Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tiga Lima
Oleh : Redaksi
Senin | 07-10-2024 | 08:56 WIB
0710_tiga-lima-disway_04934834781.jpg Honda-Batam
Dina Nur Anggraini Ningrum dari Unnes Semarang. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

ORANG sukses sering tidak sengaja berbuat agar sukses. Dina Nur Anggraini Ningrum bahkan tidak tahu apa itu H-indeks.

Tahu-tahu kampusnyi heboh: kampus Unnes Semarang. Nama Ningrum dan Unnes tercantum dalam Sinta (Science and Technology Index) --sistem ranking di direktorat perguruan tinggi Kemendikbud.

Ningrum dari Unnes sebagai peraih H-indeks tertinggi di Indonesia.

Sejak itu Ningrum tahu ada H-indeks. Yakni indeks untuk mengukur produktivitas dan kualitas penelitian.

Perumusnya seorang fisikawan bernama Jorge E. Hirsch dari University of California San Diego.

Hirsch merumuskan indeks pengukur --juga digunakan untuk mengukur seorang ilmuwan yang meraih gelar Nobel-- itu tahun 2005.

Begitu nama Ningrum muncul moncer di Sinta, reaksi pertama sangat negatif: Ningrum mencapainya dengan cara-cara curang. Ningrum dituduh sebagai pengejar H-indeks dengan cara yang tidak terhormat.

Ningrum sampai harus membuat klarifikasi ke institusi kampusnyi. Barulah orang tahu Ningrum melakukan penelitian dengan cara yang belum biasa dilakukan di sini: bergabung dengan grup penelitian besar di dunia.

Di kalangan akademi, nama Ningrum memang bukan siapa-siapa. Bukan profesor. Baru asisten profesor. Kampusnyi pun bukan UI atau ITB.

Ningrum hanya menyebut dirinyi sebagai pencinta kesehatan dan angka-angka. Ayahnyi, seorang tenaga kesehatan lulusan SMEA di Yogyakarta, ingin Ningrum masuk fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada. Dia takut darah. Dia tidak ingin mengecewakan sang ayah. Begitu lulus SMAN 1 Yogyakarta, Ningrum ikut tes masuk fakultas kedokteran. Niatnyi hanya ingin menjadi sarjana kedokteran --tidak ingin jadi dokter.

Yang diterima justru pilihan kedua yang idenya datang dari ibunda. Ningrum pun masuk fakuktas kesehatan masyarakat di Universitas Diponegoro, Semarang. UGM tidak punya program S-1 kesehatan masyarakat --seperti ikut model Eropa.

Minatnya selama S-1 adalah di epidemiologi. Lalu masuk S-2, masih di Undip, di bidang sistem informasi manajemen kesehatan.

Sebenarnya Ningrum ingin S-2 nyi di luar negeri. Tapi setiap kali tes tidak bisa lulus. Kemampuan bahasa Inggrisnya kurang. TOEFL-nyi tidak bisa mencapai 600. Hanya 498. Padahal sudah banyak kursus. Akhirnya S-2 tetap di Undip.

Rezeki ke luar negeri itu datang di tahun 2012. Dikti mengirim 100 dosen untuk kursus pendek di Taiwan. Tiga bulan. Pilihan Taiwan karena tidak mensyaratkan Bahasa Inggris yang tinggi. Sistem kesehatan masyarakatnya pun sangat sukses.

Program itu mengantarkan Ningrum masuk S-3 di Taipei Medical University. Dia mengambil biomedical informatics.

Di sana Ningrum dibimbing oleh salah satu guru besar, peneliti, yang juga ketua asosiasi international medical informatics.

Salah satu publikasi Ningrum mengikuti temuan sang mentor. Yaitu bagaimana menggunakan big data untuk memprediksi penyakit apa yang akan berkembang di masyarakat setahun di depan. Big data itu berupa riwayat penyakit dan konsumsi obat pasien selama tiga tahun terakhir.

Fokus saat itu terutama untuk penyakit seperti kanker. Dengan artificial intelligent bisa dilakukan pencegahan. Juga bisa dilakukan deteksi dini. Dengan demikian terapinya optimal dan kesuksesan pengobatannya tinggi.

Di samping nyantrik di tokoh ilmuwan dunia Ningrum juga bergabung ke global burden disease collaborator. Itu dikelola oleh IHME Washington University, Amerika Serikat.

Di situ bergabung lebih dari 600 peneliti dari seluruh dunia. Terbanyak dari Tiongkok dan India. Yang dari Indonesia ada Ningrum.

Maka Ningrum pun, seperti Prof Dr Hermawan dari ITB, menganjurkan para peneliti untuk mengikuti jalan Ningrum.

Dina lama sekali di Taiwan: 7,5 tahun. Ketika berangkat tiga orang (dia, suami, dan satu anak). Ketika pulang lima orang. Dua anaknyi lahir di sana.

Saya pun mencoba mengirimi Ningrum WA dalam bahasa Mandarin. "Itu dia," jawabnyi. "Begitu lama di Taiwan gagal belajar bahasa Mandarin," tambahnyi.

Itu karena kampusnya full menggunakan bahasa Inggris. Bahkan Taiwan mendorong mahasiswa lokalnya untuk lebih berbahasa Inggris.

Ningrum hanya bisa bahasa setempat untuk belanja di pasar. Dia tidak pernah kesulitan untuk belanja yang tidak mengandung minyak babi. "Masyarakat di sini sangat menghormati pilihan orang. Juga sangat membantu. Sikap masyarakatnya sangat Islami. Hanya tidak bersyahadat," ujar Ningrum.

Mereka begitu semangat membantu mencarikan barang yang halal. Belum tentu kita mau mencarikan daging babi ketika giliran mereka yang minta bantu.

Ningrum bersuamikan orang software. Lalu ikut ke Taiwan menemani Ningrum S-3. Sang suami juga kuliah. Ambil S-2 data science.

Saat ini sang suami lagi ambil S3 di biotech dan healthcare management. Ia fokus di studi keamanan pertukaran data rekam medis dan hubungannya dengan penggunaan AI di bidang kesehatan.

Ningrum kehilangan ayah tiga tahun lalu: kanker liver. Ibunyi, wanita Madura, seorang tenaga kesehatan juga, sudah pensiun. Dr Ningrum sendiri kini mengajar di fakuktas kedokteran sejak Unnes punya fakultas kedokteran.

Dr Ningrum mengaku belum punya banyak karya penelitian perorangan. Salah satunya soal prediksi demam berdarah di Semarang dengan menggunakan AI dan big data.

Memang, kata Prof Hermawan, ada yang bersikap sinis atas apa yang dilakukan Dr Ningrum.

Penelitian seperti itu ibarat karya bersama. Tidak terlihat hebat secara pribadi.

Tapi, kata Hermawan, untuk bisa bergabung ke grup besar seperti itu juga tidak mudah. Harus berkualitas. Kalau tidak berkualitas tidak akan diterima juga.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia