Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Penyebaran Ideologi Kebencian Lahirkan Terorisme
Oleh : si
Senin | 10-09-2012 | 18:24 WIB

JAKARTA, batamtoday - Penyebaran ideologi kebencian oleh kelompok-kelompok tertentu dari kalangan Islam yang eksklusif selama ini justru melahirkan gerakan terorisme, yang sulit terdeteksi oleh aparat keamanan.


 
Seperti penafsiran ‘jihad’ yang ditafsirkan semaunya adalah bibit-bibit radikalisme yang diajarkan oleh ustadz di pesantren atau kelompok pengajian yang eksklusif dan itu cukup dominan di negeri ini.

Ditambah lagi dengan tidak hadirnya negara dalam penegakan terkait radikalisme berbungkus agama tersebut, maka makin menyuburkan gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia.

“Saya tidak sependapat kalau bibit radikalisme itu akibat kemiskinan di kalangan Islam. Sebab, faktanya banyak umat Islam yang miskin, tapi memiliki iman yang kuat justru mereka menjadi muslim yang taat, sabar, tawakkal dan menjauhi kriminalisasi. Kenyataannya, yang menjadi korban sebagai ‘pengantin’ terorisme itu adalah anak-anak muda berusia 17-20-an tahun. Mereka itulah korban ustadz yang menafsirkan jihad semaunya sendiri. Padahal ustadz itu pasti menolak jika diminta untuk membawa bom sendiri,” tandas mantan Rektor UIN Syahid Jakarta, Azyumardi Azzra dalam dialog Kebhinnekaan modal Indonesia bersama Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y. Thohari dan Erik Satrya Wardhana Anggota Tim Sosialisasi MPR RI di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (10/9).

Karena itu lanjut Azyumardi, sejalan dengan sosialisasi 4 pilar bangsa ini, pemerintah harus mengambil inisiatif dengan mewajibkan seluruh kelompok masyarakat tak terkecuali pesantren di luar NU dan Muhammadiyah untuk terlibat sosialisasi 4 pilar bangsa ini dengan tema dialog antaragama dan intern agama. “Misalnya dengan membahas RUU tentang pemahaman agama dan kebangsaan. Bahwa keragamaan dan kebhinnekaan bangsa ini sebagai sunnatullah dan mukjizat yang mesti disyukuri bersama,” katanya.

Sedangkan Wakil Ketua MPR Hajriyanto menegaskan jika sudah menjadi konsensus bahwa mayoritas muslim Indonesia adalah moderat dalam pandangan keagamaannya. Karena itu pluralitas agama tidak semata-mata pengakuan mengenai kenyataan bahwa ada perbedaan agama dan budaya melainkan suatu apresiasi bahwa kenyataan pluralitas agama itu mempunyai nilai positif.

"Karena itulah istilah pluralisme agama bukanlah semata-mata fakta pluralitas, tapi juga keterlibatan aktif dan cita-cita untuk berjuang keras bagi pluralisme itu sendiri," kata Hajriyanto.

Menurut Hajriyanto, menjadi seorang pluralis itu bukan menjadi seorang yang tolerans, melainkan harus terpanggil untuk aktif berperan serta di dalamnya. Yaitu menerima teologis-ketuhanan kelompok lain sebagai design Tuhan bagi umat manusia. Dalam bahasa agama katanya, pluralitas adalah sistem yang didesign Tuhan untuk umat manusia.

“Jadi, bagaimana keragaman itu dapat membangun sipirit eksistensi bangsa ini untuk membangun keadilan dan harmoni Indonesia. Di mana setiap agama mempunyai ritualnya sendiri yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian pluralitas itu adalah sebagai fakta dan realitas, dan bukan tentang perbedaan ideologi,” tambah politisi Golkar ini.

Dengan demikian kata Hajrijanto, interpretasi baru mengenai pluralisme dalam konteks Indonesia ini penting untuk menghindari kesalahpahaman yang fatal, yang bisa merusak keragaman itu sendiri.

“Dunia saat ini lebih membutuhkan kedamaian dari pada kekerasan dalam menghadapi problem abad ini sebagai model resolusi konflik. Problem kemanusiaan hanya akan teratasi dengan kerjasama untuk mencapai kebahagiaan global tanpa diskriminasi ras, kelas sosial, agama maupun bangsa,” tuturnya.

Sementara Erik Satrya Wardhana yakin dari akar terorisme di Indonesia selama ini bukan bersumber dari ajaran agama, karena agama tidak mengjarkan kekerasan dan apalagi peperangan terhadap kelompk lain. Kalau disebut konflik syiah-sunni misalnya di Sampang Madura Jatim, kenapa selama ini Kang Jalaluddin Rakhmat di Bandung, tidak ada masalah. Demikian pula kasus GKI Yasmin Bogor Jabar.

“Jadi, masalahnya ada pada penegakan hukum. Kalau pemerintah lemah, maka hukum akan lemah dan tidak hadir di tengah masyarakat. Selain ada faktor pendidikan, kesadaran dan pemahaman terhadap ajaran agama itu sendiri. Terpenting hukum harus ditegakkan,” tegas politisi Hanura ini.