Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rumah Sehat
Oleh : Redaksi
Senin | 23-09-2024 | 08:24 WIB
2309_rumah-sehat-disway_903483478317.jpg Honda-Batam
Dahlan Iskan bersama Prof Sutiman (dua dari kiri) di Rumah Sehat di Malang. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

GIGI Anda berwarna putih. Tidak merah atau hijau. Jumlah rambut di kepala Anda entah ada berapa. Siapa yang peduli. Tidak pernah ada mahasiswa yang mempertanyakan itu.

Prof Dr Sutiman Bambang Sumitro, saat masih jadi dosen, sampai punya cara khusus. Agar mahasiswanya tidak pasif sepanjang hari: siapa yang bertanya dapat nilai tambahan. Biar pun sekadar bertanya.

Saya kembali bertemu Prof Sutiman. Sabtu petang kemarin lusa. Di Malang. Di Rumah Sehat. Di samping kampus Universitas Negeri Malang (UM).

Prof Sutiman memang sengaja membangun rumah sehat - bukan rumah sakit. Ia ingin menyehatkan orang yang masih sehat. Juga menyehatkan orang yang sudah telanjur sakit.

Sebelum ke Malang saya memang mengajukan beberapa pertanyaan ke beliau. Termasuk yang dipertanyakan perusuh Disway atas artikel saya pekan lalu (Disway 16 September 2024: Nano Sutiman).

Prof Sutiman langsung merespons WA saya. "Sebaiknya saya jawab secara tatap muka," katanya. "Sugeng enjang Pak Iskan. Menurut saya perlu beberapa dasar. Menawi bapak kerso lan kagungan wekdhal, saged pinanggihan kangge sedikit berbincang. Monggo dalem saged sowan," tulisnya di WA.

Tentu saya tidak ingin Prof Sutiman yang ke rumah saya. Jarak Surabaya-Malang sekarang sudah didekatkan oleh jalan tol. Sekalian saya ingin melihat Rumah Sehat yang ia prakarsai.

Pertanyaan yang saya ajukan tiga hari sebelumnya adalah sebagai berikut:

Bagian terkecil tubuh, menurut Prof adalah material/energi. Saya pernah baca literatur bahwa bagian terkecil suatu benda, termasuk tubuh, adalah gelombang. Apakah gelombang yang saya baca itu sama dengan energi?

Dari buku Prof, radikal bebas adalah 'benda' energi yang tidak berpasangan, sehingga tidak bisa menjadi energi. Apakah begitu?

Mengapa ada energi yang tidak berpasangan? Apakah itu terjadi saat pembelahan sel? Bukankah saat sel membelah, ada yang belahannya tidak sempurna seperti hasil kita membelah sumpit?

Sebagai bekas dirut PLN saya berkutat dengan hukum kekekalan energi, kapasitor, konductor, elektron, dan lain-lain. Itu membuat saya lebih mudah memahami buku Prof. Ternyata tubuh kita penuh dengan istilah-istilah itu seperti ditulis di buku Prof. Apakah radikal bebas itu yang membuat elektron dalam tubuh kelebihan/kekurangan?

Saya beberapa kali menjalani stem cell, berbagai macam stem cell. Salah satunya T-cell dan NK cell. Itu tugasnya meregulasi keseimbangan jumlah berbagai jenis cell. Apakah keseimbangan itu juga bisa dilakukan lewat menyeimbangkan elektron?

Suwun Prof. Kalau Prof sulit waktu, saya tidak keberatan salah satu doktor binaan Prof yang menjawab.

Begitu menerima jawaban Prof Sutiman yang sangat rendah hati saya pun cari-cari acara di Malang. Agar sekali dayung beberapa ikan terlampaui.

Saya pun sampai di Rumah Sehat. Sabtu sudah hampir berubah menjadi malam Minggu. Prof Sutiman tetap menunggu kami. Di lantai dua Rumah Sehat itu.

Satu ruang sudah disiapkan secara khusus. Proyektor sudah dipasang. Di layar terbaca huruf kanji. Prof Sutiman memang meraih gelar doktor nanobiologi di Nagoya University. Lalu masih lanjut lagi ambil Complicity Science di Mie University.

Di ruang itu Prof Sutiman didampingi tiga orang doktor. Yang satu orang doktor biologi, lalu doktor fisika, dan satu lagi doktor big data rangkap artificial intelligence yang tak lain adalah putra beliau sendiri.

Ny Sutiman yang berhasil hidup sehat setelah menderita kanker payudara juga ada di ruang itu.

Maka satu jam saya menerima jawaban atas pertanyaan di atas. Sebagian saya pahami, sebagian lagi pura-pura paham. Atau terpaksa paham. Fisika, bilogi, kimia, elektro, dicampur jadi satu jawaban.

Usai paparan matahari sudah hampir tenggelam. Saya masih sempat melihat ruang-ruang di Rumah Sehat itu. Ada satu ruang yang berisi banyak sofa tunggal. Itu adalah ruang untuk infus nano bubble.

Setiap pasien duduk di sofa untuk diinfus. Nano bubble berisi oksigen ukuran 70 nano meter.

Dengan ukuran segitu oksigen bisa langsung masuk ke sel tanpa mengikuti hukum Newton.

Dengan demikian sel bisa mendapat pasok oksigen tanpa melalui jalur logistik tradisional: hidung, paru dan saluran darah.

Dari ruang infus saya melihat ruang-ruang balur. Satu ruang berisi satu tempat tidur. Bentuknya seperti tempat tidur biasa tapi alas tempat tidur itu berupa lembaran tembaga.

Lembaran tembaga itu di-grounding-kan ke tanah. Fungsi tembaga itu untuk mengurangi elektron dalam tubuh yang berlebih atau menambah kekurangan elektron.

"Lapisan tembaga itu sebenarnya akan lebih baik kalau berupa lembaran emas 24 karat," ujar Prof Sutiman. "Belum punya uang untuk beli emas selebar tempat tidur," tambahnya.

Mengikuti cara berpikir Prof Sutiman saya jadi bertanya-tanya mengapa IQ orang Indonesia dibilang rendah.

Jumlah masjid terbanyak ada di Indonesia. Patung Yesus tertinggi di dunia juga di Indonesia. Maka saya marah ketika melihat di TikTok ada yang membeberkan IQ terendah se Asia Tenggara ada di Indonesia. Marahnya dalam hati: belum tentu isi TikTok itu salah.

Mungkin IQ rendah tidak masalah asal indeks hidup paling bahagia ada di Indonesia.

IQ tidak tinggi tapi bahagia. Miskin tapi bahagia. Tidak mau bertanya tapi bahagia. Sayangnya indeks kebahagiaan juga tidak tinggi di Indonesia.

Mungkin sudah waktunya ada gerakan mahasiswa bertanya. Yang memprakarsai haruslah dosennya: jangan mau mulai mengajar kalau belum ada yang bertanya. Atau jatah makan siang gratis diberikan hanya kepada mahasiswa yang berani bertanya.

Jadi, kenapa gigi berwarna putih? Mungkin memang tidak perlu ada yang bertanya. Ada yang sejak kecil sudah dibiasakan tahu jawabnya: itu bagian dari kekuasaan Tuhan yang maha pencipta. Selesai.

Jelas, untuk mahasiswa S-1 perlu dibangun gerakan berani bertanya. Sedang untuk mahasiswa S-2 perlu ada gerakan shifting paradigma: membiasakan mahasiswa S-2 melihat apa pun dari sisi lain. Lalu sisi lainnya lagi.

Itu yang dilakukan Prof Sutiman saat mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Juga ketika jadi dekan MIPA dua periode di sana. Pun ketika lagi jadi takmir masjid di kampungnya.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia