Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Meningkatnya Radikalisme Akibat Pola Asuh Anak yang Salah
Oleh : si
Senin | 01-10-2012 | 16:28 WIB
arif_rahman.jpg Honda-Batam

PKP Developer


Pakar Pendidikan Prof Arief Rahman

JAKARTA, batamtoday-Meningkatnya kriminalitas di lingkungan sekolah yang melibatkan anak-anak sekolah akhir-akhir ini akibat kehilangan ketaladanan. Baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Radikalisme anak-anak itu berarti tercerabut dari akar-akar nilai agama, etika, moral dan kemanusiaan.


Karena itu suksesnya pendidikan sekolah itu bukan saja menekankan pada kemampuan otak, tapi juga watak, dan sikap. Sehingga anak-anak itu perlu keteladanan, pembimbingan dan pengalaman.

“Jadi, terjadinya radikalisme anak itu bisa disebabkan pola asuh anak yang salah, tidak demokratis, tidak menghargai, selalu menyalahkan, dan menghina anak-anak di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Bahwa setiap anak itu mempunyai keangkuhan dan karena itu perlu mendapat perhatian harga dirinya. Namun, jika terbukti bersalah maka harus disanksi tegas,” tandas pakar pendidikan Arief Rachman dalam diskusi ‘Menangkal radikalisme Di Kalangan Generasi Muda dengan Pemantapan 4 Pilar Bangsa’ bersama Wakil Ketua MPR RI Melani Leimina Surharli dan anggota FPPP MPR Ahmad Yani di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (1/10/2012).

Berbarengan dengan tontotan sinetron di televisi makin sarat dengan muatan materialistis, hedonistis dan kriminalitas yang banyak menyalahi etika, moral, dan agama itu sendiri.

“Media itu guru ke enam. Karena itu kalau medianya, televisinya brengsek, maka masyarakat juga akan brengsek. Untuk itu masyarakat juga harus mempunyai kecerdasan media, yaitu mampu memilah dan memilih tayangan yang layak ditonton. Seperti ‘Bukan empat mata Tukul Arwana itu tidak layak ditonton. Dan, DPR bisa membuat regulasi untuk tayangan yang tidak layak ini,” ujarnya mengingatkan.

Yang pasti lanjut Arief Rachman, anak itu perlu aktualisasi diri, perlu dihargai dan bukannya dicaci maki dan disalahkan terus-menerus. Oleh sebab itu, guru juga harus ditingkatkan profesionalismenya untuk ikut bertanggung jawab, karena bentengnya ada di guru.

“Kalau sekolah itu menyenangkan anak akan betah di sekolah. Dan, kalau ada guru dan siswa yang terbukti salah harus dihukum tegas. Bisa dikeluarkan, dan atau sanksi yang pantas. Inilah pencegahan secara struktural yang harus dilakukan oleh sekolah,” ungkapnya.

Dikatakan bahwa pujian dan hukuman diberikan dalam rangka membuat anak lebih baik, lebih disiplin. Membangun kepercayaan dirinya, fokus pada perilakunya dan bukannya pelakunya. Mengutamakan proses (sekolah) dan bukan hasil (nilai/NEM), membangun sikap kritis dan kebermaknaan sehingga mendapatkan pelajaran (ibarah) dalam hidupnya. Karena itu hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan aturan adalah menentukan aturan, menentukan batas normatif aturan, memberi peringatan, bertindak akurat dan konsisten, kontrol intonasi respon, memberlakukan konsekuensi, dan memperbaiki kesalahan.

Menurut Arief Rachman, identitas orang (saya) itu adalah memiliki harga diri, kepercayaan diri, kemampuan untuk mendengarkan orang lain, kamampuan untuk berinisiatif, dan mengenali kreativitas sendiri. Sedangkan identitas anda adalah harus toleransi, menghormati orang lain, mempercayai orang lain, mendengarkan, luwes, berbagi rasa dan minat orang lain. Sementara identitas ‘Kita’ adalah solidaritas, berbagi rasa, pertukaran, kerjasama, keterbukaan pikiran terhadap dunia luar, dan kesadaran global.

Untuk kesadaran 4 pilar bangsa yang harus dilakukan adalah menumbuhkembangkan semangat “bangga” sebagai bangsa Indonesia, menumbuhkembangkan sikap ketaladanan mulai dari keluarga, masyarakat dan pejabat negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), tegas terhadap penyelewengan yang terjadi dalam berbagai aspek, dan meluruskan prinsip hidup masyarakat sebagai bangsa Indonesia yang religius.