Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Banyak RUU Tak Selesai

Ikrar Minta DPR Berbagi Tugas dengan DPD
Oleh : si
Sabtu | 08-09-2012 | 10:20 WIB
Ikrar_Nusa_Bakti.jpg Honda-Batam

Pengamat politik LIPI Ikrar Nusa Bakti

JAKARTA, batamtoday - Pengamat Politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti menyatakan bahwa saat ini Indonesia berada dalam tahap pematangan demokrasi. Karena itu hubungan antara DPR dan DPR bisa saling melengkapi dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legilatif.



“Dalam proses pembentukannya, DPD RI sering dianggap sebagai lembaga prematur. Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang tugas dan fungsi DPD,” terang Ikrar. 

Pernyataan itu disampaikan Ikrar dalam Dialog Perspektif Indonesia dengan tema ”Memecah Kebekuan Hubungan DPR-DPD” di Pressroom DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta kemarin.

Mengenai hubungan kerja DPD dan DPR, Ikrar mengatakan sudah ada kerjasama yang baik antara kedua lembaga tersebut, contohnya dalam pembahasan RUUK DIY, DPD diajak dalam pembahasannya oleh DPR sebagai mitra yang sejajar.

”Hal itu kenapa tidak menjadi suatu yurisprudensi dan bisa menjadi suatu hal yang dibakukan menjadi UU,” kata Ikrar.

Ikrar menganggap bahwa sekarang DPR ’keteteran’ dalam pembuatan RUU dan pembahasan RUU menjadi UU, karena keahlian di DPR sangat terbatas, dibandingkan dengan pemerintah yang lebih terbagi keahliannya. ”Daripada keteteran lebih baik dibagi dengan DPD,” ujar Ikrar.

Senator asal Provinsi Riau, Intsiawati Ayus mengatakan agenda Judicial Review UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang rencananya akan diajukan DPD RI ke MK, bukan semata-mata mengenai sengketa kewenangan legislasi antara DPD RI dengan DPR RI. Intsiawati mengatakan DPD saat ini belum pada posisi dengan tujuan ketatanegaraan yang ideal.

Kegundahan posisi DPD RI dalam konstitusi, lanjut Intsiawati, beban politiknya akan diberikan ke MK dalam bentuk permohonan penafsiran soal pasal 22D ayat 1 dan 2 UUD 1945, khususnya kata ’dapat’ dan ’ikut’ dalam pembahasan UU, yang akan menjadi rujukan dalam revisi UU MD3 dan UU P3.

“Saya sendiri memahami bahwa Undang-undang merupakan produk kompromi politik, maka dari itu kami meminta MK untuk membuatkan tafsir sesuai konstitusi bagaimana sesungguhnya makna dari kata-kata ikut membahas’ dalam UU MD3,” ujar Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR ini.

Taslim Chaniago (Anggota Komisi III DPR RI dari FPAN), mengatakan keberadaan DPD sangat membantu DPR terutama soal daerah, misalnya otonomi daerah, kekayaan alam daerah. ”Kita sangat membutuhkan DPD karena tidak bisa mengawasi daerah”, jelas Taslim.

Selanjutnya, Taslim menyarankan akan lebih baik jika DPD menunggu proses pembahasan revisi UU MD3 di Baleg DPR selesai, baru mengajukan judicial review jika masih terdapat pasal-pasal yang dinilai kurang jelas.

 “Pengajuan judicial review ke MK saat ini justru akan kembali membuat hubungan antara kedua lembaga menjadi beku, ” kata Taslim.

Salah satu hal yang harus segera dilakukan menurut Refly Harun adalah mengupayakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Tujuan judicial review ini adalah untuk meminta penafsiran yang jauh lebih fixed ketimbang penafsiran yang dimiliki pembentuk Undang-undang,” jelas Refly.

Selain itu, pengamat Hukum Tata Negara ini juga menegaskan pentingnya kesepakatan bangsa terhadap DPD. “Apakah kita masih butuh DPD atau tidak?” ungkapnya yang kemudian melanjutkan bahwa Indonesia masih membutuhkan DPD yang mewakili daerah.