Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hasil Riset KPAI tentang Daycare

Marak Kasus Kekerasan di Daycare, tidak Hanya Berhenti di Depok
Oleh : Redaksi
Minggu | 11-08-2024 | 08:34 WIB

Oleh Jasra Putra

SEJAK terungkapnya kekerasan bayi dan balita di Daycare Depok, masyarakat mulai menaruh harap, dengan melapor kekerasan yang di alami anak anak di Daycare. Memang selama ini kekerasan anak di lembaga pendidikan, yang paling ramai di laporkan adalah kekerasan di sekolah.

Sedangkan Daycare belum terbiasa melaporkan, karena faktor anak bayi, balita yang tidak bisa menyampaikan. Karena butuh kepekaan dan ilmu tersendiri untuk mengerti kekerasan kepada bayi yang tidak bisa menyampaikan secara verbal.

Di sisi lain ada ketergantungan orang tua yang tinggi, ketika meninggalkan anak, yang kebutuhannya tidak bisa di tunda. Namun semenjak ada yang berani melaporkan, saya kira akan mulai di susul oleh orang tua yang lain.

Karena seringnya data yang terlaporkan hanya di permukaan saja, padahal di bawahnya adalah fenomena data puncak gunung es. Seperti yang salah satunya baru baru saja di laporkan media kepada KPAI tentang laporan kekerasan terbaru di Daycare Pekan Baru.

Dengan terjadi kembali kekerasan bayi dan balita dengan TKP Daycare. Maka, sudah saatnya ruang pengasuhan yang sangat pribadi, mendapat intervensi berkelanjutan jangka panjang, yang KPAI sebut dengan dukungan pengasuhan semesta.

Yang didalam pengasuhan semesta itu, ada salah satunya unsur usaha dan pengusaha, untuk dapat mengambil peran, seperti mendirikan daycare dan mendata siapa saja orang tua yang menitipkan anaknya ketika mereka bekerja. Agar kita bisa melakukan mekanisme referal dengan layanan pengawasan yang ada.

Agar kekosongan pengawasan di tempat tempat Daycare bisa dilakukan berbagai pihak. Karena kalau hanya mendapatkan syarat untuk mendirikan Daycare, tentu sangat mudah diperoleh masyarakat. Tetapi bagaimana memastikan membangun sistem pengawasan, memahamkan pengasuhan yang berbasis pada psikologis tumbuh kembang anak sesuai usia dan pemahamannya, ini perlu intervensi.

Saya kira kita semua sepakat, pengasuhan anak pengawasannya butuh orang sekampung. Tidak bisa sendirian. Karena ketika di serahkan kepada pengasuhan pengganti, atau anak bergeser sedikit saja dari mata kita, maka pengawasan, perlindungan dan pengasuhan anak sebenarnya sudah tidak ada. Untuk itulah KPAI mendorong RUU Pengasuhan Anak terus di arusutamakan dalam rangka membangun dukungan pengasuhan semesta.

Kita juga harus mengenal istilah beban kerja dalam mengasuh. Karena pekerjaan mengasuh ini 24 jam. Sehingga ada faktor kelelahan yang amat tinggi. Itu juga yang jadi perhatian kita ke Daycare, yaitu rasio antara anak yang dititipkan dengn para pengasuh yang bekerja.

Belum lagi kebutuhan mendesak orang tua atas penitipan anak, yang bisa jadi dititipkan begitu saja, tanpa pengawasan melekat. Maka terbayang kalau itu tanpa pengawasan juga dari pemerintah.

Maka KPAI khawatir banyaknya dan mudahnya sikap sikap penyimpangan terjadi dari para pengasuh pengganti.

Saya kira penyerahan anak anak di Daycare tidak hanya sekedar menerima, tetapi penting dipastikan ada Asessment anak. Karena kita bicara perlakuan selama dirumah, riwayat pertumbuhan anak. Dan terkait nanti, siapa pengasuh pengganti yang dipilih Daycare.

Dalam rangka memastikan pengasuh penggantinya sudah mengerti kondisi dan kebutuhan anak dan apa yang harus direncanakan dalam pengasuhan pengganti. Siapa yang lebih tepat mengasuh.

Posisi menjadi pengasuh pengganti, juga berarti memikirkan kesejahteraan pengasuh. Kita bisa melihat pertumbuhan anak anak artis yang memakai jasa pengasuh, seperti pengasuh Rayyanza, pengasuh Ameena.

Dengan kualifikasi yang sangat kuat, perekrutan dengan asessmet ketat, sehingga menghasilkan anak anak yang tumbuh kembang jiwa, usia dan pemahaman yang maksimal.

Namun bagaimana Nasib pengasuh yang hadir dari masyarakat, di inisiasi masyarakat. Sampai saat ini mereka tidak menjadi profesi yang di lindungi secara hukum. Sehingga posisinya sangat rentan dan lemah.

Kekosongan hukum ini menyebabkan profesi yang di jalankan ala kdarnya, tetapi juga jadi pintu masuk persoalan, ketika terjadi kekerasan. Sehingga standard pengasuh perlu difikirkan dan jaminan posisi hukum para pengasuh pengganti perlu di atur. Agar profesi ini berkembang.

Seperti dalam survey KPAI tentang tempat penitipan anak di tahun 2019, SDM pekerja pengasuh pengganti di Daycare banyak di isi mereka yang lulus tingkat SMA ke bawah. Sedangkan pendidikan usia dini di negeri kita, baru diajarkan ketika orang menempuh pendidikan tingkat Sarjana S1 dengan jurusan pendidikan anak usia dini.

Sehingga melihat hasil riset KPAI ini, penting kita mengejar ketertinggalan, dengan menyiapkan solusi pendidikan setingkat sarjana untuk para pengasuh Daycare. Sehingga penting ada solusi dari lembaga lembaga akedemik, seperti Universitas di Indonesia untuk membantu mengejar ketertinggalan ini. Begitu juga untuk para praktisi pengasuhan di lembaga panti, pesantren, asrama dan yang serupa, sangat membutuhkan affirmatif action.

Kalau terasa dibutuhkan Kemendikbudristek bisa melaksanakan kajian, apakah mungkin pelajaran setingkat SMA, dikenalkan materi pendidikan usia dini, psikologis perkembangan, agar bisa membantu pekerja informal ini, karena kita tahu seperti ART menjalankan fungsi pengasuhan juga, dan banyak mereka yang menjadi ART juga pendidikannya hanya setingkat SMA ke bawah. Padahal di tangan merekalah coreasset menjatuhkan masa golden age nya. Yang bila tidak diperhatikan, maka anak anak kita kedepan sulit bersaing.

Kemudian kita belum mengenal pendidikan sertifikasi pengasuhan, padahal corebusiness daycare, inti pekerjaannya adalah pengasuhan pengganti. Meski sudah di laksanakan pemerintah melalui Permensos Standar Nasional Pengasuhan Anak yang di keluarkan aturannya oleh Kemensos, tetapi masih berkutat akreditasi di lembaga panti. Padahal aturan tersebut penting juga dilaksanakan Daycare dalam sertifikasi para pekerja pengasuh pengganti.

Saya melihat banyak juga para pengasuh pengganti yang mengabdikam hidupnya untuk mengasuh anak orang lain. Mereka perlu jaminan profesi. Dalam rangka pengasuhan jangka panjang berkelanjutan.

Sehingga Pemerintah perlu memikirkan hal ini. Bagaimana ada jaminan kepada profesi pengasuhan pengganti, ada jaminan hukum, sehingga para pengasuh pengganti bisa mengembangkan profesinya agar lebih professional.

Selama ini daycare didirikan, hanya baru fokus pada syarat pendirian. Yang melupakan didalamnya harus ada yang didirikan juga, yaitu sertifikasi dan akreditasi sebagai lembaga yang menjalankan pengasuhan, tidak hanya sebagai pendidik.

Karena dari dulu profesi yang berhubungan dengan pengasuhan ini turn overnya tinggi, karena tanpa jaminan. Sehingga berjalan ala kadarnya. Karena posisi mereka perlu di pertegas, sehingga ke depan profesi pengasuh diharapkan berkembang.

Meski tak sedikit yang mempraktekkan alternatif care ini sangat baik. Dan perlu kita dengar dari mereka. Yang memang memiliki standard dan jamiman bagi para pengasuh di Daycarenya. Hanya sekali lagi posisi hukum pengasuh pengganti ini belum diatur, sehingga sangat rentan.

Untuk beberapa negara maju, mnerapkan standar yang tinggi untuk pekerja pengasuh pengganti, dengan penyediaan tenaga pengajar dan pengelola anak bergelar professor. Yang saya kira Indonesia sedang menuju kesana, dengan hadirnya berbagai kampus yang menyediakan jurusan pendidikan anak usia dini hingga S3.

Sehingga kita berharap Daycare mulai naik kelas, bicara akreditasi sistem pengasuhan yang sebenarnya jadi landasan corebusiness nya, bahkan bagi KPAI ini lembaga core asset, karena anak anak ini asset bangsa yang sangat besar. Dengan periode umur golden age nya di serahkan Daycare

Kita harus mengingat lagi, semangat Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional kita bicara tentang adanya upaya sadar sebelum mendidik anak. Yang artinya, didalam menyiratkan adanya prasyarat kelekatan antara anak dan pengasuh penggantinya.

Yang berarti pendidikan memperprasyaratkannya berlangsungnya sistem pengasuhan. Karena dengan hanya dengan cara pendekatan sistem pengasuhan, maka terbangun kelekatan antara anak dan pengasuh pengganti di Daycare. Sehingga visi pendidikan yang di maksud dalam Undang Undang tersebut bisa tercapai.

Meski ada dalam pendirian Daycare di sebutkan fungsi pengasuhan. Tapi belum dijabarkan utuh. Mereka lebih lengkap dalam menjabarkan soal bisnis pendidikan dan instrument pendidikan.

Tetapi bagaimana memastikan akreditasi pengasuhan, sertifikasi pengasuh pengganti, belum dimulai. Padahal mandat Undang Undang Perlindungan Anak bicara pengasuhan ideal atau disebut Undang Undang dengan kata layak.

Layak disini tentu berarti berkelanjutan, jangka panjang, permanensi. Indikator yang bisa memenuhi ini harus di pastikan. Artinya kalau masih terjadi kekerasan di Daycare, artinya prosedur tahap ini lompat semua. Sehingga ujungnya kekerasan.

Termasuk memastikan tenaga pengasuh daycare sudah dipastikan memiliki kompetensi dan riwayat bekerja dengan anak, seperti memang penyayang anak, mempunyai cara berfikir dan bekerja untuk anak, memiliki pemahaman tahapan perkembangan jiwa anak, terakhir tidak punya rekam jejak pelaku kekerasan dan dari riwayat keluarga yang mengalami pengasuhan kekerasan.

Jadi deteksi ini perlu, agar sebelum masuk bekerja di Daycare sudah benar benar pulih, terbangun kapasitas dan siap mengasuh bayi dan balita. Artinya kalau tahapan tahapan ini tidak dilalui Daycare. Maka dipastikan kekerasan di Daycare rentan terjadi.

Merunut laporan Dirjen Hukum dan HAM, Depok saja ada 110 Daycare dan hanya 12 yang terdaftar, lalu bagaimana Dirjen Hukum dan HAM memotret wilayah lainnya di Indonesia. Dari sini kita tahu ada kebutuhan yang mendesak, untuk mengetahui total Daycare di Indonesia yang perlu pengawasan dan penguatan.

Karena tidak mungkin anak anak melindungi dirinya sendiri, apalagi notabene anak di Daycare adalah bayi dan balita. Yang posisinya sangat lemah, dan dengan kekerasan ini kita tahu, mereka lebih dilemahkan lagi, yang kita tahu di masa depan akan mengancam tumbuh kembang dan jiwanya. Anda bisa membayangkan kekerasan bayi dan balita di Depok telah menyebabkan pergeseran tulang anak, trauma berat anak dengan anak bersembunyi ketika bertemu pengasuh penggantinya. Dan mereka harus menghadapi sikap itu selama sebulan. Karena tidak ada yang mengetahui, mereka berada di ruang privat yang tidak bisa tersentuh pengawasan. Sebagaimana yang dilaporkan Kepolisian setempat. Lalu, bagaimana mereka membela dirinya sendiri?

Daycare sendiri menjadi tempat penitipan anak anak sejak lahir sampai umur 6 tahun. Yang kemudian menjadi kebutuhan yang subur karena perubahan cara hidup dan gaya hidup, terutama di masyarakat perkotaan, daerah kawasan industry, orang tua yang bekerja jauh dari rumah, orang tua yang bekerja di luar kota atau luar negeri.

Juga dibayang bayangi angka perceraian yang tinggi dan banyak meninggalkan anak anak berumur belia, yang menyebabkan mereka diasuh kakek, nenek atau yang dititipkan. Yang kemudian kita tahu, sewaktu waktu mereka juga bisa berada di Daycare. Artinya kita sedang melihat bayi dan balita yang hidup dengan berpindah pindah tangan dalam pengasuhan.

KPAI sebenarnya sudah jauh jauh hari merekomendasikan, atas hasil evaluasi tempat penitipan anak ini. Bahwa ada peningkatan kebutuhan luar biasa daycare akibat pengaruh kehidupan modern, yang menyebabkan tanpa alasan kuat, orang bisa saja menitipkan anaknya di Daycare atau lembaga serupa Daycare.

Namun dalam evaluasi ketika berkunjung ke Daycare di tahun 2019, yang sebenarnya mereka adalah lembaga pengasuhan paruh waktu atau paruh hari ini, dengan minim sekali pengawasan. Bahkan karena muncul dari inisiasi masyarakat, sangat apa adanya fasilitas yang ada. Padahal anak adalah mahluk rentan yang bisa beresiko tinggi ketika salah penanganan.

Untuk itulah hasil pengawasan KPAI 2019 itu merekomendasikan pentingnya segera ada pembinaan, pengawasan dari pemerintah dan pemerintah daerah. Agar pengelolaannnya bermutu dan keterjaminan layanan dapat dipertanggungjawabkan.

Daycare sendiri memiliki banyak nama pada prakteknya di masyarakat, ada yang bernama Taman Penitipan Anak, Taman Anak Sejahtera, PAUD, Panti penitipan anak, lembaga pendidikan anak. Yang sebenarnya kebutuhan inti dari orang tua membawa kesana, adalah menitipkan anak, agar ada kegiatan yang terarah dan mendukung tumbuh kembangnya. Yang kalau ditarik pada inti aktifitas lembaga lembaga tersebut, sebenarnya, adalah menjadi pengasuh pengganti untuk anak yang dititipkan.

Daycare atau Pendidikan Anak Usia Dini sebenarnya sudah berlangsung prakteknya sangat lama. pada tahun 1963 dengan fenonema banyaknya anak anak terlantar sejak lahir, anak anak terlepas dari orang tua kandung, kemudian Kementerian Sosial tahun 1963 membuat Taman Anak Sejahtera, Kemudian ditahun 1984 kebutuhan Daycare juga di jawab oleh Permendikbud nomor 84 tahun 2014 yang mengkategorikan semua masyarakat yang mengadakan pendidikan anak sejak lahir sampai usia 6 tahun dengan menyebutnya Pendidikan Anak Usia Dini.

