Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hindari Polarisasi di Masyarakat, Cegah Penyebaran Radikalisme
Oleh : Opini
Rabu | 20-09-2023 | 14:36 WIB
A-ilustrasi-radikal-intoleran11.jpg Honda-Batam
Ilustrasi menolak radikalisme dan intoleransi di Indonesia. (Foto: Net)

Oleh Naufal Putra Bratajaya

HINDARI polarisasi di tengah masyarakat akan mampu untuk bisa mencegah kemungkinan peningkatan paham radikal, terlebih menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2024 mendatang.

Narasi dan argumentasi yang berpotensi untuk mampu membawa pengaruh akan ideonogi yang berasal dari transnasional memang seringkali dihembuskan oleh para kelompok yang intoleran dan juga radikal di ruang publik. Untuk bisa menanggulangi adanya hal tersebut, menjadi sangat penting adanya peranan dari kelompok agamis yang moderat.

Hal tersebut dikarenakan kelompok agamis yang moderat memang harus mampu memberikan adanya kontra narasi yang mampu menyasar kepada semua kalangan, khususnya untuk para generasi muda, yang mana mereka merupakan generasi yang sedang mencari jati dirinya dan sangatlah mudah untuk terindoktrinasi atau terkena cuci otak dari banyaknya narasi yang dibuat oleh propagandis kelompok radikal.

Terkait dengan hal itu, Co-founder Peace Generation, Irfan Amelee menjelaskan, frekuensi akan partisipasi para anak muda memang harus jauh ditingkatkan dan menjadi lebih sering lagi. Lantaran, algoritma yang bekerja dalam mesin pencarian di internet atau ruang digital memang akan selalu memprioritaskan sesuatu yang banyak serta sering diterbitkan.

Sehingga, jumlah konten untuk melakukan kontra narasi sendiri memang hendaknya harus bisa jauh lebih banyak. Karena jika diibaratkan sebagai sebuah wadah, maka apabila telah dimasukkan setitik zat pewarna saja, maka untuk bisa membersihkannya kembali diperlukan air jernih dengan jumlah yang jauh lebih banyak lagi dari sebelumnya sehingga air dalam wadah itu bisa kembali jernih.

Akan tetapi, persoalan pun terus datang dan menjadi semakin kompleks, pasalnya karakteristik dari para generasi muda penerus bangsa Indonesia justru sering dihadapkan pada berbagai macam perdebatan yang sama sekali tidak produktif di dunia maya. Sebagai salah satu contoh adalah mengenai perdebatan benar atau salah, halal atau haram saja, hingga Pancasila atau khilafah dan lain sebagainya perdebatan yang kurang produktif sebenarnya.

Dari momentum dan karena telah membaca situasi demikian, maka justru dmanfaatkan dengan sangat baik oleh para kelompok yang intoleran dan radikal sehingga mereka mampu terus tidak mengenal lelah berupaya menggambarkan bahwa seolah-olah Pancasila sebagai suatu kemunduran bangsa dan khilafah adalah solusi terbaiknya.

Sementara itu, Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88, Marthinus Hokum mengatakan, menjelang pelaksanaan pesta demokrasi dan kontestasi politik dalam gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2024 mendatang, memang tensi politik yang meninggi serta adanya fenomena kasus polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat justru akan semakin meningkatkan potensi akan penyebaran paham radikal hingga terorisme semakin menjamur.

Terlebih, ketika misalnya narasi tersebut didampingi dengan adanya praktik politik identitas dengan mengusung seara sengaja akan identitas parsial dari salah satu kandidat calon yang hendak maju dalam kontestasi Pemilu. Karena jika cara demikian terus digunakan, maka akan terjadi sebuah perang identitas, lantaran pihak tertentu yang intoleran dan radikal akan dengan sengaja melihat dan memandang kelompok identitas lain berada di bawah derajat mereka atau secara inferoir dan hanya kelompok mereka saja yang berada di atas serta paling benar atau menjadi superior.

Untuk bisa terus mengantisipasi berbagai macam kemungkinan tersebut, kemudian pihak Densus 88 sendiri telah memiliki komitmen yang sangat kuat untuk mampu menganalisis intelijen guna bisa mencegah adanya berbagai kelompok yang ingin memanfaatkan situasi akan ketegangan politik di Indonesia.

Berbagai macam prinsip dan strategi telah dikantongi oleh pihak Densus 88 sehingga meraka mampu melakukan analisis intelijen. Pertama adalah dari database yang ada, kemudian cara kedua adalah dari bagaimana sejarah Pemilihan Presiden (Pilpres) yang ada. Sehingga pihak Detasemen Khusus 88 menegaskan bahwa mereka akan mengantisipasi sejumlah tokoh yang memang seringkali menggunakan banyak isu akan politik identitas dan juga isu lainnya yang justru dapat memantik kemunculan radikalisme hingga terorisme.

Karena sebenarnya dengan adanya pesta demokrasi sendiri seharusnya hal tersebut secara murni memang digunakan untuk bisa melakukan pemilihan pemimpin yang terbaik, justru bukan untuk membentuk adanya polarisasi dan pecah belah di tengah masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Seluruh elemen masyarakat dari berbagai kalangan dan latar belakang pun hendaknya mampu untuk menghindari adanya penggunaan identitas secara parsial tersebut, karena dengan adanya praktik demikian yang terus dilakukan, maka sudah bisa dipastikan akan semakin membentuk adanya polarisasi di tengah masyarakat. Tentunya seluruh hal itu menjadi tanggung jawab dari seluruh elemen untuk bisa menjaganya secara bersama.

Menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang, memang peningkatan akan paham dan penyebaran radikal serta terorisme menjadi cukup signifikan terjadi. Sehingga salah satu cara dan langkah yang efektif untuk bisa mencegahnya adalah dengan terus menciptakan situasi kamtibmas yang kondusif dan menghindari apapun yang berpotensi menyebabkan polarisasi di tengah masyarakat.*

Penulis adalah kontributor pada Lembaga Inti Media Jakarta