Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Siapa Berkepentingan di Balik Absennya Kapten MT Arman Mahmoud pada Sidang Putusan
Oleh : Aldy Daeng
Selasa | 09-07-2024 | 17:24 WIB
Kapt-MT-Amran1.jpg Honda-Batam
Kapten super tanker MT Arman 114. (Aldy/BTD)

BATAMTODAY.COM, Batam - Menghilangnya terdaka Kapten MT Arman Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba, dua kali dalam persidangan dengan agenda pembacaan putusan mengisahkan pertanyaan besar pada mode peradilan di Kota Batam dan Indonesia secara umum.

Perkara pencemaran lingkungan (laut) yang melibatkan kapal super tanker MT Arman 114, masih berproses di Pengadilan Negeri (PN) Batam. Nahkoda, Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba, yang didakwa dalam perkara ini, sudah melewati proses tuntutan, Pledoi dan saat ini tengah memasuki agenda tuntutan atau vonis.

Tapi apa mau dikata, dua kali agenda yang sekral tersebut diagendakan, namun, baik pihak Kejaksaan Negeri Batam dalam hal ini JPU maupun pihak Pengadilan Negeri Batam, belum mampu menghadirkan terdakwa yang merupakan Kapten Kapal yang berbendera Mesir tersebut.

Setelah melalui proses persidangan yang panjang, dalam dakwaan pengerusakan lingkungan, Nakhoda MT Arman 114, Mahmoud Abdelaziz Mohamed, akhirnya dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar, subsidair 6 bulan kurungan.

Dengan Kapal super tanker dan muatan minyak yang fantastis jumlahnya, disinyalir menjadi lirikan sejumlah mafia kapal.

Selain hukuman pidana, hal paling menarik perhatian publik pada saat pembacaan surat tuntutan itu, khususnya mengenai barang bukti berupa kapal MT Arman 114 dan muatannya light crude oil (LCO) sebanyak 166.975.36 metrik ton. Di mana, barang bukti tersebut dinyatakan dirampas untuk negara.

"Menetapkan barang bukti, berupa kapal MT Arman 114 berbendera Iran nomor IMO 9116912 dan muatan light crude oil (minyak mentah) sebanyak 166.975.36 metrik ton dari Mr Mahmoud Abdelaziz Mohamed, dirampas untuk negara," kata jaksa Marthyn Luther, membacakan surat tuntutan, Senin (27/6/2024) sore.

Kendati perkara belum tuntas, ternyata banyak pihak luar yang ingin menguasai kapal dan muatannya itu. Bahkan, mafia yang menginginkan kapal dan muatannya itu diduga memperalat instansi negara.

Hal ini diungkap terdakwa Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba, saat bertemu sejumlah wartawan pada Minggu (2/6/2024) di Batu Ampar, Kota Batam. Sebab, dia menilai instansi negara yang mencoba 'mengobok-obok' MT Arman 114 itu, melakukan tindakan di luar kewenangannya.

"Apa kewenangan KLHK menaikkan dan menurunkan crew kapal? Sesuai aturan internasional, naik turunnya crew kapal itu kewenangan penuh nahkoda (kapten)," ungkap Mahmoud Mohamed, melalui seorang penerjemah bahasa.

Mengenai crew kapal, kata dia, KLHK pada Jumat (31/5/2024) menaikkan crew kapal baru sebanyak 20 orang ke MT Arman 114. Crew baru itu terdiri dari 14 WN Suriah dan 6 WN Iran. Sementara crew lama sebagian diturunkan dari kapal, khususnya yang WNI.

"Saat ini yang menjadi nahkoda itu saya dan MT Arman 114 ini masih menjadi barang bukti dalam kasus yang didakwakan kepada saya. Untuk itu saya meminta pengadilan bertindak tegas dan adil, bagaiman bisa barang bukti perkara dikuasai pihak lain," tegas Mahmoud Mohamed saat belum menghilang.

