Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jadi Penjaga Marwah Konstitusi, MPR Mampu Hadapi Tantangan Zaman
Oleh : Irawan
Senin | 19-08-2024 | 10:04 WIB
gedung_nusantara.jpg Honda-Batam
Gedung Nusantara MPR/DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Peringatan Hari Konstitusi yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 18 Agustus menjadi momentum penting untuk mengevaluasi praktik penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan dan perjalanan kehidupan berbangsa, apakah sudah selaras dengan tujuan negara, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Perubahan konstitusi atau amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali setelah 26 tahun perjalanan reformasi pada tahun 1999-2002, ternyata telah menghantarkan euforia demokrasi berlebihan dan berdampak buruk bagi perjalanan demokrasi itu sendiri, seperti maraknya politik uang atau money politics dalam setiap pemilihan langsung.

Bahkan amandemen juga telah mengebiri atau mendowngrade kewenangan Majelis Purmasyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara, dan menjadi setara dengan lembaga tinggi negara. Akibatnya, ketika terjadi ekses atau dampak negatif dari penyelenggaraan ketetanegaraan, MPR pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam kasus pemilihan langsung baik presiden maupun anggota legislatif misalnya, dimana pemilihan membutuhkan biaya yang cukup mahal, sementara kualitas pemimpin yang dihasilkan tidak sebanding dan banyak yang berkualitas. Sehingga ketika terpilih, maka pemimpin yang dihasilkan, pertama kali yang dipikirkan adalah bagaimana mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkannya, daripada berpikir untuk mensejaterahkan rakyat.

Akibatnya, banyak para pemimpin dan wakil rakyat saat ini yang terjerat kasus korupsi. Sebab, pemilihan langsung, hanya calon 'berduit' saja yang bisa maju, sedangkan kualitas dari calon ada di nomor kesekian. Sedangkan calon yang berkualitas dan punya kepedulian kepada rakyat terpinggirkan, karena tidak punya duit. Demokrasi pemilihan langsung asal barat ini dianggap tidak sesuai dengan demokrasi ala Indonesia, yang lebih mengutamakan musyawarah dan pemilihan melalui MPR.

Hal ini pula yang pada akhirnya membuat mantan Ketua MPR Amien Rais menyadari dan meminta maaf kepada rakyat Indonesia, karena pernah melucuti kewenangan MPR untuk memilih presiden, salah satu diantaranya. Permintaan maaf disampaikan Amien Rais saat melakukan silaturahmi dengan pimpinan MPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 5 Juni 2024.

Ketika itu, Amien Rais mengaku melucuti kewenangan MPR, pertimbangannya agak naif, yakni membatasi politik uang dalam pemilihan presiden di MPR, karena tidak terbayang seorang peserta Pemilu bisa membeli suara rakyat dari pemilih yang berjumlah ratusan juta orang. Sehingga pemilihan presiden dilakukan secara langsung dipilih rakyat diharapkan akan bisa membatasi politik uang. Tetapi faktanya, politik uang justru semakin menjadi-jadi dan menggila dalam pemilihan langsung dengan sistem one man one vote. Amien Rais pun mendukung adanya perubahan konstitusi agar presiden kembali dipilih oleh MPR, karena demokrasi Indonesia justru mengalami kemunduran akhir-akhir ini.

Sehingga kini mulai muncul wacana untuk mengkaji kembali opsi amandemen terhadap UUD 1945, untuk mengoreksi kembali hasil amandemen konstitusi yang telah dilakukan selama periode 1999 hingga 2002. Sebab, konsep konstitusi selama ini hanya dimaknai sebagai lembaran dokumen hukum, padahal amandemen terhadap UUD 1945 telah mengubah sistem ketatanegaraan secara fundamental.

"Karena sejatinya konstitusi mengandung pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah nilai-nilai luhur bangsa yang hanya akan bermakna ketika membumi dalam ruang realita," ujar Bamsoet dalam perayaan Hari Konstitusi dan HUT ke-79 MPR RI di Gedung Parlemen Jakarta, Minggu, 18 Agustus 2024.

Dalam praktik penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, konstitusi sebagai penjaga marwah bangsa mulai mengalami deviasi atau penyimpangan, tidak lagi dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Konstitusi ditafsirkan menurut selera, dan bukan lagi merujuk pada tujuan dari rumusan naskah UUD 1945. Sehingga pengembalian ke naskah asli UUD 1945 sebelum diamandemen adalah menjadi satu-satunya jawaban agar konstitusi bisa dilaksanakan secara murni dan konsekuen.

Konstitusi sebagai dasar hukum bangsa Indonesia, telah melewati berbagai pergumulan sejarah dan dinamika peradaban. Mulai dari pemberlakuan UUD Tahun 1945, UUD Republik Indonesia Serikat, UUD Sementara, UUD NRI Tahun 1945 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959, hingga saat ini UUD NRI Tahun 1945 yang telah diamendemen pada periode 1999-2002. Artinya, perubahan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah sebuah keniscayaan, karena akan berhadapan pada tantangan zamannya masing-masing.

Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama kedudukan MPR sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi. MPR sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, adalah lembaga tertinggi yang memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.

Namun, setelah UUD 1945 diamandemen, kedudukan MPR berubah menjadi lembaga negara yang memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain untuk saling mengontrol dan mengimbangi (check and balances). MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden karena pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum (Pemilu).

Selain itu, MPR tidak berwenang lagi menetapkan GBHN sebagai haluan negara. Meskipun demikian, MPR masih memiliki kewenangan konstitusional tertinggi dalam hal mengubah dan menetapkan UUD, termasuk memberi putusan akhir pada proses pemakzulan (impeachment) terhadap presiden/wakil presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bersalah secara hukum.

Dalam konteks konstitusi banyak negara yang mentransformasikan semangat perubahan melalui perubahan konstitusi. Negara-negara demokrasi terbesar di dunia pun tidak anti dengan amandemen konstitusi. Amerika Serikat telah mengubah konstitusi sebanyak 27 kali. India telah mengubah konstitusi sebanyak 106 kali selama periode 1950 hingga 2023.

Sebab, pada hakikatnya sedemokratis apapun pemerintahan yang dijalankan, tidak akan pernah menemui titik kesempurnaan. Namun, serumit apapun perjalanan kehidupan berbangsa dan negara, serta dinamika politik yang dijalani, seharusnya tidak boleh mengorbankan pilar-pilar fundamental dalam kehidupan berbangsa, Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sudah waktunya bangsa Indonesia untuk merenungkan kembali, bermawas diri, dan mengevaluasi dalam menyikapi perjalanan reformasi selama 26 tahun ini, bagaimana konstitusi sebagai sumber tertib hukum yang fundamental, diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Serta bagaimana memaknai kembali peran dan kedudukan MPR, khususnya pasca empat kali amendemen konstitusi.

Konstitusi harus mampu menjawab setiap tantangan dan dinamika zaman, menjadi rujukan dan diimplementasikan secara nyata dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demikian pula dalam memaknai kembali kedudukan dan peran MPR, sebagai satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional tertinggi, antara lain mengubah dan menetapkan UUD. Disamping sebagai satu-satunya lembaga negara yang paling merepresentasikan daulat rakyat, dalam bentuk aspirasi politik dan kepentingan daerah. Karena MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD RI.

MPR sendiri telah mendapatkan beberapa aspirasi dari masyarakat maupun tokoh bangsa terkait wacana amendemen UUD NRI 1945. Tujuannya adalah untuk mengoreksi kembali hasil amendemen konstitusi yang telah dilakukan selama periode 1999 hingga 2002, serta merekomendasikan kepada MPR yang akan datang agar melakukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap usulan amandemen UUD NRI 1945.

Pertama, amandemen terbatas terkait kewenangan MPR membentuk Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Kedua, penyempurnaan atau pengkajian menyeluruh terhadap UUD Tahun 1945 hasil amandemen sebelumnya. Ketiga, kembali ke UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keempat, kembali ke UUD 1945 yang asli, kemudian disempurnakan melalui adendum. Kelima, tidak diperlukan adanya amandemen konstitusi karena UUD NRI Tahun 1945 yang saat ini berlaku masih relevan.

Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam berbagai kesempatan mengatakan, urgensi untuk meninjau kembali konstitusi salah satunya berangkat dari kekhawatiran bahwa masih ada banyak celah yang ditinggalkan UUD NRI 1945 yang berlaku saat ini. UUD NRI 1945 pasca reformasi tidak memiliki pintu darurat jika terjadi dispute atau kebuntuan konstitusi dan kebuntuan politik.

Menurut Bamsoet sapaan akrab Bambang Soesatyo, UUD NRI 1945 belum memiliki ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan hasil Pemilu tidak tepat waktu sesuai perintah konstitusi. Yakni, pergantian anggota DPR dan DPD RI pada tanggal 1 Oktober untuk pemilihan legislatif (Pileg) ileg dan 20 Oktober untuk pemilihan presiden (Pilpres) setiap lima tahunnya.

Jika hal itu terjadi, maka secara hukum, tentunya tidak ada anggota legislatif, presiden dan atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu. Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban atau kewenangan hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Karena itu, idealnya UUD NRI 1945 dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau 'constitutional deadlock'.

Apabila situasi seperti itu benar-benar terjadi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, prinsip kedaulatan rakyatlah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya. Dan sebagai representasi dari prinsip kedaulatan rakyat, maka seharusnya MPR kembali memiliki kewenangan subjektif lagi. Sehingga dengan kewenangan tersebut, dapat mengambil keputusan yang tepat guna mengatasi dampak dari suatu keadaan secara politik dan ekonomi dapat dikendalikan secara wajar.

Mantan Ketua Eks Ketua MK Jimly Asshiddiqie berpandangan, usulan untuk mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah usulan yang baik dalam rangka membangkitkan rasa kritis terhadap sistem ketatanegaraan kita. "Bagus saya kira. Itu kan men-trigger supaya orang berpikir kembali tentang sistem ketatanegaraan kita," kata Jimly di kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu 16 Agustus 2023.

Jimly mengatakan, tidak menutup kemungkinan bahwa pembahasan mengenai amandemen UUD 1945 ini akan dilakukan. Namun, ia mengatakan sebaiknya pembahasan amandemen UUD 1945 ini dilakukan setelah Pilkada 2024 atau MPR periode yang akan datang dilantik sebagai anggota DPR dan DPD RI pada 1 Oktober 2024 mendatang.

Terlepas dari hal itu, sistem ketetanegaraan Indonesia yang dihasilkan dari perubahan atau amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, dan menjadikannya UUD NRI 1945 dinilai tidak sesuai dengan jatidiri bangsa dan harapan para founding father atau pendiri bangsa, yang mengutamakan musyawarah dan gotong-royong, dimana kedaulatan rakyat diwakili MPR. Sistem demokrasi langsung barat telah menyebabkan, perubahan secara fundamental terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, menyebabkan rakyat lebih individual, pragmatis dan materialitis, juga menyebabkan terjadinya polarisasi politik dan politik identitas, rakyat saling bertengkar karena beda pilihan hingga mencederai keberagaman.

Sebagai representasi dari prinsip kedaulatan rakyat, MPR dapat merajut kembali ke-Indonesiaan yang semakin lama terasa semakin memudar. MPR punya punya tanggungjawab bagi kelangsungan Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih maju, dan Indonesia yang lebih bermartabat. Sebagai penjaga marwah dari konstitusi kehormatan diri, harga diri dan nama baik bangsa, maka kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara mutlak harus dikembalikan demi mewujudkan Indonesia Maju, Indonesia Emas 2045, serta menjadikan Indonesia sebagai negara superpower baru.

Editor: Surya