Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mendorong Transisi Energi Berkeadilan dan Pendanaan Iklim yang Inklusif
Oleh : Redaksi
Rabu | 04-10-2023 | 16:52 WIB
hsi-logo1.jpg Honda-Batam
Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial. (Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Yayasan Humanis) bekerjasama dengan Climate Policy Initiative (CPI) dan Climate Action Network Southeast Asia mengadakan diskusi publik dan diseminasi dua penelitian terkait Transisi Energi Berkeadilan dan Pendanaan Iklim yang Inklusif di Artotel Thamrin Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Acara ini bertujuan untuk melihat gambaran besar mengenai proses transisi energi berkeadilan di Indonesia dan akses pendanaan iklim terutama untuk kelompok masyarakat marjinal dan rentan. Selain untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang tantangan, peluang, permasalahan yang perlu diatasi, acara ini juga juga akan mendiskusikan rekomendasi yang telah diidentifikasi.

Proses transisi dari pembangkit berbasis batu bara ke energi terbarukan bukan hanya berdampak pada sektor kelistrikan dan finansial, namun juga masyakat secara sosial dan ekonomi termasuk sektor informal. Studi Transisi Energi Berkeadilan menganalisa kesenjangan dalam proses transisi melalui aspek Just (Berkeadilan) dalam kerangka implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang tengah bergulir, terutama dari sisi Distributive, Restorative dan Procedural untuk memastikan tidak adanya pihak yang dirugikan dan meminimalisir dampak negatif yang akan dirasakan oleh pihak-pihak tertentu, terutama mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam prosesnya.

Proses transisi energi membutuhkan upaya yang sangat kompleks yang banyak melibatkan banyak kepentingan berbagai pihak. Gangguan yang diakibatkan oleh penghentian penggunaan batubara dapat berdampak pada sebagian besar pemangku kepentingan energi/listrik. Begitu pula memastikan kepentingan masyarakat yang masih belum memperoleh akses listrik yang handal dari sisi kualitas dan kuantitas tidak makin tertinggal karena prioritas target transisi energi batubara skala besar. Karena itu, transisi tersebut perlu dilakukan dengan cara yang adil di mana keterlibatan seluruh pemangku kepentingan terutama kelompok yang paling terdampak harus dilibatkan sejak awal, proses yang inklusif perlu menjadi prasyarat untuk menerapkan transisi energi yang lancar,efektif dan berkeadilan.

Satya Widya Yudha selalu Anggota Dewan Energi Nasional menanggapi diskusi hari ini dengan sebuah apresiasi. "Tentunya penelitian yang dilakukan oleh teman-teman, bisa dikomunikasikan dengan DEN. Karena DEN saat ini tengah menyusun RPP Kebijakan Energi Nasional yang didalamnya juga memuat skenario transisi energi. Kita membutuhkan dukungan untuk memberikan masukan dan memperkaya strategi-strategi transisi energi yang mungkin dilakukan," ujarnya.

Studi Transisi Energi Berkeadilan mengidentifikasi masih rendahnya penerapan prinsip 'Keadilan' dalam perencanaan transisi energi di Indonesia saat ini. Beberapa entitas seperti organisasi non-pemerintah, lembaga penelitian independen, perusahan listrik negara, dan perusahaan pertambangan besar menunjukkan tingkat kesiapan yang lebih tinggi. Pemerintah, meskipun berperan paling penting, menunjukkan kesiapan yang relatif lebih rendah. Salah satu tantangan utama adalah belum adanya kebijakan Transisi Energi Berkeadilan yang terintegrasi, yang bisa dimulai dengan mengatur definisi dan frameworknya di Indonesia, untuk selanjutnya dirumuskan kebijakan terpadu lintas sektoral dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan.

Selain itu, keterlibatan inklusif dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan masih belum terbentuk. Terkait sektor usaha, dampak perubahan operasional pembangkit listrik batubara ke energi terbarukan akan sangat signifikan, bukan hanya ke pelaku usaha tersebut, namun juga pada pemasukan pemerintah daerah dan penghidupan masyarakat sekitar baik formal dan informal. Tata kelola yang baik, dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang kuat, menjadi kunci dalam menerapkan transisi energi. Terakhir, kesenjangan dalam layanan listrik di pedesaan terpencil masih ada dan tidak bisa dipandang sebelah mata, kesenjangan ini menghambat pembangunan sosial dan ekonomi yang adil. Ini menggaris bawahi perlunya porsi investasi transisi energi dilandasi kebijakan yang adil untuk semua.

"Untuk merealisasikan transisi energi yang berkeadilan, kita harus dapat mengelola dampaknya bukan hanya dalam sektor formal tapi juga dalam sektor informal. Sebagai contoh, di daerah penghasil batu bara sangat penting untuk memikirkan dan mulai melakukan transformasi ekonomi yang rendah karbon. Semua ini harus melalui perencanaan yang matang dari nasional yg mendukung daerah. Kami merekomendasikan untuk adanya gugus tugas transisi yang berkeadilan yang terdiri dari multi-pihak bukan hanya untuk batu bara tapi jg transisi industri ekstraktif lainnya," jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essentival Services Reform (IESR).

Bukan hanya terkait transisi energi, fenomena krisis iklim juga paling banyak dirasakan di tingkat lokal. Kelompok rentan dan marjinal juga secara tidak proporsional menjadi paling terdampak dari perubahan iklim. Padahal mereka bukanlah kelompok yang menyumbang emisi besar yang berkontribusi terhadap perubahan iklim tersebut. Oleh karena itu idealnya pendanaan iklim harus mampu menjawab kebutuhan yang terjadi di tingkat lokal dan dapat disesuaikan dengan prioritas penerima manfaat, termasuk kelompok marjinal dan yang memiliki kapasitas terbatas untuk mengakses dana.

Studi mengenai pendanaan iklim inklusif mengupas lanskap pendanaan iklim saat ini di Indonesia dan menjajaki cara-cara yang memungkinkan untuk memobilisasi pendanaan iklim demi mencapai sasaran populasi yang terpinggirkan, terutama yang bersumber dari publik, swasta, dan filantropi beserta rekomendasi potensi pendukung untuk menciptakan dampak dalam skala besar.

Dengan melakukan pelacakan terhadap database pendanaan iklim yang dimiliki CPI beserta diskusi kelompok terarah dan wawancara, ditemukan dari hasil studi Pendanan Iklim Inklusif bahwa pandangan dalam negeri mengenai pendanaan iklim cukup positif, namun strategi untuk meningkatkan aspek inklusiftas hingga dapat menjangkau kelompok marjinal jarang didiskusikan. Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan dan penyandang dana untuk merancang pendanaan iklim yang inklusif di antaranya:
- Perlu adanya peningkatan pemahaman mengenai hambatan struktural yang membatasi akses kelompok marjinal terhadap pendanaan iklim.
- Faktor pendukung (enablers) diperlukan untuk mengubah tren pembiayaan saat ini (untuk kelompok rentan) dari pembiayaan filantropis menjadi lebih banyak pembiayaan komersial, untuk memastikan peningkatan kuantitas dan cakupan. Modal publik dan swasta, bersama-sama, dapat meningkatkan dampak positif terhadap pembangunan lingkungan dan masyarakat. Menerapkan pendekatan keuangan campuran (blended finance) dapat menjadi solusinya mencapai pendanaan iklim yang benar-benar inklusif.
- Kita perlu mengatasi hambatan-hambatan yang ada seperti ketidakpastian peraturan, tingkat partisipasi yang rendah dalam pengambilan keputusan, sulitnya standar yang ditetapkan donor yang tidak sesuai dengan kondisi kelompok paling terdampak, informasi yang tidak berimbang, serta minimnya dukungan untuk memenuhi persyaratan donor dalam rangka meningkatkan kualitas program dan proyek yang lebih inklusif dan dapat mendistribusi pendanaan sampai ke tingkat lokal dan kelompok yang paling membutuhkan.

"Dana publik, filantropis, dan swasta untuk transisi energi ada, tetapi belum memiliki strategi yang searah untuk dikerahkan mencapai aspek adil dan berkelanjutan dari transisi energi. Mengutamakan aspirasi masyarakat lokal, membangun kapasitas lokal, dan memperkuat model bisnis energi terbarukan berbasis masyarakat, merupakan langkah penting untuk meningkatkan akses terhadap pendanaan iklim bagi kelompok marjinal," jelas Direktur CPI Indonesia Tiza Mafira.

Yayasan Humanis, Climate Policy Initiative dan Climate Action Network Southeast Asia melihat bahwa masyarakat sipil dan berbagai kelompok marjinal harus secara inklusif menjadi bagian utama dalam transisi iklim yang berkeadilan. Diskusi ini diharapkan tercipta ruang dialog yang terbuka dan konstruktif antara peneliti, pembuat kebijakan, praktisi, dan organisasi masyarakat sipil dalam dua topik penelitian yang dilakukan.

Informasi selengkapnya mengenai riset: https://bit.ly/DokRiset

Editor: Yudha