Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jaksa Terdakwa
Oleh : Redaksi
Selasa | 27-08-2024 | 09:12 WIB
2708_JAKSA-TERDAKWA_0349348.jpg Honda-Batam
Wakil Presiden AS Kamala Harris berpidato mengenai Kemanusiaan selama Konvensi Nasional Demokrat 2024 di Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada 19 Agustus 2024. (Foto: Anadolu-getty images)

Oleh Dahlan Iskan

SELAMA tiga hari saya ikuti lengkap pidato Kamala Harris, Tim Walz, Barack Obama, Michelle Obama, Bill Clinton, suami Kamala, istri Walz, dan beberapa lagi.

Saya sependapat dengan Bung Mirwan Mirza: merindukan kualitas pidato pemimpin-pemimpin kita --bisa mirip pidato mereka.

Kita rasanya masih di tingkat merindukan yang lain: bansos, serangan amplop fajar....

Tiga hari itu kuota pulsa saya jebol. Konvensi Partai Demokrat Amerika Serikat telah merugikan saya: boros pulsa. Tapi terhibur.

Di Jakarta saya geleng-geleng kepala atas akal-akalan agung konstitusi. Pekan lalu, di Amerika geleng kepala menikmati kualitas pidato mereka.

Memang baru pidato. Baru janji-janji di konvensi. Saya pun flash back: mencari rekaman debat cawapres --antara Kamala dan Pence empat tahun lalu. Kamala sebagai penantang, Pence sebagai incumbent.

Selama sebulan ini nama Kamala sungguh meroket. Mengejar elektabilitas Donald Trump. Pidato-pidato Kamala sangat memikat. Juga tawanyi. Humornyi. Ekspresi wajahnyi. Intonasinyi. Jargon-jargonnyi.

Lantas muncul kritik: semua itu baru pidato. Yang isinya bisa disiapkan. Bahkan beberapa pidatonyi pakai teks, teleprompt.

Kamala belum teruji di forum dadakan. Belum pernah melakukan konferensi pers. Belum pernah digoreng wartawan-wartawan di door stop.

Juga belum pernah tampil dalam forum debat dengan Trump. Dia belum merasakan dilindas keagresifan Trump secara langsung.

Maka saya flash back. Rekaman debat Kamala-Pence saya cari. Apakah Kamala juga hebat di forum debat. Rekamannya mudah didapat. Ternyata di debat cawapres saat itu Kamala meyakinkan. Dia unggul jauh dari Pence.

Tapi Pence bukan Trump. Pence orang yang kalem. Bicaranya lirih. Posisi incumbent-nya membuat lebih banyak defensif.

Apalagi keadaan lagi berat: di tengah masa Covid. Amerika hancur-hancuran. Negara terburuk dari jumlah korban yang meninggal. Semua itu sasaran empuk untuk diserang.

Lain halnya dengan debat antar capres bulan depan. Lawan Kamala adalah Trump. Posisi Kamala incumbent.

Itu akan terjadi seperti debat antara jaksa dan terdakwa. Kamala, Anda sudah tahu, mantan jaksa agung California.

Trump, Anda lebih tahu, terdakwa di dua perkara: bisnis dan seks --dan dinyatakan terbukti bersalah.

Dengan gambaran seperti itu Kamala seperti sangat menunggu debat itu. Kamala tahu Trump sering menghujatnyi di kampanye-kampanyenya. Kamala pun hanya bisa menyindir: seorang gentleman akan memilih menyampaikan langsung kritik di depan yang dikritik.

Trump mengerti lagi disindir. Trump langsung menyatakan bersedia debat dengan Kamala. Maka debat bulan depan nanti sangat seru.

Tentu bukan hanya debat antara capres laki-laki dan capres perempuan. Antara ''jaksa'' dan ''terdakwa''. Antara konglomerat dan kelas menengah. Antara kulit hitam dan kulit putih. Serba diametral.

Trump telanjur pede agung: 'hanya' akan melawan Joe Biden yang lebih tua, gagap dengan popularitas yang lagi turun. Tiba-tiba kini harus berhadapan dengan Kamala: capres yang datang dari kulit hitam.

"Rasanya selama ini kita hanya mendengar Kamala itu keturunan India," begitu kurang lebih cara Trump memojokkan Kamala.

Trump seperti tidak ingin Kamala diidentikkan sebagai kulit hitam. Bahaya. Bisa terjadi seperti di awal kemunculan Capres Obama. Mayoritas kulit hitam memilih Obama.

"Kok tiba-tiba mengaku kulit hitam," kira-kira begitu inti kata-kata Trump menyindir Kamala.

Situasi di lapangan memang mirip dengan di awal masa Obama. Heboh. Bergairah. ''Kamala adalah kita''. Di mana-mana.

Kamala memang tidak pernah masuk gorong-gorong tapi dia pernah bekerja di McDonald.

"Hanya orang dari kelas menengah yang tahu keinginan orang kelas menengah," ujar Kamala. "Konglomerat tidak akan tahu itu. Konglomerat hanya tahu dirinya sendiri".

Di situ debat ekonomi akan seru: jalan mana yang harus ditempuh agar negara maju.

Trump memilih jalan lewat orang-orang kaya. Mereka yang mampu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Mereka yang terbukti mampu menciptakan lapangan kerja.

Kamala memilih jalan lewat kelas menengah. Bila kelas menengah kuat negara akan kuat. Pajak untuk mereka harus dipotong. Biaya hidup dan kesehatan mereka tidak boleh jadi objek kerakusan bisnis farmasi.

Saya tidak sabar menunggu debat itu. Rasanya Anda juga tidak sabar menunggu debat antara Ridwan Kamil dan Anies Baswedan di Pilkada Jakarta.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia