Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Akbar Nilai Pemerintahan SBY Tak Sesuai Harapan Rakyat
Oleh : Surya Irawan
Kamis | 03-03-2011 | 18:50 WIB

Jakarta, Batamtoday - Mantan Ketua DPR Akbar Tanjung menilai pemerintahan Presiden Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono masih belum efektif dan tidak berjalan sesuai dengan harapan rakyat. "Belum efektifnya pemerintahan SBY-Boediono tersebut tampak dari tidak efektifnya kinerja para menteri di kabinet," kata Akbar di Jakarta, Kamis (3/3/2011).

Menurut Akbar, banyak instruksi SBY tidak digubris dan dilaksanakan para menteri selaku pembantu Presiden. Para menteri itu, justru kerap menjalankan kebijakan sehingga merugikan pemerintahan SBY sendiri. Akibatnya, muncul asumsi SBY melakukan kebohongan secara masif seperti yang dituduhkan para tokoh agama beberapa waktu lalu.

"Kabinet sekarang tidak kokoh, dan berbagai instruksi Presiden tidak dijalankan menterinya. Sehingga SBY dikatakan berbohong, karena belum berjalan sebagaimana yang kita inginkan," katanya.

Ketidakefektifan pemerintahan SBY-Boediono, kata Akbar, juga dipicu oleh gonjang-ganjing politik yang memicu perpecahan di partai koalisi pendukung pemerintah. Meskipun SBY melakukan reshuffle terhadap menteri yang partainya tidak setia, lanjutnya, tetap tidak akan berjalan efektif.

"Ini bukan soal reshuffle, reshuffle kabinet tidak akan efektif. Tapi juga ada masalah sosial seperti terjadinya aksi kekerasan di tengah masyarakat yang tidak bisa diambil tidakkan tegas," kata mantan Ketua Umum Partai Golkar ini.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua DPR Pramono Anung dari F-PDIP. Pramono menilai, sejak awal pemerintahan dibentuk banyak kendala dalam berkomunikasi, baik dengan menterinya, publik dan media. Akibatnya, banyak kebijakan penting yang tidak terkoordinasikan dan berjalan dengan baik seperti kebijakan capping tarif listrik untuk industri, dimana antara satu menteri dengan lainnya berbeda pendapat dalam menyikapinya.

Bahkan menurut Pramono, blue print (cetak biru) pembangunan Indonesia yang disampaikan SBY sangat jauh berbeda dari yang diserahkan Bappenas kepada DPR. Bukan hanya itu, Dirjen-nya juga berani menentang menterinya saat Rapat Kerja dengan DPR, dengan mengatakan menteri bersangkutan tidak mengerti apa.

"Hal-hal seperti juga ditiru oleh gubernur, bupati dan walikota, dan pemerintah pusat tidak tahu apa-apa.  Saya pernah diundang ke Bengkalis, daerah yang kaya minyak di Riau. Ketika itu mengadakan acara, mengundang penyanyi dari Malaysia yang didatangkan dengan helicopter. Saat itu saya tanya kenapa? Dijawab kalau anggaran tidak dihabiskan, nanti diperiksa KPK. Nah, itulah pemerintah sekarang," kata Pramono.

Mantan Sekjen PDIP ini menilai, lebih baik tidak ada pemerintahan ini, karena tanpa pemerintah bekerja pun ekonomi sudah tumbuh 6 persen, sementara China dan India yang giat membangun ekonominya indeksnya masing-masing hanya 10 persen dan 9 persen. "Jadi mending tidak ada pemerintahan ini, tidak bekerja saja ekonominya sudah tumbuh 6 persen. Jebloknya paling 2 persen," katanya.

Sedangkan pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muqhtadi mengatakan, selama sistem pemerintahan ini tidak diperbaiki secara serius, meskipun dilakukan perombakan kabinet beberapa kali tetap tidak membuat kinerja pemerintahan SBY-Boediono efektif. "Seribu kali reshuffle dilakukan, tetap begini-begini saja, selama sistem tidak diperbaiki," kata Burhanuddin.

Perombakan kabinet, katanya, hanya untuk menutupi kebobrokan pemerintahan SBY-Boediono untuk sementara waktu. Ia menilai, publik tetap akan mengatakan pemerintahan ini gagal dan tidak sukses. "Kalau mau reshuffle harusnya sudah setahun lalu. Makanya publik berpandangan reshuffle hanya untuk menutup-nutupi kebobrokan pemerintah," katanya.

Sementara itu, Direktur Reform Institute Yudi Latif menambahkan, SBY sudah kehilangan kemampuan untuk menggalang solidaritas, baik dengan partai-partai koalisi maupun dengan masyarakat sipil termasuk para tokoh agama. "Hal ini tampak dari sikap SBY yang tidak tegas dalam menyikapi perbedaan dengan partai koalisi yang sudah tidak sejalan lagi, dalam hal ini Golkar dan PKS," kata Yudi.