Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Terapkan Hukuman Mati

Pemberantasan Korupsi ke Depan Bakal Suram
Oleh : si
Senin | 15-10-2012 | 20:20 WIB
Yenti_Ganarsih.jpg Honda-Batam

Yenti Ganarsih

JAKARTA, batamtoday - Pengamat hukum pidana, Yenti Garnasih, menyatakan bahwa masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia bakal suram. Salah satu indikasinya adalah perselisihan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).


"Masa depan pemberantasan korupsi suram. Indikasinya, antara lain terjadinya perseteruan antara KPK dengan Polri dua tahun terakhir," kata Yenti Garnasih, dalam Dialog Pilar Negara, bertema "Masa Depan Pemberantasan Korupsi Indonesia" di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (15/10/2012).

Selain perseteruan KPK dan Polri, Yenti juga menilai kinerja polisi, kejaksaan dan hakim juga menjadi indikator penyebab suramnya masa depan pemberantasan korupsi. "Polri dan Kejaksaan Agung banyak menangani perkara korupsi besar mencapai Rp 500 miliar. Tapi proses penanganan hukumnya sangat tertutup hingga publik tidak mengetahui apa yang terjadi dengan proses hukum perkara korupsi," kata Ganarsih.

Bahkan, lanjutnya, saat ini sudah terbangun opini bahwa KPK adalah institusi pemberantas korupsi yang handal hingga semua tersangka bisa didakwa dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Padahal, sebutnya, surat dakwaan terhadap terdakwa sering banyak kelemahan.

Tapi karena perkaranya ditangani KPK, maka hakim sekalipun penuh dengan keraguan memberi hukuman kepada terdakwa. "Saya tahu, banyak kelemahan dari tuntutan Jaksa KPK yang bersumber dari lemahnya penyidikan. Tapi karena perkara ini ditangani KPK, majelis hakim takut untuk membebaskannya hingga memberikan hukum minimalis," ungkap Yenti.

Dosen di Universitas Trisakti itu juga mengritisi perlakuan aparat negara terhadap terpidana koruptor selama menjalani hukuman. "Faktanya, napi koruptor diberlakukan khusus bahkan bisa bermewah-mewah dalam penjara dan setelah menjalani masa hukuman, masyarakat bahkan mengelu-elukan para koruptor," tegasnya.

Terapkan hukuman mati

Pada kesempatan itu, pakar hukum pidana Yenti Garnasih mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan hukuman mati bagi koruptor, narkoba dan kejahatan lainnya yang mengancam dan merugikan masyarakat dan perekonomian negara. Hukuman mati itu positif dan tidak perlu takut dengan tudingan pelanggaran HAM.

Sebab, di 50 negara Amerika Serikat saja, hanya 17 negara yang tak menerapkan hukuman mati. Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Jepang dan banyak negara lain tetap menerakpan hukuman mati sesuai dengan aturan negaranya sendiri.

“Hukuman pidana mati itu yang tahu kita sendiri, bukan negara lain. Karena itu harus membuat aturan sendiri dengan melakukan konvensi-konvensi dengan aturan internasional. Khusus untuk koruptor, perlu peraturan perampasan aset hasil korupsi, agar berdampak jera. Kalau tidak, orang yang korupsi ratusan miliaran rupiah meski dihukum beberapa tahun, mereka tetap kaya setelah keluar dari penjara,” tandas Yenti Garnasih.

Yenti Ganarsih mempertanyakan kenapa koruptor dari partai politik maupun partainya sendiri yang terindikasi korupsi sulit untuk ditindak. “Banyak politisi  untuk meraih jabatan itu dananya dari korupsi, maka ketika berkuasa pasti akan sulit memberantas korupsi. Untuk itu banyak proses demokrasi dilakukan dengan kejahatan pencucian uang. Kedepan dana parpol itu harus melalui transfer bank, tidak boleh cash agar lalu lintas uang politik diketahui publik,” ujarnya.

Ia menambahkan, dalam upaya pemberantasan korupsi tidak perlu mengedepankan azas praduga tak bersalah, karena banyak disalahgunakan para pejabat dan politisi. Karena itu tidak mengherankan meski mereka telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, kejaksaan maupun Polri tetap bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah, bahkan ada yang dilantik. 

“Lalu, mana kepekaan pemerintah dan DPR terhadap pemberantasan korupsi? Padahal rakyat menolak, karena tidak perlu lagi menggunakan azas praduga tak bersalah," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR Hajrijanto Y Thohary mempertanyakan kenapa sejauh ini tidak ada menteri, gubernur, bupati dan pejabat daerah yang lantang mengatakan suara anti korupsi. 

"Seolah tak ada kemauan politik untuk bersih dari korupsi. Bahkan, sekarang ini seperti kehilangan rasa malu meski telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. “Jadi, pemberantasan korupsi itu selain UU juga perlu strategi budaya, mengingat UU nya sudah cukup,” tegas politisi Golkar ini.

Hajrijanto berharap semua tetap optimis  dalam upaya memberantas korupsi ini di mana KPK sebagai taruhan terakhir bangsa ini untuk menyelamatkan dan membersihkan negara dari korupsi.

“KPK tak boleh gagal, sebab kalau gagal berarti setback atau mundur secara mental dan seolah negara ini tak mampu melawan korupsi. Karena itu, MPR mendukung hukuman mati bagi koruptor,” tuturnya.

Sedangkan Anggota DPR Abdul Malik Haramain menilai, diperlukan pemimpin yang tegas dalam memberantas korupsi, karena aturan perundang-undangannya sudah memadai.

“Saat ini pemberantasan korupsinya jalan, tapi korupsinya lebih besar dan dilakukan secara sistematis. Yaitu sejak penetapan APBN sampai APBD yang melibatkan pejabat di pusat sampai daerah, dan karenanya harus dilakukan pengawasan dari pusat sampai daerah.

Kendati begitu Malik juga mengaku optimis pemberantasan korupsi tetap berjalan, asalkan tetap dikawal oleh seluruh komponen bangsa. “Saya tetap optimis, tapi harus dikawal. Apalagi perguruan tinggi negeri juga sudah terlibat korupsi. Bahkan orang yang lantang anti korupsi, kader partainya malah banyak kesandung korupsi,” tegas Malik.