Menanggapi pola perjalanan peradilan MT Arman tersebut, tidak sedikit pakar hukum berseliweran menanggapi terkait penegakan hukum dengan terdakwa yang bukan warga negara Indonesia itu.

DR Fadlan, salah satu praktisi hukum Kota Batam menilai, bahwa dalam perkara ini, ada indikasi menabrak hukum acara pidana. Dimana menurutnya, dakwaan diatas 5 tahun sudah sepatutnya dilakukan penahanan sejak awal penyelidikan hingga penyidikan. Atau dalam artian ada penahanan secara berjenjang. Mulai dari penangkapan, penyidikan oleh PPNS (KLHK), Kejaksaan dan selanjutnya Pengadilan tinggal meneruskan penahanan.

"Disini timbul pertanyaan besar di publik, kenapa tidak dilakukan penahanan, terlebih sudah ditetapkan sebagai tersangka hingga terdakwa. Nakhoda itu adalah penanggung jawab, apalagi dia WNA," ungkap DR Fadlan saat ditemui di bilangan Batam Center, Selasa (9/7/2024).

Lebih lanjut, DR Fadlan yang juga sebagai Dosen di Fakultas hukum ini menjelaskan, dengan perlakuan aparat hukum dalam menangani terdakwa seperti saat ini, maka hal itu telah menimbulkan multi tafsir di tengah masyarakat. Terlebih aparat penegak hukum tidak ada yang memberikan alasan yang jelas terkait tidak ditahannya terdakwa yang merupakan WNA tersebut.

"Berdasarkan hukum positif terdakwa harus ditahan. Dengan tidak ditahannya terdakwa, seharusnya APH mempunyai alasan yang jelas, kenapa terdakwa tidak ditahan. Ini merupakan preseden buruk bagi pengadilan Indonesia," ungkapnya.

Bahakan, dengan adanya statement dari juru bicara Pengadilan Negeri Batam, pada Kamis (4/7/2024), atau saat agenda tuntutan dan tidak dihadiri oleh terdakwa, bahwa PN Batam memerintahkan kepada JPU untuk melakukan pemanggilan, kemudian pemanggilan paksa, bila juga tidak bisa dihadirkan, maka akan dilakukan pembacaan vonis dengan mode in absensia, atau pembacaan vonis tanpa kehadiran terdakwa.

"Bila vonis in absensia, ada dua aturan yang dilanggar sekaligus. Pertama undang-undang pelayaran berkaitan dengan kedaulatan dunia pelayaran, Dan kedua proses hukum itu sendiri. In absensia belum pernah terjadi di Batam. Apakah hal yang seperti ini yang mengedukasi masyarakat?," tanya DR Fadlan.

Sebab, Fadlan melanjutkan, bila keputusan ini (in absensia ) tetap akan terjadi, maka akan menimbulkan persoalan baru pada Kejaksaan Negeri Batam (JPU), bagaimana akan mengeksekusi terdakwa bila sudah ada keputusan dari Majlis Hakim di Pengadilan Negeri Batam.

"Ini akan menimbulkan persoalan pada JPU, bagaimana mengeksekusi putusan terhadap terdakwa. Dan pastinya akan dikejar oleh masyarakat," terang DR Fadlan.

Untuk itu, DR Fadlan menambahkan, pihaknya berharap persidangan ini akan berjalan dengan normal sebagaimana mestinya. Dan tentunya bisa dihadiri terdakwa pada agenda pembacaan putusan. Sebab, baginya, perkara MT Arman tidak lagi menjadi isu lokal dan Nasional, perkara ini sudah menjadi isu Internasional.

"Jangan sampai timbul hal negatif, karena Indonesia terkenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Harapan saya proses persidangan bisa berjalan normal, sehingga tidak menimbulkan perspektif pandangan negatif di masyarakat. Ini bukan lagi isu lokal, pandangan internasional sudah tersorot ke perkara ini," pungkas DR Fadlan.

Editor: Yudha