan Pemulihan Aset Negara

Dalam perspektif penegakan hukum, kejaksaan sebagai institusi penegak hukum telah menunjukkan kinerja yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Keberhasilan kejaksaan dalam mengungkap kasus-kasus besar, seperti korupsi tata niaga timah periode 2015-2022 yang melibatkan lima korporasi, merupakan bukti nyata dari dedikasi mereka.

Kasus ini saja berhasil menyelamatkan keuangan negara hingga triliunan rupiah. Selain itu, kejaksaan terus fokus pada pemulihan aset dan pengembalian kerugian negara, aspek penting yang kadang tidak terlalu menjadi sorotan dalam survei persepsi publik.

Berikut beberapa besar yang ditangani oleh Kejaksaan Agung dalam beberapa tahun terakhir yang menunjukkan Kinerja Signifikan dalam penegakan hukum dan pemulihan kerugian negara:

1. Kasus Korupsi Jiwasraya

Kasus ini melibatkan dugaan pengelolaan dana investasi yang tidak wajar di PT Asuransi Jiwasraya, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun. Praktik manipulasi laporan keuangan dilakukan bertahun-tahun untuk menunjukkan laba palsu.

Kejaksaan menetapkan 13 tersangka, termasuk direktur perusahaan dan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan dana investasi. Aset para pelaku, berupa properti, kendaraan mewah, dan uang tunai, disita untuk menutupi kerugian negara.

2. Kasus Korupsi Asabri

Serupa dengan Jiwasraya, korupsi di PT Asabri terjadi dalam pengelolaan dana investasi yang merugikan negara hingga Rp22,7 triliun. Kejaksaan menetapkan beberapa tersangka, termasuk petinggi perusahaan dan mitra bisnis. Barang bukti berupa tanah, bangunan, saham, dan kendaraan mewah disita untuk mengembalikan kerugian negara.

3. Kasus BTS 4G

Korupsi terjadi dalam pengadaan BTS 4G yang dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, dengan kerugian negara mencapai Rp8 triliun. Dari investigasi mendalam yang dilakukan oleh kejaksaan, beberapa pejabat kementerian dan pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian dilakukan penelusuran aliran dana dan penyitaan aset koruptor untuk pemulihan kerugian negara, sebagai upaya untuk penyelematan keuangan Negara.

4. Kasus Korupsi Minyak Goreng

Kasus ini melibatkan pelanggaran dalam distribusi minyak goreng yang menyebabkan kelangkaan dan melonjaknya harga. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun. Kejaksaan menangkap beberapa pejabat dan pengusaha yang terlibat. Aset pelaku disita, termasuk dokumen dan uang tunai, untuk mengembalikan kerugian negara.

5. Korupsi Tata Niaga Timah di PT Timah Tbk

Kerugian negara mencapai Rp271 triliun akibat praktik ilegal dalam tata niaga timah selama beberapa tahun. Kejaksaan menetapkan lima tersangka, termasuk pejabat tinggi. Penelusuran aset di dalam dan luar negeri untuk memulihkan kerugian negara.

Setiap kasus ini menunjukkan peran strategis Kejaksaan dalam menegakkan hukum dan memulihkan keuangan negara. Keberhasilan ini menjadi bukti nyata bahwa kejaksaan tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada pemulihan aset yang hilang.

Kejaksaan sebagai Pelopor Penerapan Keadilan Restoratif

Tidak hanya itu, kejaksaan juga telah menjadi pelopor dalam penerapan konsep keadilan restoratif atau restorative justice. Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk memberikan petunjuk teknis dalam penanganan perkara pidana, termasuk mendorong penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif.

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif memberikan dasar operasional bagi jaksa untuk menghentikan penuntutan kasus tertentu dengan mempertimbangkan kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat.

Konsep restoratif justice diterapkan dalam kasus-kasus tertentu yang memenuhi syarat, seperti perkara ringan, tidak berulang, dan tidak menimbulkan dampak luas.

Sebagai contoh dalam beberapa kasus, petani miskin yang mencuri hasil kebun untuk kebutuhan keluarga diberikan solusi mediasi antara pelaku dan korban. Pelaku diwajibkan mengganti kerugian, dan kasus dihentikan demi tercapainya perdamaian.

Contoh lain penerapan konsep restorative justice yaitu pada kasus tindak pidana ringan oleh Anak. Anak yang terlibat tindak pidana ringan, seperti perkelahian atau pencurian kecil, diarahkan untuk mediasi dengan korban dan diberi pembinaan tanpa harus masuk penjara.

Pendekatan ini mengurangi beban lembaga pemasyarakatan dalam mengurangi overkapasitas, memulihkan hubungan sosial, dan sekaligus memberikan rasa keadilan yang lebih humanis bagi masyarakat.

Langkah ini selaras dengan teori hukum progresif yang bertujuan menciptakan sistem peradilan yang lebih inklusif dan berorientasi pada solusi. Prof. Satjipto Rahardjo, tokoh hukum progresif di Indonesia, mendasari pendekatan hukum pada prinsip:

1. Hukum untuk Manusia, Bukan Sebaliknya

Hukum tidak boleh menjadi alat yang kaku, tetapi harus melayani keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, restoratif justice dianggap lebih humanis dibanding pendekatan hukum retributif.

2. Pentingnya Kearifan Lokal

Dalam masyarakat Indonesia yang kaya dengan tradisi musyawarah dan gotongroyong, pendekatan restoratif justice dianggap lebih relevan karena mengedepankan penyelesaian konflik melalui dialog dan kesepakatan bersama.

Menurut Satjipto Rahardjo, keadilan bukan hanya soal kepatuhan terhadap norma hukum tertulis, tetapi juga keadilan substantif yang dirasakan masyarakat. Dengan demikian, penerapan restoratif justice dalam berbagai konteks mampu mencerminkan keadilan yang hidup (living law) di tengah masyarakat.

Penerapan konsep restoratif justice oleh kejaksaan tidak hanya memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai keadilan substantif yang diajarkan oleh Satjipto Rahardjo.

Pendekatan ini memberikan ruang bagi penyelesaian konflik secara damai, memulihkan hubungan sosial, dan memberikan solusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, tanpa mengurangi efektivitas penegakan hukum.

Langkah ini harus terus dikembangkan dan didukung oleh semua pihak untuk membangun sistem hukum yang lebih inklusif dan berorientasi pada keadilan sosial.

Kejaksaan memang layak diapresiasi atas dedikasinya, baik dalam menangani perkara korupsi berskala besar maupun dalam upaya mewujudkan sistem peradilan yang berkeadilan.

Oleh karena itu, dibandingkan hanya mengukur persepsi publik secara subjektif, diperlukan data yang lebih transparan, termasuk metodologi survei, agar masyarakat dapat menilai secara lebih obyektif.

Pentingnya Transparansi Lembaga Survei:

1) Kredibilitas Metodologi dan Parameter Penilaian
Transparansi dalam metodologi dan parameter penilaian adalah inti dari kredibilitas lembaga survei. Kajian dalam research ethics menekankan pentingnya keterbukaan untuk memastikan hasil survei dapat diverifikasi dan dipahami oleh masyarakat luas.

Misalnya, jika parameter penilaian mencakup efektivitas penanganan kasus atau tingkat kepuasan masyarakat, maka metode pengumpulan data, seperti wawancara atau kuesioner, harus dijelaskan secara rinci. Transparansi ini penting agar masyarakat memahami bahwa hasil survei mencerminkan fakta, bukan persepsi yang imanipulasi.

2) Menumbuhkan Kesadaran Publik Berbasis Ilmu
Lembaga survei memiliki tanggung jawab moral untuk meningkatkan literasi hukum di masyarakat melalui penyajian data yang jujur dan edukatif.

Berdasarkan teori komunikasi publik, transparansi informasi memungkinkan masyarakat untuk memahami proses kerja lembaga penegak hukum dengan lebih baik, sehingga meningkatkan kepercayaan dan partisipasi mereka.

Dengan menyajikan metode dan hasil secara terbuka, masyarakat tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga pengetahuan yang mendorong pengawasan berbasis fakta terhadap lembaga penegak hukum.

3) Mencegah Manipulasi Persepsi Publik
Dalam perspektif critical discourse analysis, survei yang tidak transparan berisiko menciptakan manipulasi persepsi publik melalui framing yang bias. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tertentu.

Sebaliknya, transparansi dalam survei akan memberikan kontrol yang lebih besar kepada masyarakat untuk memahami konteks dan validitas hasil yang disampaikan. Akibatnya, survei akan menjadi alat pengukur yang efektif untuk memperbaiki kinerja lembaga penegak hukum, bukan sekadar menciptakan narasi sensasional.

Menjaga Kesatuan Lembaga Penegak Hukum

Saya juga mengingatkan bahwa penting bagi lembaga survei untuk tidak memperuncing perbandingan yang berpotensi memecah belah antara KPK dan kejaksaan. Kedua institusi ini memiliki peran strategis dalam penegakan hukum dan seharusnya saling mendukung dalam membangun sistem hukum yang kokoh di Indonesia.

Dalam sistem hukum yang saling mendukung, peran kedua institusi ini tidak dapat saling dibandingkan secara kompetitif. Keduanya memiliki kewenangan, metode kerja, dan lingkup penanganan kasus yang berbeda. Sebagai contoh, menurut konsep checks and balances, koordinasi antara penegak hukum justru diperlukan untuk memperkuat akuntabilitas dan integritas sistem hukum secara keseluruhan.

Membenturkan citra kedua institusi hanya akan mengurangi kepercayaan publik dan memperlemah kerjasama antarlembaga. Secara ilmiah, perbandingan harus mempertimbangkan perbedaan tugas dan wewenang yang mendasari fungsi KPK dan kejaksaan.

Kajian dalam hukum administrasi publik menekankan bahwa setiap lembaga memiliki mandat spesifik berdasarkan undang-undang yang berlaku. KPK berfokus pada pencegahan dan pemberantasan korupsi, sementara kejaksaan memiliki fungsi penuntutan dan pemulihan aset negara.

Menekankan perbedaan ini melalui survei yang transparan dan komprehensif akan mendorong pemahaman yang lebih baik di kalangan masyarakat.

Kajian dalam teori organisasi menegaskan bahwa sinergi antarlembaga menjadi elemen kunci keberhasilan sistem yang kompleks. Lembaga survei seharusnya mempromosikan narasi kolaborasi antara KPK dan kejaksaan dalam menyelesaikan kasus-kasus besar, daripada menonjolkan perbandingan yang berpotensi menimbulkan kesan persaingan.

Narasi yang positif akan meningkatkan kepercayaan publik secara kolektif terhadap seluruh lembaga penegak hukum, memperkuat legitimasi, dan mendukung upaya pemberantasan korupsi secara sistematis.

Dengan memastikan transparansi dan menghindari narasi yang memperuncing perbedaan, lembaga survei dapat berkontribusi pada penguatan sistem hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.

Sebagai masyarakat, kita semua harus mendukung langkah-langkah konstruktif kedua lembaga ini dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dapat terus meningkat, seiring dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme mereka.

Penulis adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Batam