Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hari Pangan Sedunia 2012, Pangan Makin Jauh dari Petani
Oleh : si
Kamis | 18-10-2012 | 09:39 WIB

JAKARTA, batamtoday - Hari Pangan Sedunia tahun 2012 (diperingati setiap 16 Oktober) ini masih menunjukkan kesuraman. Angka kemiskinan masih tinggi, baik itu di Indonesia dan tingkat dunia. Di Indonesia, jumlah orang miskin tetap saja tinggi, yang berubah dan menurun hanyalah persentasenya.

Pada tahun 1990 jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 27,20 jiwa atau 15,10 persen, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 terdapat 29,13 juta atau 11,96 persen orang miskin yang secara langsung bisa disebutkan sebagai orang yang tidak cukup makan.

Selain itu, angka kemiskinan di pedesaan selalu lebih tinggi dari perkotaan. Menurut data BPS, pada tahun ini saja terdapat 18,48 juta jiwa penduduk miskin pedesaan, dan jumlah ini lebih besar dari jumlah penduduk miskin kota yang sebesar 10,65 juta jiwa.

Penduduk desa tersebut, tentunya adalah petani gurem dan buruh tani, yang menurut data sensus pertanian 2003 berjumlah 13 juta jiwa. Jumlah ini akan bertambah pada tahun ini dan bisa disetarakan dengan jumlah penduduk miskin di desa, seiring dengan adanya konversi alih lahan. Angka konversi lahan sendiri sebesar 100 ribu ha per tahun.

Di tingkat dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) melaporkan, pada tahun 2012 ini terdapat 870 juta jiwa orang kelaparan, bahkan pada tahun 2008 mencapai 1 miliar orang. Artinya, ada peningkatan orang kelaparan di dunia bila dibandingkan dengan angka kelaparan sebesar 825 juta Jiwa pada tahun 1996, tahun dimana para pemimpin negara yang hadir di World Food Summit (WFS) berjanji akan menghapuskan 50 persen jumlah orang lapar pada tahun 2015 akan datang ini.

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, semua ini akibat penerapan konsep ketahanan pangan FAO --yang telah menjalankan prinsip-prinsip neoliberalisme yang didorong oleh IMF, World Bank, dan WTO (World Trade Organization) dan disponsori oleh negara industri dan kekuatan perusahaan transnasional yang bergerak di bidang pangan dan finansial.

"Setelah lebih 15 tahun penerapan konsep 'food security' (ketahanan pangan) oleh FAO (1996-2012), justru terjadi krisis pangan, krisis keanekaragaman hayati, krisis perubahan iklim dan krisis ekonomi, yang kesemuanya menjadi pemicu naiknya angka kemiskinan dan kelaparan,” ungkap Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) di Jakarta, Rabu (17/10/2012).

Kesemuanya ini, kata Henry, akhirnya membuat pangan menjadi sangat jauh dari rakyat yang berada di pedesaan, karena merekalah yang seharusnya pertama kali mendapatkan makanan.

"Yang terjadi saat ini, petani sulit mendapatkan makanan yang baik dan sehat. Hal ini dikarenakan mereka produsen namun sekaligus konsumen dengan pendapatan dan sekaligus daya beli yang rendah. Pangan semakin dikuasai oleh perusahaan transnasional, begitu juga benih dan pupuk," tutur Henry lagi.

Henry juga memaparkan, fakta semakin jauhnya pangan dari tangan petani bisa dilihat dari tanah-tanah yang diperuntukkan untuk tanaman pangan harus dikonversi dengan tanaman untuk keperluan ekspor, seperti kelapa sawit. Selanjutnya penggusuran tanah-tanah petani, irigasi dan sumber-sumber air petani hilang karena dikuasai perusahaan air minum.

"Benih pertanian diambil alih oleh perusahaan industri benih, dan pemasaran produksi pertanian petani kalah dalam pasar bebas. Akibatnya, Indonesia tergantung pada impor pangan dari luar negeri. Seperti kacang kedelai, dimana petani akhirnya tidak berproduksi, tapi mengkonsumsinya dengan mengandalkan impor. Belum lagi bencana kekeringan yang membuat petani semakin tidak bisa berproduksi," paparnya lagi.

Selain itu, lanjut Henry, pemerintah justru seakan terus melegalkan berbagai bentuk perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar melalui berbagai program kebijakan dengan dalih mengatasi perubahan iklim, krisis pangan, dan agrofuel. Akibatnya banyak petani kecil dan masyarakat adat yang notabene adalah produsen pangan lahannya terampas oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Perlawanan kaum tani dan masyarakat adat pun akhirnya tak terhindarkan, sehingga konflik agraria semakin meluas. Badan Pertanahan Nasional (2011) mencatat setidaknya terdapat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011.

Menurut Henry, upaya untuk mengembalikan arah dan paradigma pembangunan pertanian dan pangan (khususnya di Indonesia) sudah sangat mendesak. Sebab, tidak dibenarkan sesungguhnya ada seorangpun di dunia ini yang tidak tercukupi kebutuhan pangannya.

"SPI sebagai organisasi perjuangan petani berjuang agar kedaulatan pangan tegak dan menjadi paradigma baru untuk mengganti paradigma ketahanan pangan yang dicanangkan oleh FAO di Indonesia. SPI juga mengusulkan agar penyelesaian konflik agraria yang terjadi sekarang ini haruslah dalam bingkai pembaruan agraria," ujarnya.

Di tingkat internasional, kata Henry, SPI dan La Via Campesina memperjuangkan Hak Asasi Petani yang telah direspons oleh Dewan HAM PBB pada tanggal 27 September 2012 lalu dengan dikeluarkannya Resolusi Dewan HAM PBB yang akan membentuk panitia kerja pembentukan Deklarasi Hak Asasi Petani.