Masyarakat setelah melihat suburnya bisnis pendidikan usia dini, juga melihat peluang, memudakan usia sekolah, dengan mendirikan berbagai sebutan nama lembaga untuk anak sejak lahir sampai umur 6 tahun bisa beraktifitas dalam sebuah lembaga pendidikan dengan berbagai singkatan dan sebutan.

Kembali kepada praktek kekerasan anak dengan TKP Daycare di Depok dan Pekan Baru. KPAI ingin kembali menyampaikan hasil evaluasinya di tahun 2019.

Pada tahun 2019 KPAI melakukan riset kualitas layanan Taman Penitipan Anak (TPA), Taman Anak Sejahtera (TAS) atau Day Care di 9 Provinsi dan 23 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Riset tersebut memotret kualitas layanan TPA, TAS atau Day Care dari perspektif kebijakan, sumber daya manusia dan program layanan.

Dari hasil riset itu, pada implementasinya belum semua Daycare dapat menjalankan fungsi mengasuh, merawat dan mendidik anak secara baik dan berkualitas. Hal ini terjadi karena masyarakat yang berpartisipasi dalam penyediaan layanan kurang memahami urgensi dari anak
usia dini yang sering dikenal dengan periode the golden year. Tidak mengerti kebijakan perlindungan anak, tidak tahu bahwa negara telah memiliki Undang Undang Perlindungan Anak, negara telah memiliki standard Daycare.

Fungsi nya masih terbatas pada layanan rutinitas seperti mengendong bayi, memberi susu dan makan, masih sangat teknis, meski sangat penting. Namun bagaimana pengarusutamaan tumbuh kembang dan jiwa anak sesuai usia dan pemahamannya masih sangat kurang. Sehingga intervensi nya rentan menyebabkan perilaku menyimpang yang menyebabkan anak bertumbuh rentan kerah yang tidak di inginkan di masa depan. Seperti pertumbuhan jiwa dan perilaku yang sebenarnya ikut bertumbuh dengan pemenuhan kebutuhan fisiknya.

Juga konektifitas pengasuhan di rumah dan di Daycare, merumuskan bersama rencana pengasuhan, dan memiliki standar pengasuhan untuk para pekerjanya. Kemudian belum ada jaminan posisi hukum bagi para pengasuh pengganti yang menyebabkan kesejahteraan nya sulit di ukur. Sehingga seringkali pemilik Daycare, dalam mencari SDM tidak memperhatikan kompetensi bahwa mengasuh butuh keterampilan dan pengetahuan. Kemudian para pemilik Daycare, sering tidak memperhatikan rasio antara pengasuh dengan anak (bayi dan balita) yang dititipkan. Dan akhirnya posisi pengasuh pengganti yang sangat lemah, di sisi yang lain rentan, akibat kekosongan hukum yang berbuntut tidak bersikap professional, sehingga mengundang kekerasan dan perilaku menyimpang. Baik dari pemilik Daycare maupun caregivernya.

Kemudian ketersediaan layanan dukungan telah menjadi persoalan panjang, karena belum memiliki fasilitas yang memadai, belum memiliki tenaga konselor, tenaga pekerja sosial, dan memiliki upgrde kapasitas untuk para pekerja Daycare.

Begitu juga kapasitas SDM, seperti membangun perspektif menjadi pengasuh pengganti. Kemudian ada dari lembaga Daycare dan orang tua yang menitipkan anaknya dengan tuntutan agar anak mereka setelah dari Daycare siap masuk ke Sekolah Dasar, sehingga melupakan kebutuhan anak sesuai usia dan pemahamannya, yang harusnya lebih membutuhkan pengasuhan melekat, pendidikan esensial seperti olah rasa, raga dan jiwa, critical thingking, bisnis proses, yang berangkat dari potensi anak dan apa yang mereka bisa, sebagai dasar pijakan perkembangan.

KPAI juga mengingatkan, jangan pengasuhan nya berganti dengan kemudahan kemudahan dari teknologi, seperti pengawasan melalui CCTV (karena ini hanya alat bantu), pengasuhan di ganti dengan menyerahkan gawai, yang sebenarnya membuat anak tergantung dan melupakan bounding atau kelekatan antara anak dan pengasuh pengganti.

Keterbatasan ketersediaan layanan terhadap fasilitas dan perawatan menjadi hal yang hampir sama, terjadi di semua Daycare, hampir 96%. Hal ini terbukti dengan terungkapnya data Daycare Depok, dengan hanya 12 Daycare yang memenuhi syarat, sedangkan 110 lainnya tak terdaftar, maka dipastikan rentan terjadi penyimpangan sikap dari para pengasuh.

Selain itu, layanan ketersediaan gizi dan makanan menjadi layanan yang cukup tinggi dilakukan. Meski ada catatan tentang adanya kebutuhan yang lebih esensial dari memaksimalkan pertumbuhan fisik anak yang perlu di lakukan assessment lebih dalam, dan konsultasi dengan ahli gizi dan kesehatan.

Sedangkan ketersediaan Pendidikan Agama, PAUD, olahraga, ketersediaan tempat bermain, pemeriksaan kesehatan dan imunisasi, layanan konseling anak dan orang tua masih sangat perlu di perhatian dan dukungan. Kemudian bagaimana menjalankan partisipasi anak sesuai usia, tumbuh, kembang, pemahaman juga masih menjadi persoalan, sehingga butuh diberi perspektif dan kapasitas.

Kualitas penyelenggaraan Daycare yang saat ini diselenggarakan oleh masyarakat banyak yang belum terstandarisasi. Masyarakat menyelenggarakan lebih dominan didasarkan pada kapasitas dan kepentingan masing-masing lembaga, bukan pengarutamaan kepentingan terbaik bagi anak. Sehingga standarisasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah tidak dapat berjalan secara baik dan optimal.

Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa 44% belum memiliki legalitas operasional antara lain sebanyak 30,7% tidak memiliki izin operasional, 12% tidak memiliki tanda daftar dan
13,3 persen tidak memiliki dokumen badan hukum. Selain itu, 72% adalah milik perseorangan dan 20% milik pemerintah.

Standar pengelolaan organisasi tidak berjalan baik, karena belum adanya perencanaan program, pengorganisasian, pelaksanaan rencana kerja dan pengawasan yang sistematis dan berkelanjutan.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa 12% tidak memiliki struktur organisasi, 29,3% tidak memiliki dokumen visi misi, 18,7% tidak memiliki program kerja dan 25,3% tidak memiliki standar operasional prosedur dalam penyelenggaraan pelayanan

Bahwa sumber daya pelayanan adalah perempuan dengan usia dominan pelaksana layanan 21-40 tahun 70,6%. Seleksi rekam jejak dan profesionalitasnya 57-66%. Artinya masih banyak pengelolaan yang belum menyeleksi pekerja pengasuh pengganti.

Selain itu, dukungan tenaga professional paling banyak adalah guru yaitu 65%, sedangkan dokter/perawat dan psikolog 23%, serta konselor dan pekerja sosial sebanyak 16%.

Meski secara praktis, dalam pelaksanaannya, lebih banyak di kerjakan para pekerja di bawahnya, yang notabene lebih dominan diperankan pekerja lulusan setingkat SMA ke bawah.

Berkaitan dengan, siapa saja yang paling banyak mendapatkan layanan 0 s.d. 6 tahun, hasilnya yang terbanyak memanfaatkan layanan ini adalah anak umur 2 tahun. Sedangkan terkait dengan rasio pengasuh dengan anak asuh, masih belum ideal, khususnya yang mengasuh anak usia dibawah dua tahun.

