Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Cegah Korupsi di APBN dan APBD

DPR Minta BPK Dilibatkan Sebelum dan Pra Audit Keuangan
Oleh : si
Kamis | 18-10-2012 | 19:43 WIB
eva-sundari.gif Honda-Batam

Eva Kusuma Sundari

JAKARTA, batamtoday -Untuk meningkatkan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi DPR RI mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilibatkan sejak sebelum atau pra audit keuangan kementerian atau anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).



Keterlibatan sejak awal ini diyakini akan mampu melakukan pencegahan terjadinya korupsi, seperti kasus wisma atlet dan proyek Hambalang Kemenpora, PPID Kemenakertrans, Kemendikbud, Kemenkes dan lainnya, yang merugikan negara sampai triliunan rupiah.

“Jadi, BPK mesti dilibatkan sejak awal dalam mengaudit keuangan kementerian maupun APBD sebagai langkah pengawasan dampai implementasi anggaran, agar kebocoran yang akan terjadi bisa diketahui sejak dini, dan dengan demikian uang negara bisa diselamatkan,” tandas anggota Komisi III DPR RI FPDIP Eva Kusuma Sundari dalam diskusi “Efektivitas Pemberantasan Korupsi di Indonesia” bersama Zainal Arifin Muchtar dari PUKAT UGM, dan Bimo Nugroho (Ketua Perhimpunan Profesional Indonesia) di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (18/10).

Seperti di negara Australia, Inggris, dan Amerika menurut Eva, BPK itu terlibat sejak sebelum keuangan negara itu diaudit di kementerian dalam rangka mencegah kebocoran.  Dengan demikian, maka tak perlu merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, dibutuhkan komitmen politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Komitmen presiden penting, karena komisi-komisi pengawas yang ada tak akan jalan,” ujarnya.

Selain itu pentingnya integritas penegak hukum.  Apalagi selama ini penegakan hukum masih prosedural dan belum  substantif. Ditambah lagi banyaknya intervensi yang massif-besar dari parpol dari pusat sampai daerah.

Anehnya, hal itu kata Eva, yang malah dibiarkan oleh LSM. Padahal, itu problem politik pembangunan. Untuk itulah perlunya dilibatkan BPK dalam pra audit keuangan kementerian maupun APBD sampai ke daerah-daerah.

Zeinal Arifin juga mengakui adanya kegagalan negara (birokrasi) dari pusat sampai daerah, dan semuanya sebagai turunan dari parpol. Ditambah kegagalan penegak hukum, yang tidak dikawal sejak proses sampai vonis yang dijatuhkan.

“Banyak koruptor besar hanya diputus 4 tahun penjara. Lalu mendapat remisi, bebas. Jadi, masalahnya bukan hukuman mati atau seumur hidup, tapi problem penegakan hukumnya,” tutur Zainal.

Dia sangat kecewa dengan mudahnya pemerintah memberikan remisi pada koruptor, narkoba, pembunuh dan sebagainya. Sehingga remisi itu sebagai wilayah privillage, yang menjadikan orang tidak takut lagi untuk korupsi dan berbuat jahat lainnya.

Maka, di sinilah kata Zainal, faktor kepemimpinan sangat penting untuk melakukan langkah-langkah radikal. Misalnya kalau ada menteri yang diduga terlibat korupsi, langsung saja dicopot.

“Presiden, tak usah lagi bicara sistem presidensial, sekretariat gabungan koalisi, perlunya dukungan parpol dan lainnya. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan presiden adalah kinerja menteri, dan bukan parpolnya,” tambahnya.

Dan untuk itu lanjut Zainal, presiden bisa meminta hasil evaluasinya ke UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Anehnya lagi, Presiden SBY juga tak mempunyai aparat untuk mengontrol implementasi kebijakan anggaran keuangan pemerintah sampai ke daerah (APBD) di 33 provinsi.

“Inilah salah satu kegagalan kontrol pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan,” tegas Zainal lagi.