Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

KPA Ungkap Selama Pemerintahan Jokowi Ada 2.710 Konflik Agraria
Oleh : Redaksi
Minggu | 24-09-2023 | 16:04 WIB
konflik_rempang_b.jpg Honda-Batam
Bentrokan warga dengan aparat keamanan kasus penggusuran di Pulau Rempang, Batam (Foto: Dok BATAMTODAY.COM)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan data 2.710 konflik agraria terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah.

"Memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo, KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2002 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia," kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 secara daring, Minggu (24/9/2023).

Selain itu, Dewi menyampaikan ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.

"[Sebanyak] 77 orang menjadi korban penembakan, sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa," ucapnya.

Berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil.

Karena masalah ini, banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri.

Masalah ini pun menurutnya tak pernah teratasi di bawah pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun terakhir. Salah satunya akibat kinerja tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria (GTRA) yang mandek meski telah dibentuk khusus untuk menyelesaikan persoalan.

"Tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria atau yang kita kenal dengan GTRA nasional dan wilayah kami nilai gagal menjamin dan mengemban pencapaian tujuan pelaksanaan MA sebagaimana tertuang dalam Perpres 86 2018 tentang reforma agraria, yang sesungguhnya diartikan untuk merombak struktur penguasaan tanah, menuntaskan konflik agraria, mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan pangan, serta menjaga keseimbangan alam," kata Dewi.

Lebih lanjut, terkait pangan, Dewi berujar masalah agraria jelas akan berdampak terhadap krisis pangan yang belakangan mengancam Indonesia.

"Perampasan tanah menjadi sebab terjadinya krisis pangan dan hilangnya kedaulatan pangan petani, serta sistem pertanian rakyat yang telah membudaya," tutur Dewi.

Dewi pun menyayangkan pemerintah yang tidak memanfaatkan sumber-sumber agraria yang berlimpah ruah di Indonesia. Dia menilai keputusan pemerintah melakukan impor pangan justru akan semakin memperburuk keadaan, terutama di kalangan petani lokal.

"Inilah ironisme wajah negara agraris yang sumber-sumber agraria begitu luas dan kaya tetapi sangat rentan mengalami krisis pangan, sebab sektor pertanian rakyat tidak menjadi fondasi pembangunan pertanian secara nasional," tuturnya

Editor: Surya