Adapun waktu penitipan yang favorit, adalah waktu penitipan lebih dari 8 jam, yang artinya alasan orang tua bekerja menjadi alasan utama anak dititipkan.

Namun dengan berubahnya cara bekerja terutama online, maka meski bekerja dari rumah, ada kemungkinan anak anak tetap di titipkan ke Daycare akibat pertimbangan pertimbangan beban pekerjaan di rumah dan mempertimbangkan pada waktu waktu tertentu harus keluar rumah.

Kemudian dengan angka perceraian yang tinggi di usia muda dan meninggalkan anak di usia belia, menyebabkan orang tua pengganti yang di titipkan mengandalkan Daycare.

Dalam riset tersebut, juga terungkap alasan orang tua menitipkan anak, kebanyakan karena alasan pekerjaan, tidak memiliki pengasuh, anak titipan dan kedekatan Daycare dengan tempat bekerja.

Namun menurut para pengelola, meski dititipkan, masih banyak orang tua belum memiliki perspektif pengasuhan yang baik, sehingga kegagalan pengasuhan membayangi di masa depan. Sehingga butuh penguat dari luar, seperti kantor tempat orang tua bekerja dan lingkungan rumah.

Bicara tingkat ekonomi, kebanyakan orang tua yang menitipkan anak, atau keluarga yang menitipkan anak adalah ekonomi kelas menengah, sedangkan yang tidak mampu, lebih memanfaatkan fasilitas yang disediakan pemerintah seperti Taman Pendidikan Anak yang di bawah tanggung jawab Kemendikbudristek dan Taman Anak Sejahtera dibawah tanggung jawab Kementerian Sosial.

Dalam hal keamanan, baru separuh yang memiliki kesadaran tinggi soal keamanan. Baik keamanan anak, pengasuh pengganti, lembaga, termasuk pengamanan saat keluar masuk dari tempat Daycare. Sehingga penting tempat Daycare diperkenalkan soal keamanan dan menjadi standar minimal berlangsungnya Daycare.

Pada aspek kerjasama atau kemitraan, masih memerlukan peningkatan kapasitasi dengan memanfaatkan jejaring dengan baik. Begitu pula pendalaman soal bakat dan minat anak, belum menjadi perhatian sepenuhnya.

Rekomendasi KPAI kepada Pemerintah
Pemerintah perlu meningkatkan kualitas koordinasi dan sinergi dalam peningkatan kualitas dan kuantitas, layanan. Pentingnya evaluasi dan perbaikan terhadap standar nasional pendidikan anak usia dini, juga mulai menerapkan standar nasional pengasuhan anak, melaksanakan akreditasi lembaga Daycare pada bidang pengasuhan dan sertifikasi tenaga pengasuh pengganti, sehingga ada standar nasional yang dapat memandu masyarakat penyelenggara Daycare dalam memperbaiki layananya.

Mendorong pemerintah meneruskan kajian, untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam penerapan standar nasional pendidikan anak usia dini dan standar nasional pengasuhan. Kemudian peningkatan kualitas regulasi, kebijakan, sumberdaya manusia, program, anggaran dan layanan. Penguatan SDM dan penguatan kompetensi pengasuh.

Pemerintah Daerah juga harus berperan daam menghidupkan pengawasan terdekat Daycare dengan menghidupkan peran peran masyarakat pemerhati anak, memperkuat kebijakan, membangun hotline supervisi ahli Daycare yang setiap waktu dapat menjadi hotline layanan, dalam rangka kecepatan penanganan kasus, manajemen kasus dan manajemen referral kasus, serta supervise rutin peningkatan kompetensi pengasuh pengganti. Kemudian melakukan percepatan penerapan standar pelayanan dan akreditasi, dalam membangun, melindungi dan menjamin profesi pengasuh pengganti.

