Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Krisis Iklim Picu 10 Bencana Mematikan 2 Dekade Terakhir
Oleh : Redaksi
Sabtu | 02-11-2024 | 19:06 WIB
Ilustrasi-krisis-iklim1.jpg Honda-Batam
Ilustrasi.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ilmuwan mengungkap krisis iklim imbas ulah manusia memicu 10 peristiwa cuaca ekstrem paling mematikan dalam dua dekade terakhir.

Analisis terbaru dari para ilmuwan ini menyoroti bagaimana jejak krisis iklim dalam peristiwa cuaca yang kompleks.

Penelitian ini melibatkan analisis ulang data beberapa peristiwa cuaca ekstrem dan dilakukan oleh para ilmuwan dari kelompok World Weather Attribution (WWA) di Imperial College London.

"Penelitian ini seharusnya dapat membuka mata para pemimpin politik yang bergantung pada bahan bakar fosil yang memanaskan planet ini dan menghancurkan kehidupan," kata Friederike Otto, salah satu pendiri dan pemimpin WWA, mengutip BBC, Jumat (1/11/2024).

"Jika kita terus membakar minyak, gas dan batu bara, penderitaan akan terus berlanjut," lanjut dia.

Para peneliti fokus pada 10 bencana cuaca paling mematikan yang tercatat di International Disaster Database sejak tahun 2004. Saat itu adalah saat pertama kalinya studi pertama diterbitkan yang mengaitkan peristiwa cuaca, khususnya gelombang panas di Eropa, dengan perubahan iklim.

Bencana paling mematikan dalam dua dekade terakhir adalah kekeringan di Somalia pada tahun 2011 yang menewaskan lebih dari 250 ribu orang. Para peneliti menemukan curah hujan yang rendah menyebabkan kekeringan menjadi lebih ekstrem akibat krisis iklim.

Kemudian, empat kejadian gelombang panas yang terjadi di Eropa pada 2010, 2015, 2022, dan 2023. Total korban jiwa dalam empat bencana itu mencapai hampir 150 ribu orang.

Selanjutnya, dua kali banjir besar yang terjadi ndi Libya pada tahun 2023 yang menewaskan sekitar 12 ribu orang dan di India pada 2013 yang menewaskan sekitar 6 ribu orang.

Para peneliti juga mengungkap Siklon Tropis Sidr yang menghantam Bangladesh pada tahun 2007 merupakan bencana cuaca ekstrem paling mematikan dengan jumlah korban jiwa mencapai sekitar 4 ribu orang.

Topan Haiyan yang terjadi di Filipina pada tahun 2013 dengan jumlah korban jiwa, serta Siklon Tropis Nargis yang menghantam Myanmar pada tahun 2008 dan mengakibatkan sekitar 130 ribu orang tewas juga masuk dalam daftar.

Para peneliti mengatakan jumlah korban jiwa yang sebenarnya dari peristiwa ini kemungkinan besar jauh lebih tinggi daripada angka yang mereka kutip. Hal ini dikarenakan kematian akibat gelombang panas cenderung tidak tercatat di sebagian besar negara di dunia, terutama di negara-negara miskin yang paling rentan.

Otto bersama dengan ilmuwan asal Belanda, Geert Jan van Oldenborgh menjelaskan bahwa krisis iklim membuat cuaca ekstrem menjadi lebih berbahaya.

Sejumlah besar penelitian yang telah ditelaah juga menjelaskan bagaimana pemanasan atmosfer dapat meningkatkan cuaca ekstrem. Namun, yang belum diketahui adalah hubungan antara satu peristiwa dengan kenaikan suhu global.

Selama bertahun-tahun, para ahli cuaca telah menggunakan model atmosfer untuk memprediksi pola cuaca di masa depan. Otto dan Oldenborgh menggunakan kembali model-model tersebut untuk menjalankan simulasi berulang kali untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan terjadinya suatu peristiwa cuaca dalam iklim saat ini.

Mereka juga menciptakan simulasi paralel yang mengeksplorasi seberapa besar kemungkinan kejadian yang sama terjadi di dunia yang tidak pernah mengalami revolusi industri. Model komputer ini menghilangkan efek dari miliaran ton CO2 yang telah dipompa manusia ke atmosfer.

Dengan perhitungan ini, mereka dapat membandingkan seberapa besar kemungkinan kejadian yang sama terjadi dengan dan tanpa pemanasan global 1,2C yang telah dialami dunia sejak revolusi industri.

"Banyaknya korban jiwa yang terus kita lihat dalam cuaca ekstrem menunjukkan bahwa kita tidak siap menghadapi pemanasan 1,3°C, apalagi 1,5°C atau 2°C," ujar Roop Singh, dari Red Cross Red Crescent Climate Centre.

Ia mengatakan bahwa penelitian ini menunjukkan perlunya semua negara membangun ketahanan terhadap krisis iklim.

"Dengan setiap kenaikan satu derajat saja, kita akan melihat lebih banyak lagi kejadian yang memecahkan rekor yang mendorong negara-negara ke jurang kehancuran, tidak peduli seberapa siap mereka," ujarnya.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Yudha