Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Dinilai Tak Pernah Implementasikan Kebijakan Pro Rakyat
Oleh : si
Kamis | 04-10-2012 | 13:47 WIB

JAKARTA, batamtoday - Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh berpendapat bahwa pemerintah tidak pernah mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang sudah dibuat selama ini untuk kepentingan rakyat.


Menurutnya, sejauh ini konsep pro job, pro growth dan pro poor belum terlihat dari program atau kebijakan yang ada.
 
Ia mengatakan pada dasarnya semua partai pro rakyat, tetapi yang penting didalam konteks pemerintahan, pemerintah harus pro job , pro growth, tetapi tetap miskin di implementasi atau follow up.

“Sejauh ini konsep tersebut belum terlihat. Pemerintah harus tetap mengimplementasikan konsep tersebut dari grand design yang telah dicanangkan”, katanya di Jakarta, Kamis (4/10/2012).
 
Berkaitan dengan kebijakan, lanjutnya yang terpenting adalah pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan dibarengi pengawasan. Bukan malah sebaliknya. Kita bisa ambil contoh dalam rapat pembahasan anggaran tercermin bahwa anggaran untuk pengawasan lebih kepada hitungan kualitas semata-mata tetapi harus ada sinergitas antara kualitas dan kuantitas.
 
“Kurangnya pengawasan karena adanya kelemahan sosialisasi dalam konteks pekerjaan atau tenaga kerja yang dmaksud sebagai outsourcing, karena yang diatur Undang-Undang adalah pekerjaannya bukan tenaga kerjanya yang sebagai outsourcing”, ungkapnya.
 
Lebih lanjut ia mengatakan walaupun pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi meningkat, namun hal tersebut tidak ada korelasi dengan kesejahteraan buruh karena tidak terpenuhinya kebutuhan hidup layak tersebut.
 
Tidak Ada Kontrak Permanen
Terkait mogok massal buruh pada tanggal 3-8 Oktober ini, diperkirakan sekitar 3 juta buruh di seluruh Indonesia siap melakukan aksi mogok misal di beberapa wilayah di Jabodetabek dan berbagai daerah lainnya.
 
Menanggapi permasalahan tersebut, politisi Partai Golkar mengatakan tidak adanya kontrak permanen menyebabkan outsourcing terjadi. Sebagai misal, di sektor migas atau perminyakan. Aturan kontrak pekerja di sana (migas) adalah 3 tahun.

“Bagaimana bisa merekrut pekerja menjadi permanen jika  regulasinya tumpang tindih?”, tanyanya.
 
Jika melihat dari sisi pengusaha, sebenarnya pengusaha berada dalam posisi dilematis. Poempida mencontohkan, seperti proses tender proyek per tahunan atau 3 tahunan, sehingga banyak terjadi outsorcing. Dengan demikian, hal ini menyebabkan pengusaha tidak bisa merekrut secara permanen.

“Regulasi tersebut seharusnya dibuat 5 atau 10 tahun bukan dibuat maksimal 3 tahun, karena sebenarnya mereka (pegawai migas) dikontrak selama 30 tahun”, lanjutnya.

Poempida menambahkan selama ini ada mekanisme atau sistem yang salah dalam perselisihan hubungan industrial (PHI). Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebagai asosiasi pengusaha selama ini tidak pernah diatur dalam UU, sebaliknya yang diatur UU adalah Kadin. Padahal Apindo hanyalah sebagian kecil dari Kadin, dan mandat Apindo dari Kadin berakhir tahun 2008.

“Kadin yang keberadaannya diatur UU seharusya yang mewakili pengusaha untuk mengawal hubungan antara pengusaha dan buruh”, tukasnya.