Indonesia sendiri sebenarnya memiliki RUU Pengasuhan Anak, tapi meski selalu masuk proegnas, tetapi jadi RUU terlantar di meja legislasi. Meski dipahami legislator sangat dibutuhkan sehingga masuk sebagai prioritas regulasi yang harus di syahkan.

Dengan tidak menyebutnya seolah olah fenemena banyak anak terlantar dan mengalami kekerasan ketika dipindahkan, akibat RUU ini terlantar. Namun karena di telantarkan begitu lama, tentu perlu semua kembali mengingatkan akan pentingnya hadir payung kebijakan yang mengatur pengasuhan Anak.

Kita membutuhkan RUU Pengasuhan Anak karena sudah terlalu banyak bentuk pengasuhan pengganti di abad modern ini. Sehingga anak notabene berada dalam situasi pengasuhan berpindah pindah, baik melalui alat alat teknologi seperti gawai atau hp dan menjamurnya pengasuh pengganti yang berwujud menjadi berbagai sebutan lembaga penitipan anak. Yang ketika anak berada di dalamnya belum ada jaminan pengasuhan yang layak.

Sehingga jangan sampai persyaratan pendirian Daycare mudah di dapatkan di masyarakat, tapi melupakan kerja yang sebetulnya, yaitu pengasuhan ideal dan memastikan adanya pengasuhan yang layak untuk anak.

Bahwa aktifitas inti Daycare adalah pengasuhan pengganti, dan kita belum banyak menjadikannya secara sistemik menjadi payung kebijakan, baik anak anak yang berpindah pindah pengasuhan, pekerja pengasuh pengganti dan manajemen lembaganya.

Meski sudah ada unsur pengasuhan dalam syarat pendiriannya, namun belum menjadi core utama, karena tidak ada payung kebijakan diatasnya, yang memaksa untuk memikirkan pentingnya pengarusutamaan pemenuhan pengasuhan yang ideal untuk modal pertumbuh kembang dan jiwa anak yang kuat di jamannya.

Karena mereka adalah core asset inti dari masa depan kita semua. Mari kuatkan Daycare dan pastikan pengasuhan yang layak terjadi, sebagai pemenuhan HAM anak di Indonesia.

Sebagai penutup, kiranya penting melihat sejarah awal Pendidikan usia dini di Indonesia, yang dicatat oleh Bapenas, dimana pada tahun 1919, Aisyiyah mendirikan TK Frobel.

Muhammadiyah melalui Aisyiyah saya kira telah menerapkan standar yang tinggi bagi para pengasuh pengganti atau educator di amal usahanya. Mereka punya semacam tanfidz atau panduan sebelum mendirikan Daycare. Yang terus di kaji dan pedomannya terus diperbaharui.

Saya kira ini Daycare yang terus terorganisir secara baik mulai dari tingkat ranting, cabang, wilayah sampai pusat. Yang terus berkembang baik, kesejahteraan serta karir pengasuh penggantinya dalam Daycare terus diperhatikan.

KPAI merekomendasikan bisa jadi study banding para pemilik Daycare. Yang saya kira perlu di sumbangsihkan Aisyiyah kepada negara, Agar ada pemajuan dalam upaya perbaikan Daycare di Indonesia dari hasil kajian mereka sekian lama tentang Pendidikan Anak Anak Usia Dini.

Saya juga coba mengajak melirik sejenak, lembaga pengasuhan yang terakreditasi (sebenarnya pada prakteknya daycare juga, karena anak yang di titipkan masih memiliki keluarga) tapi ada sistem pengasuhan, punya kebijakan bekerja dengan anak (safe child guarding), punya assesment, dari asessment membangun perencanaan pengasuhan, perencanaan intervensi gizi-fisik-psikomotorik, membuat pelatihan parenting bersama orang tua anak (sehingga terkonek pengasuhan dengan di rumah) dan kesejahteraan pengasuh. Mereka bisa jadi bahan study banding untuk Daycare.

Penulis adalah Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)