Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

NU Nilai Pancasila Tidak Bertentangan dengan Islam
Oleh : si
Minggu | 16-09-2012 | 16:34 WIB

CIREBON, batamtoday - Dalam sidang Komisi Bathsul Masail Diniyah Maudlu’iyah (agama kontekstual), yang dipimpin oleh KH. Hartami Hasni dengan pembicara KH. Afifuddin Muhajir dan KH. Malik Madany, KH. Masdar F. Mas’udi yang membahas masalah bentuk Negara, pemilihan kepala daerah (Pilkada), dan pajak pada Minggu (16/9/2012).


Mereka menilai bahwa Indonesia berdasar Pancasila sebagai Negara yang sah dan tidak bertentangan dengan Islam, mendukung dilaksanakannya Pilkada Gubernur oleh DPRD I, dan keharusan mengingatkan secara keras terhadap pemerintah agar pajak tidak dikorupsi. Sebab, korupsi itu bisa mengakibatkan terjadinya pembangkan rakyat untuk tidak membayar pajak.

Namun, sidang komisi-komisi masih terus berlangsung sampai Ahad malam dan aka diputuskan pada dini hari, dan pada Senin (17/9) pagi Munas akan ditutup oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Untuk komisi maudlu’iyah memang merupakan komisi yang paling menarik, sehingga dihadiri oleh Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj, KH. Ali Musthofa Ya’qub, KH. Tuan Guru Turmudzi Badruddin, Sekjen Marsudi Suhud, KH. Yahya C Staquf, Abdul Mun’im DZ, A. Malik Haramain, A. Hanif Dakhiri dan lain-lain.

“Berangkat dari keinginan besar untuk melibatkan partisipasi rakyat dalam pemilihan kepala daerah, agar pemimpin terpilih berkualitas, amanah, aspiratif dan yang terbaik selama reformasi ini, ibarat agar rakyat tidak membeli  kucing di dalam karung, ternyata yang terjadi sebaliknya. Yaitu, bukan pendidikan politik dan demokrasi yang didapatkan, melainkan menjual hati nurani dengan money politics, dan inilah yang merusak moral umat sampai pimpinan wilayah dan cabang NU,” tandas Malik Madany di Pesantren Kempek Cirebon.

Lebih memprihatinkan lagi lanjut Malik, politik uang tersebut dianggap sebagai kewajaran dalam politik. Ini bukan saja merusak rakyat dan umat, tapi juga elit politik dan elit NU, yang kadang malah menjadi Bandar dan tim sukses calon kepala daerah tertentu.

“Itulah yang merusak moral masyarakat. Pilkada juga menuntut biaya yang sangat besar, baik oleh pemerintah, kandidat dan cukong atau Bandar yang berkepentingan di daerah-daerah yang dating dari Jakarta,” ujarnya.

Konsekuensinya menurut Malik Madany, kalau calonnya menang, maka akan berusaha mengembalikan modalnya plus bunga dan keuntungan lainnya. Karena itu, mereka ini tidak akan lagi memikirkan rakyat, tapi malah memperluas bisnis dan usahanya dengan misalnya harus mendapatkan hak guna usaha (HGU) tanah, izin perusahaan dan sebagainya, yang justru makin merugikan rakyat. Dan, dari situlah kembalinya terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam lima tahun pemerintahan daerahnya.

Ditambah lagi dengan terjadinya konflik horizontal, pembakaran gedung pemerintah, DPRD, gedung KPUD dan anarkisme yang lain. Padahal, orang yang terpilih tidak ada jaminan sebagai orang terbaik, melainkan hanya mendapatkan orang pintar menjadi dan mencari cukong dan Bandar-bandar yang merongrong rakyat. Karena itu, tidak terbukti adanya pendidikan politik bagi rakyat.

“Yang terjadi hanya ilusi atau wahm pendidikan politik. Jadi, sudah terbukti bahwa kerusakannya-mafsadatnya Pilkada langsung itu adalah sangat kuat-muhaqqoqoh,” tambah Malik Madany.

Diakui jika pemilihan oleh DPRD kemungkinan masih ada mafsadatnya, namun itu lebih ringan karena hanya berurusan dengan puluhan anggota DPRD, dan karenanya kontrolnya lebih mudah daripada mengontrol jutaan rakyat. Ringan pula dalam mengantisipasi terjadinya konflik horizontal, dan kerusakan yang ditimbulkan tersebut tidak massif, tidak besar sebagaimana langsung berhubungan dengan jutaan rakyat.

“Sementara bupati dan wali kota tetap langsung,” katanya. Namun, para kiai ada yang meminta agar semua Pilkada oleh DPRD, karena sudah menjadi kemunkaran di tengah masyarakat.

Sejauh itu semboyan bahwa korupsi sebagai extra ordinary, kejahatan yang luar biasa menurut Malik Madany, tapi penegakan hukumnya ‘setengah hati’. Dampaknya lagi, baik gubernur maupun bupati dan wali kota dengan pemelihan langsung ini, ada suasana pembangkangan ke pemerintah pusat atau pun bupati kepada gubernur karena mereka merasa dipilih rakyat, dan bukannya oleh presiden maupun gubernur.

Dengan demikian semua jenis korupsi termasuk money politics khususnya di internal NU kata Malik Madany, harus dibersihkan. Dan, ini merupakan bagian dari tugas ulama dan kiai dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.