Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menilai Ulang Pelemahan Rupiah, Antara Fundamental Ekonomi dan Opini Publik
Oleh : Opini
Minggu | 28-04-2024 | 10:04 WIB

Oleh Achmad Nur Hidayat

DALAM situasi ekonomi global yang fluktuatif, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyatakan bahwa pelemahan rupiah masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain seperti Thailand, Korea, dan Turki membutuhkan tinjauan kritis.

Memang, secara nominal, rupiah mungkin tidak terdepresiasi seburuk mata uang negara lain, tetapi pernyataan ini cenderung menyesatkan dan dapat mengurangi urgensi dalam menangani masalah fundamental ekonomi Indonesia.

Misleading Menteri Keuangan
Menilai kinerja mata uang hanya berdasarkan depresiasi nominal di pasar forex bisa menyesatkan. Mengklaim bahwa "lebih baik" dibandingkan negara lain adalah pendekatan yang reduktif yang mengabaikan faktor-faktor kompleks yang membentuk ekonomi suatu negara.

Sementara pelemahan rupiah mungkin terlihat lebih minimal dibandingkan dengan mata uang negara lain, ini tidak necessarily berarti bahwa kondisi ekonomi Indonesia lebih stabil atau lebih baik.

Dampak Kurang Serius Atasi Masalah Fundamental Ekonomi
Ketidakseriusan dalam menanggapi angka-angka ini menyebabkan kegagalan dalam mengatasi masalah yang lebih mendalam, seperti ketergantungan berlebihan terhadap utang luar negeri, defisit transaksi berjalan, dan ketidakseimbangan neraca perdagangan.

Ekonomi Indonesia sendiri mengalami utang luar negeri yang terus meningkat, defisit transaksi berjalan yang membesar dan ketidakseimbangan neraca perdagangan yang persisten. Ketiga faktor ini disebut faktor fundamental tersebut lah yang menyebabkan nilai tukar rupiah Rp16,200/USD bahkan bisa mencapai Rp16,900/USD diakhir tahun 2024

ULN Meningkat
Per akhir tahun 2023, total utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar 407,1 miliar USD atau atau Rp6597 triliun Rupiah (kurs Rp16,200/USD).

Peningkatan ini mencerminkan pertumbuhan tahunan sebesar 2,7 persen dari tahun sebelumnya. Mengutip dari halaman ULN Indonesia, komposisi ULN ini terutama disebabkan oleh 23,7% berasal sektor Kesehatan dan Layanan Sosial paska Pandemi Covid(Rp1563 triliun), 18,9% dari sektor Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (Rp1246 Triliun), 14,1% dari utang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur (Rp930 triliun).

Pelibatan APBN untuk proyek Infrastruktur seperti KA Cepat Jakarta-Bandung, IKN dan Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya menambah berat beban utang LN Indonesia.

Defisit Transaksi Berjalan Naik
Pada tahun 2023, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 0.1% dari PDB. Defisit ini terjadi disebabkan penurunan harga komoditas global yang mempengaruhi ekspor negara.

Pada 2024, Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit transaksi berjalan yang lebih tinggi. Diperkirakan defisit ini akan berada dalam kisaran 0,1% hingga 0,9% dari PDB, menandakan manajemen keuangan negara memburuk.

Neraca Perdagangan Tumbuh Tapi Kurang Berkesan
Pada Januari 2024, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar $2.01 miliar. Ini menunjukkan penurunan dari $3.31 miliar yang dicatat pada Desember 2023. Pada periode yang sama, surplus diperoleh terutama dari komoditas non-minyak dan gas seperti bahan bakar mineral seperti nikel ore dan bauksit serta minyak lemak hewan dan nabati, juga besi dan baja.

Kebutuhan Reformasi Ekonomi
Fokusnya Menteri Keuangan kepada perbandingan yang sempit itu dapat mengalihkan perhatian dari kebutuhan untuk reformasi ekonomi yang lebih substantif.

Ketidakseriusan dalam menghadapi pelemahan rupiah mencerminkan kegagalan dalam mengatasi masalah ekonomi yang lebih kompleks.

Fokus yang sempit pada perbandingan nilai tukar dapat mengaburkan gambaran yang lebih besar, terutama masalah seperti ketergantungan yang tinggi terhadap utang luar negeri.

Utang ini membebani anggaran negara dengan pembayaran bunga yang besar, membatasi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan ekonomi domestik.

Demikian pula, defisit transaksi berjalan yang terus menerus mencerminkan ketidakseimbangan antara impor dan ekspor, yang menunjukkan kekurangan dalam daya saing produk domestik atau ketergantungan pada impor.

Ketidakseimbangan neraca perdagangan ini memperparah tekanan pada rupiah, membuat ekonomi Indonesia lebih rentan terhadap guncangan eksternal. Sehingga, sangat penting untuk melakukan reformasi ekonomi yang lebih mendalam dan berkelanjutan, bukan hanya merespons fluktuasi nilai tukar semata. Kita perlu mendorong peningkatan produksi domestik dan diversifikasi ekspor untuk mencapai keseimbangan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan.

Melihat Konteks Ekonomi Secara Menyeluruh
Sebagai ekonom, saya mengajak Ibu Sri Mulyani dan pengambil kebijakan ekonomi lain seperti Bank Indonesia dan OJK harus menganalisis konteks ekonomi lebih luas, termasuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah, kondisi pasar global, dan faktor internal yang mempengaruhi kekuatan ekonomi.

Evaluasi ini harus melampaui angka depresiasi mata uang dan memasukkan pertimbangan terhadap indikator ekonomi makro, stabilitas politik, dan kebijakan fiskal dan moneter. Jangan sekedar membandingkan nominal pelemahan nilai tukar saja.

Rekomendasi Memperkuat Nilai Tukar dengan Pendekatan Fundamental Ekonomi

Untuk memperkuat nilai tukar rupiah secara berkelanjutan dan menyentuh aspek fundamental ekonomi, Indonesia memerlukan serangkaian reformasi yang mendalam.

Upaya ini harus dengan serius dilakukan, karena jika tidak, cadangan devisa Indonesia tidak akan mencukupi untuk mengintervensi USD yang sudden flight.

Menyikapi Pelemahan rupiah 1 minggu terakhir, devisa Indoensia diprediksi sudah tergerus 2,6 miliar USD sehingga cadev menjadi 137,8 miliar USD per akhir April 2024.

Mengutip data Bank Indonesia (BI), posisi cadangan devisa Indonesia di akhir Maret 2024 sebesar 140,4 miliar dollar AS.

Rekomendasi yang harus dilakukan antara lain:

Pertama, Diversifikasi Pembiayaan Pembangunan Ekonomi: Mengurangi ketergantungan pada Utang Luar Negeri baik jangka pendek maupun jangka panjang

Kedua, Reformasi Kebijakan Fiskal: Kebijakan fiskal saat ini belum mengoptimalkan struktur pajak untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani sektor produktif.

Ketiga, Kebijakan Moneter yang Proaktif: Koordinasi yang lebih erat antara pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar.

Kadang BI terkesan sendirian menjadi guardian of Rupiah, padahal seharusnya koordinasi dapat memperkuat rupiah tanpa kehilangan devisa Indonesia yang signifikan.

Melalui pendekatan yang lebih holistik dan fokus pada kekuatan internal ekonomi, Indonesia dapat membangun fondasi yang lebih kokoh untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang inklusif dan berkelanjutan.

Memperkuat nilai tukar rupiah bukan hanya melalui intervensi pasar, tetapi melalui pembenahan struktural yang akan memperbaiki ekonomi dari dalam.

Penulis adalah Ekonom UPN Veteran Jakarta dan CEO Kebijakan Publik Narasi Institute