Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dapat Timbulkan Dampak Negatif

Benny Dukung Upaya Pengusaha Tolak Raperda Pajak Daerah Kota Batam
Oleh : Surya Irawan
Senin | 07-03-2011 | 15:18 WIB
benny_horas_panjaitan.jpg Honda-Batam

Mantan Anggota DPD Kepri Benny Horas Panjaitan

Jakarta, batamtoday - Mantan Angggota DPD Kepulauan Riau (Kepri) Benny Horas Panjaitan mendukung upaya pengusaha yang menolak Ranperda Pajak-Pajak Daerah Kota Batam. Raperda itu dinilai belum saatnya diberlakukan, karena masih butuh penyesuaian dan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak menimbulkan dampak negatif.

"Saya kira Walikota Batam terlalu ambisi mau meningkatkan PAD melalui peningkatan pajak-pajak daerah, sementara infrastruktur belum memadai, disamping daya beli masyarakat yang belum mendukung untuk dikenai pajak-pajak baru," kata Benny di Jakarta, Senin (7/3/2011).

Menurut Benny, penyaluran PAD Kota Batam tahun lalu sebesar Rp 300 miliar  saja tidak transparan dan bukan digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Lebih dari 80 persen PAD, lanjutnya, tidak digunakan untuk membangun jalan, pelabuhan, ketersedian listrik dan air.

"Harusnya retribusi yang dipungut, harusnya dikembalikan ke masyarakat melalui pembangunan infrastruktur. Jadi masih banyak yang harus dilakukan Walikota Batam, selain memungut pajak-pajak daerah. Harusnya Ahmad Dahlan transparan soal penggunaan PAD," katanya.

Selama 5 tahun periode pertama, tegas Benny, tidak ada prestasi yang bisa di banggakan dalam membangun Kota Batam. Ia berpendapat, nyaris tidak ada kemajuan sama sekali selama Ahmad Dahlan memimpin Kota Batam pada periode pertama saat berpasangan dengan Ria Saptarika sebagai Wakil Walikota Batam.

"Kita lihat pembangunan infratruktur hanya mengaspal jalan saja, itu pun mau kampanye Pilwako lalu. Ini yang sangat kita sesalkan," katanya.

Benny berharap Walikota Batam Ahmad Dahlan membatalkan Raperda Pajak-Pajak Daerah,dan dilakukan kajian lebih langjut sehingga tidak asal pungut restribusi tanpa melihat daya beli masyarakat. Raperda Pajak-Pajak Daerah itu, menurut Benny, sebaiknya diterapkan dalam kurun waktu 3 tahun mendatang, setelah ada persiapan dari pengusaha dan masyarakat.

"Kalau mau diterapkan 3 tahun lagi setelah semuanya siap, pengusahanya siap dan masyarakatnya juga siap. Kalau sekarang diterapkan akan menyebabkan inflasi, dan pendapatan masyarakat kita masih rendah," katanya.

Dahlan selaku Walikota Batam, kata Benny, hendaknya harus belajar dari kasus penerapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dengan status free trade zone (FTZ) di Batam yang belum memberikan dampak positif bagi masyarakat, padahal telah diterapkan 3 tahun yang lalu. Disamping itu, pemerintah juga akan merevisi PP No.2 tahun 2009 tentang Kepabeanan Barang Masuk di FTZ Batam sehingga tidak tepat bila Raperda Pajak-Pajak Daerah Kota Batam itu dipaksakan diberlakukan, dan bisa dianggap melanggar peraturan perundang-undangan.

"Dampak positif dari FTZ di Batam saja belum belum dinikmati masyarakat. FTZ belum optimal, jadi jangan terlalu ambisi menerapkan Raperda Pajak-Pajak Daerah untuk meningkatkan PAD," katanya.

Benny menambahkan, bila Walikota Batam tetap memaksakan pemberlakuan Pajak-Pajak Daerah Kota Batam,Dahlan tau ubahnya seperti Amangkurat atau pemerintahan Kolonial Belanda yang selalu meminta upeti atau mengenakan pajak kepada rakyatnya. Seharusnya, Pemko Batam mau menerima masukan dari para stake holder di daerah sebelum mengesahkan Raperda Pajak-Pajak Daerah Kota Batam itu.  

Hal senada disampaikan mantan Ketua Pansus RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Harry Azhar Azis. Azis juga menilai, berdasarkan UU No.28 tahun 2009 tentang PDRD, Pemko Batam tidak bisa asal memungut pajak dari masyarakat tanpa melihat kebutuhan daerah. "Jadi Perda itu kebutuhan, karena pusat mengalihkan beberapa pajak ke daerah. Seperti PBB dan BPHTB,” kata Harry. 

Sebenarnya, kehadiran UU PDRD bukan untuk memberatkan masyarakat dan pengusaha sehingga bila ada yang keberatan harus dilakukan kajian. “Harus menjelaskan berapa kost, keuntungan dan dimana ketidakmampuan pengusaha atas besaran ranperda pajak. Tidak bisa asal menolak. Prinsipnya, tidak ada pajak tanpa keadilan,” cetusnya.
 
Karena itu, Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR ini menyarankan agar pembahasan Raperda Pajak-Pajak Daerah Kota Batam perlu dilakukan uji publik. Uji publik ini, katanya, merupakan kewajiban Pemko Batam dengan mengundang DPRD, masyarakat, pengusaha, para ahli dan elemen lainnya untuk menyampaikan pendapatnya.

“Jika tidak ada uji publik, stakeholder bisa mengirim surat ke menteri hingga presiden untuk meminta pencabutan Perda,” katanya.