Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Meritokrasi Hati
Oleh : Redaksi
Rabu | 31-07-2024 | 09:24 WIB
3107_meritokrasi_09238238237.jpg Honda-Batam
Ilustrasi meritokrasi. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

SEDIH dan gembira. Itulah hasil pengalaman keliling daerah di Indonesia.

Banyak bupati dan wali kota yang membuat hati gembira: begitu nyata hasil kerja mereka. Sebagian pintar mempromosikan hasil itu. Sebagian lagi tidak.

Sebaliknya banyak daerah dan kota yang begitu-begitu saja. Pun setelah kepala daerahnya menjabat 10 tahun. Daerah dan kota itu seperti kehilangan waktu 10 tahun.

Di zaman Orde Baru kepala daerah yang biasa-biasa saja hanya punya satu periode masa jabatan. Bagi yang sangat bagus bisa dua masa jabatan. Dan bagi yang prestasinya istimewa bisa diangkat jadi gubernur. Atau tetap bupati/wali kota tapi naik ke daerah/kota yang lebih besar.

Bupati Lumajang Soewandi (sempat jadi mertua Rini Soewandi, mantan meneg BUMN dan memperindag) naik jadi Gubernur Kaltim. Bupati Trenggalek Sutran, naik jadi Gubernur Papua. Dan seterusnya.

Kini bukan lagi atasan yang menilai prestasi itu. Sudah pindah ke partai dan rakyat setempat.

Kini rekom partai sangat menentukan. Istilahnya rekom, tapi isinya putusan partai: siapa calon bupati/wali kota dan gubernur di suatu wilayah.

Minggu-minggu ini perburuan rekom itu luar biasa gencarnya.

Anda pun tahu: apa syarat utama untuk mendapatkan rekom partai. Bukan hanya capaian prestasi.

Akibat aturan hasil reformasi banyak kepala daerah yang hebat-hebat hilang begitu saja. Mereka tidak bisa maju untuk ketiga kalinya. Saya tentu mendukung itu. Dua periode cukup.

Tapi sudah waktunya ada perubahan: bagi kepala daerah yang sudah menjabat dua periode dengan prestasi yang istimewa seharusnya bisa dapat saluran. Agar negara ini tidak kehilangan orang-orang hebat.

Konkretnya: bupati atau wali kota yang prestasinya istimewa harus diberi kesempatan untuk ''naik kelas''.

Belum tentu semua mereka bisa menjadi calon gubernur, tapi harus dibuka kesempatan untuk bisa menjadi bupati/wali kota di daerah yang lebih besar.

Misalnya Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Prestasinya luar biasa. Masih muda pula. Alangkah baiknya kalau masih boleh jadi kepala daerah lagi di kota yang lebih besar seperti Malang atau Surabaya.

Masih ada beberapa kepala daerah sekelas Azwar Anas. Di Jateng ada tiga. Di Jatim ada dua. Di daerah lain pun ada. Umumnya dari PDI-Perjuangan.

Kalau kesempatan naik kelas itu dibuka maka kepala daerah yang bekerja keras dan sukses bisa punya dua pintu: pintu atas ke provinsi dan pintu samping ke kota yang lebih besar.

Memang akan ada perdebatan yang panjang: apa kriteria prestasi yang istimewa itu. Serumit apa pun pasti bisa dirumuskan. Yang penting mau atau tidak.

Pemimpin yang baik dan hebat itu langka. Alangkah kehilangannya kalau punya pemimpin yang jelas-jelas terbukti hebat tapi tidak bisa lagi berkarir karena aturan.

Anggap saja itu bagian dari cara kita menjunjung tinggi prinsip meritokrasi. Yang hebat-hebat yang harus naik. meritokrasi seperti itulah yang dengan ketat dilaksanakan di Tiongkok. Lalu terbukti menjadi salah satu kunci sukses negara itu.

Apakah partai punya prinsip menegakkan meritokrasi? Apakah rakyat mempertimbangkan prinsip meritokrasi dalam setiap Pilkada?

Kita setuju untuk menjunjung tinggi meritokrasi. Dalam hati. Tidak dalam tindakan.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia