Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR, Pelaku Industri dan Petani Tembakau Kompak Tolak Regulasi Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek dalam RPMK
Oleh : Irawan
Kamis | 19-09-2024 | 10:24 WIB
diskusi_tembakau1.jpg Honda-Batam
Diskusi Forum Legislasi dengan tema 'Menilik Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau' di Ruang PPIP Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2024).

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Regulasi kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK (Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan) menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Kebijakan itu dinilai mengancam kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) terutama petani, pedagang tembakau, peritel juga perusahaan rokok.

Diyakini kebijakan ini akan mengancam sekitar enam juta tenaga kerja kehilangan pekerjaannya di industri rokok.

Persoalan ini makin mendapat perhatian dari berbagai stakeholder terutama DPR RI dari RPMK yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.

Mayoritas Fraksi di DPR pun kompak menolak RPMK yang tengah digodok Kemenkes ini.

Penolakan disuarakan legislator lintas fraksi yang hadir dalam diskusi Forum Legislasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI menggelar diskusi Forum Legislasi dengan tema 'Menilik Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau' di Ruang PPIP Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2024).

Anggota DPR RI dari lintas fraksi itu antara lain Wakil Ketua Badan Legislasi dari Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya, Anggota Komisi IX DPR RI (Fraksi NasDem) Nurhadi, Anggota Komisi IX DPR RI (Fraksi Golkar) Yahya Zaini, Anggota Komisi IX DPR RI (Fraksi PDI Perjuangan) Abidin Fikri.

Penolakan serupa juga disampaikan dua narasumber yaitu Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman SPSI Sudarto AS dan Ketua Umum Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi.

"Menurut saya Kementerian Kesehatan ini sudah offside atau overlapped," ucap Anggota Komisi IX DPR RI (Fraksi NasDem) Nurhadi.

Menurutnya, RPMK yang sedang disusun oleh pihak Kemenkes memiliki banyak catatan yang harus dikritisi. Salah satunya mengenai aturan kemasan rokok polos tanpa merek.

Untuk diketahui, kemasan rokok polos tanpa merek adalah kemasan produk tembakau yang bungkusnya tanpa menyertakan warna, gambar, logo perusahaan, dan merek dagang yang umumnya digunakan sebuah perusahaan rokok.

Tampilan semua kemasan tembakau distandarisasi, termasuk warna kemasannya yang menjadi ciri khas sebuah merek dagang perusahaan rokok.

Tujuan penghapusan merek pada kemasan rokok itu bertujuan untuk mencegah kebiasaan merokok. Selain itu juga bertujuan untuk menghilangkan peluang bagi perusahaan rokok untuk mengiklankan merek dagangnya.

Menurut Nurhadi, Kementerian Kesehatan memasukkan beberapa poin di pasal-pasal RPMK termasuk desain kemasan yang rencananya nanti didesain polos.

"Karena semua rokok yang diproduksi oleh berbagai perusahaan rokok ini, (nanti-red) sama warna bungkusnya. Hanya ada nama kecil yang tertera di kemasan tersebut," ungkap Nurhadi.

Dengan demikian, menurut Nurhadi bila RPMK tidak dikoreksi dan tidak dievaluasi, maka akan menyebabkan kegaduhan. Juga berpotensi menyebabkan enam juta pekerja terancam kehilangan pekerjaan.

"Ini yang yang menurut saya boleh dikatakan offside atau overlap. Kemudian hal-hal yang lain yang perlu dipertimbangkan adalah kaitannya kondisi ekonomi kita, yang saat ini yang sedang tidak baik-baik saja bahkan sampai melakukan PHK," tukasnya.

Senada, Anggota Komisi IX DPR RI (Fraksi PDI Perjuangan) Abidin Fikri menegaskan DPR RI akan menjalankan fungsi pengawasannya terkait Rancangan Permenkes terkait persoalan ini.

"Dan yang paling penting, keberpihakan kami dari DPR yaitu bagaimana seluruh rakyat terutama yang berkaitan dengan industri tembakau ini nasibnya. Karena jutaan orang akan terdampak dari urusan ini," tegas Abidin.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Willy Aditya menegaskan harus ada keberpihakan dari DPR RI terhadap persoalan ini di tengah industrilisasi yang gila-gilaan dan lapangan pekerjaan yang semakin susah.

"Terus kita mau begitu saja di tengah tidak adanya tumbuh sektor industri baru," gugatnya.

Ia mengingatkan ada banyak pihak terdampak dari RPMK bila tidak dilakukan secara hati-hati.

"Kalau kita berbicara tembakau. Ini dari hulu ke hilir sebuah paket yang komplit. Ada petaninya di sana, ada ritelnya di sana, ada industrinya di sana. Jadi ada ekosistemnya," tegas Willy.

Di forum sama, Anggota Komisi IX DPR RI (Fraksi Golkar) Yahya Zaini menegaskan keberpihakan DPR RI dalam persoalan ini adalah kepada petani, buruh pabrik, warung kecil dan industri kecil.

"Yang kita bela ini adalah bukan industri besar tapi petani tembakau, buruh pabrik, tukang asongan, warung-warung kecil dan pedagang kaki lima. Kalau industri besar itu terkena peraturan apapun, mereka sudah survive. Bahkan bisa mengalihkan industrinya ke industri lain seperti Djarum sudah mengambil alih BCA, demikian juga yang lain," sebut Yahya Zaini.

"Jadi yang kita khawatirkan kita perhati kan ini adalah mereka-mereka yang kecil menengah ke bawah yang jumlahnya dari segi pekerjaan kurang lebih 5 sampai 6 juta orang," pungkas Yahya Zaini.

Sektor Lain Terdampak

Ketua Umum AMLI Fabianus Bernadi mengungkapkan banyak usaha yang masuk dalam ekosistem industri rokok terdampak, salah satunya usaha reklame.

Ia mengungkapkan sebenarnya sudah satu dekade ini, media luar griya (iklan dan reklame) sudah terdampak akibat regulasi yang semakin menekan industri rokok dan tembakau.

Ia mencontoh, tahun 2012 dikeluarkan PP Nomor 109 Tahun 2012 yaitu peraturan yang mengatur tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau untuk kesehatan.

"PP Nomor 109 Tahun 2012 itu sudah berdampak sangat besar. Itu data kami sekitar 50% mengurangi pendapatan dan banyak perusahaan yang tutup," ungkap Fabianus.

Senada, Ketua umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau dan Makanan minuman SPSI, Sudarto AS mengungkapkan mayoritas anggota yang tergabung dalam asosiasinya merupakan buruh rokok.

Ia mengaku dapat memahami keinginan pemerintah dalam ini Kemenkes dengan RPMK untuk pengendalian IHT.

Namun, menurutnya, regulasi pengendaliannya itu sangat membahayakan penghidupan berbagai macam pihak dari hulu sampai hilir.

"Bukan hanya buruh pabrik, tapi petani akan berdampak, juga sektor lainnya yang hidup karena ini kan ada mata rantai yang juga akan terdampak," tegas Sudarto.

Editor: Surya