Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Optimistis Revisi UU Penyiaran akan Rampung Sebelum Akhir Periode 2019-2024
Oleh : Irawan
Rabu | 20-03-2024 | 08:04 WIB
kharis_firman_penyiaran.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari dan Anggota Baleg DPR RI Firman Soebagyo dalam Diskusi Forum Legislasi dengan tema" Menuju Era Baru, RUU Penyiaran Perlu Ikuti Kemajuan Teknologi" di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024)

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari menyampaikan perkembangan terkini terkait proses revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Adapun progresnya saat ini sudah ada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI RI setelah sebelumnya disempurnakan oleh Komisi I DPR RI.

"Jadi setelah draf kami selesaikan, kami kirim ke Badan Legislasi untuk dilakukan harmonisasi (dan) sinkronisasi dan kami sudah rapat dua kali dengan Badan Legislasi. Mudah-mudahan, satu kali rapat lagi selesai," ujar Abdul Kharis dalam Diskusi Forum Legislasi dengan tema" Menuju Era Baru, RUU Penyiaran Perlu Ikuti Kemajuan Teknologi" di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024).

Ia mengatakan bahwa rencananya jika rancangan tersebut telah selesai dan disetujui di Baleg, Komisi I akan membawa RUU Penyiaran ke Rapat Paripurna untuk ditetapkan sebagai Usul Inisiatif Komisi I (tingkat I). Ia berharap proses tersebut bisa lekas diselesaikan.

"Setelah paripurna nanti tentunya akan dikirim oleh DPR ke pemerintah. Dari pemerintah akan membuat DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) sandingan (untuk) dikirim ke kita (DPR RI) baru dimulai pembahasan, kalau nanti sudah ada (DIM dari Pemerintah) disandingkan dan sebagainya," jelas legislator dapil Jawa Tengah V ini.

Ia mengakui bahwa dalam revisi UU penyiaran ini, terdapat tiga isu besar yang menjadi perhatian. Adapun dua di antaranya sudah selesai, yaitu isu multiplexing dan isu analog switch off karena telah termaktub dalam UU Ciptaker yang telah diterbitkan.

"Dan sekarang (tinggal) masalah isi siaran," imbuh Politisi Fraksi PKS ini.

Ia mengaku penyempurnaan yang dimatangkan oleh Komisi I setelah harmonisasi sebelumnya berfokus pada permasalahan digital.

Pasalnya, perubahan era informasi dan komunikasi saat ini menurutnya sangat dipengaruhi teknologi dalam penyiaran.

"Perubahan ini sangat dipengaruhi oleh faktor teknologi siaran ya, sehingga ada hal-hal yang perlu ditambahkan, sehingga kita tambah. Enggak terlalu mendasar tapi memang kami pun melihat 'Oh ya memang perl', terang Kharis.

"Baik live streaming maupun rekaman, podcast dan sebagainya itu menjadi satu sama dengan isi siaran TV".

Karena itu, ia menekankan bahwa di dalam RUU Penyiaran ini, maka akan juga memuat regulasi mengenai penyiaran digital, seperti media baru.

Sehingga, harapannya, baik siaran di TV terestrial maupun digital (media baru) menjadi ruang yang aman, khususnya bagi anak-anak.

"Ini kita membandingkan, kalau di TV terestrial (selama) ini diatur (tapi) kenapa yang (media baru) ini bebas. Paham ya? Akhirnya kan begini, di (media baru) sini siaran bebas tanpa aturan (tapi di TV Terestrial) di sini diatur izin itu itu, dasarnya agar ruang siar Indonesia itu kondusif dan aman buat anak-anak," katanya.

Menurut dia, UU Penyiaran yang saat ini eksis sulit mengakomodasi kemajuan teknologi dan perkembangan media baru yang ada saat ini.

Dengan demikian, kata dia, revisi UU Penyiaran akan berisi aturan yang memperlakukan sama secara hukum terhadap seluruh bentuk siaran, terlepas dari ragam media yang digunakan, baik digital maupun konvensional.

"Baik live streaming maupun rekaman, podcast dan sebagainya itu menjadi satu sama dengan isi siaran TV, yang TV walaupun digital pun itu bisa diakses tidak hanya pada saat siaran itu tayang. Jadi statusnya relatif sama," tuturnya.

Panjang dan Alot
Sementara itu, Anggota Baleg DPR RI Firman Soebagyo mengatakan, revisi UU) Penyiaran menjadi hal yang sangat serius bagi DPR. Sebab, teknologi adalah sebuah keniscayaan, karena masalah kebutuhan yang terkait tentang teknologi akan berkembang sedemikian rupa.

Sehingga lembaga penyiaran itu memang harus pertama represif, inovatif, dan kemudian antisipatif.

Firman mengungkapkan, Baleg DPR RI berdebat panjang dan alot saat melakukan revisi UU Penyiaran.

"Hal ini karena memang ada tarik menarik kepentingan dan alhamdulillah melalui UU Cipta Kerja (Ciptaker) akhirnya persoalan yang serius yaitu inisiasi itu bisa diatasi, sehingga adanya UU Ciptaker bisa dikatakan memecah kebuntuan yang berkaitan dengan program Analog Switch Off (ASO) di Tanah Air," kata Firman.

Firman menyebut, program tersebut sudah menjadi rekomendasi internasional, tetapi Indonesia telah tertinggal sekian tahun.

"Nah dengan UU Ciptaker kita sudah bisa memberikan terobosan baru sehingga digitalisasi bisa dijalankan sekarang sudah berkembang sedemikian rupa," tutur Anggota Komisi IV DPR RI ini.

Terkait masalah penyiaran ini, ungkap Firman, Baleg DPR RI saat ini telah melakukan tahapan rapat untuk harmonisasi.

Firman pun meyakini revisi UU Penyiaran ini tidak terlampau sulit dibandingkan revisi episode pertama, karena episode pertama ada tarik menarik kepentingan terkait masalah digitalisasi.

"Ini tarik menariknya kuat yang tarik menarik ini pelaku di lembaga penyiaran itu sendiri. Karena ada dua kepentingan yang berbeda, nah ketika itu tidak ada titik temu walaupun kita sudah memberikan ruang untuk bernegosiasi dan di situ ada sebuah seperti rekayasa monopoli," beber Firman.

Waketum DPP Partai Golkar ini pun menegaskan Fraksi Golkar DPR RI menolak adanya monopoli di bidang penyiaran.

"Karena monopoli itu harus dihindari, karena kami menyadari betul kalau kita bergantung kepada pengembangan di dalam dunia penyiaran itu bergantung kepada lembaga pemerintah mungkin tidak secepat kalo kita lepas kepada traffic resistor," jelas Firman.

Legislator asal Dapil Jateng 3 ini menyatakan, saat ini televisi yang maju justru televisi yang menerapkan sistem traffic resistor karena padat modal, padat karya, dan padat teknologi.

"Nah kalau kita bicara monopoli ketika waktu itu ingin dimonopoli oleh pemerintah ini merupakan kiamat bagi Indonesia, karena kita akan ketinggalan," tandas Firman Soebagyo.

Editor: Surya