Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Teman Dubai
Oleh : Opini
Selasa | 06-06-2023 | 08:36 WIB
A-DAHLAN-ISKAN49.jpg Honda-Batam
Wartawan senior Indonesia, Dahlan Iskan. (Foto: Ist)

Oleh Dahlan Iskan

BARU kali ini dua menteri pertahanan yang berseteru itu bertemu: di Singapura.

Hanya bersalaman. Sempat saling tersenyum. Tidak bisa saling berbicara.

Tapi kehadiran Lloyd Austin dan Li Shangfu itu sendiri sudah memberi harapan. Maka keduanya menyita sebagian besar perhatian.

Ternyata acara Dialog Shangri-La Jumat dan Sabtu lalu itu justru seperti arena adu kekuasaan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Saling serang. Saling ejek. Harapan tadi itu ternyata masih sebatas PHP.

Di luar acara dialog sebenarnya Amerika ingin Austin bisa bertemu Li.

Ngopi atau ngeteh.

Mumpung sama-sama di Singapura. Satu hotel pula.

Tapi Tiongkok menolak pertemuan itu. Begitulah media di Singapura memberitakan. Meski juga sedang di Singapura tapi saya hanya bisa memantau lewat media atau lewat teman-teman dekat di sana.

Alasan penolakan Tiongkok: sebuah pertemuan bisa sukses kalau kedua belah pihak saling menghargai. Juga harus pada posisi yang setara.

Padahal status Li saat ini adalah pejabat tinggi Tiongkok yang lagi dikenakan sanksi oleh Amerika. Ibaratnya seperti posisi dan buronannya. Itu sama saja dengan orang orang lagi bicara tapi salah satunya menodongkan senjata.

Tiongkok tidak keberatan kalau hanya saling salaman. Dengan wajah yang diramah-ramahkan. Itu terjadi di jamuan makan malam di Istana Negara. Yakni menjelang pembukaan Dialog Shangri-La. Presiden Singapura Hj Halimah Jacob yang jadi tuan rumah.

Lebih dari 20 menteri pertahanan kumpul di jamuan makan malam itu. Termasuk dari Australia, Kanada, dan India. Austin dan Li tidak terlihat saling menyapa. Meja makan itu sangat besar. Satu bisikan tidak akan terdengar di kursi seberang meja. Padahal tempat duduk keduanya berseberangan di meja itu.

Dialog Shangri-La ini adalah acara tahunan. Sejak tahun 2002. Hanya absen dua kali saat Covid-19. Penyelenggaranya swasta: agar tidak terikat aturan protokoler diplomatik. Swasta dimaksud adalah satu lembaga think-thank yang awalnya dapat dukungan penuh pemerintah Singapura.

Dilog Shangri-La ini mirip acara Dialog Pertahanan Munchen di Jerman. Shangri-La sangat dipercaya manfaatnya di Asia-Pacific. Munchen sangat penting di Eropa dan sekutunya.

Karena swasta maka orang seperti Li Shangfu bisa diundang. Demikian juga Austin. Siapa tahu forum swasta justru lebih cair untuk mengatasi kebekuan.

Li Shangfu berumur 65 tahun. Ia baru jadi menteri pertahanan Maret lalu. Yakni setelah Xi Jinping terpilih kembali sebagai Presiden Tiongkok untuk periode ketiga.

Sebelum itu pun Li sudah kena sanksi Amerika. Yakni ketika ia masih menjabat pimpinan pengadaan peralatan militer Tiongkok. Ia dilarang masuk Amerika. Beberapa pejabat tinggi militer Tiongkok termasuk yang kena sanksi. Itu terkait pembelian senjata dari Rusia.

Li jenderal bintang empat yang tidak biasa. Keahlian utamanya adalah teknologi senjata ruang angkasa. Ia masuk militer sejak lulus dari ilmu pertahanan di universitas Chongqing, kota berstatus provinsi di Tiongkok tengah.

Jenderal Li sendiri lahir di Chengdu, Sichuan, tapi orang tuanya dari Jiangxi. Kampung asalnya di Jiangxi adalah di pedalaman antara Nanchang dan Guangzhou. Ia menghabiskan karir militer utamanya di Tibet. Yakni di stasiun luar angkasa di sana.

Sanksi Amerika itu tidak termasuk pergi ke mana pun. Asal tidak ke Amerika. Maka Li bisa ke Singapura. Inilah untuk kali pertama Li tampil di forum internasional sebagai menteri pertahanan.

Ketika berbicara di Dialog Shangri-La itu Li blak-blakan soal Taiwan.

"Taiwan adalah inti dari segala inti persoalan pertahanan bagi Tiongkok," ujarnya.

Itu untuk mengingatkan Amerika bahwa Tiongkok tidak bisa diancam-ancam soal Taiwan. Misalnya dengan cara menghadirkan kapal-kapal perangnya di selat Taiwan.

Amerika memang selalu beralasan kehadiran kapal perangnya di sana hanya untuk patroli di perairan internasional.

Kata 'patroli di laut internasional' itulah yang disindir-sindir oleh Li. "Apa perlunya?" katanya. "Jangan membuat kata patroli damai untuk membangun kekuasaan di perairan," tambahnya. "Patroli itu lebih tepat dikatakan sebagai provokasi," katanya.

Lalu Li mengutip syair lagu rakyat Tiongkok: "Kalau yang datang itu teman baik, wajib kita suguhkan anggur terbaik. Tapi kalau yang datang itu serigala harus kami hadapi dengan senjata".

Li menegaskan: coba, apa perlunya Amerika patroli kapal perang di selat Taiwan.

Mungkin memang sudah waktunya Amerika berterus terang: itu bukan patroli, melainkan perlindungan terhadap Taiwan dari serangan Tiongkok. Tapi bahasa seperti itu sama saja dengan perang terbuka.

Maka setiap kali ada kapal Amerika patroli di selat Taiwan, Tiongkok mengimbanginya dengan kapal perang. Plus pesawat tempur. Ketegangan terus meningkat.

Tentu usaha untuk meredakannya selalu ada. Amerika sudah 12 kali menginginkan pertemuan tingkat pejabat tinggi. Tapi Tiongkok selalu menolak. Praktis, sejak kunjungan malam-malam ketua DPR (waktu itu) Nancy Pelosi ke Taiwan tidak ada lagi kontak antar pejabat tinggi kedua negara.

Dialog Shangri-La awalnya diharapkan menjadi jembatan baru. Dialog itu bisa meredakan ketegangan. Yang muncul di panggung justru pernyataan-pernyataan tajam dari kedua menteri pertahanan.

Jenderal Austin juga memberikan sinyal bahwa Amerika akan terus meningkatkan kehadirannya di Asia Timur. Baik langsung maupun lewat koordinasi dan latihan militer sesama teman di kawasan itu. Maksudnya: Korea Selatan, Jepang, Australia, dan mungkin Filipina.

Tiongkok pun menganggap itu sebagai langkah untuk membangun semacam NATO di Asia.

Sulitnya, Amerika Serikat sendiri menghadapi Pilpres. Sulit meredakan isu di suasana menjelang Pemilu.

Bagaimana dengan orang Taiwan sendiri?

Mereka sebenarnya tidak mau perang. Mungkin hanya 10 persen yang ingin Taiwan merdeka. Sebaliknya sedikit juga yang mau Taiwan gabung ke Tiongkok. Mungkin hanya 20 persen.

Selebihnya, yang 70 persen, ingin begini-begini saja: tidak merdeka, juga tidak menjadi bagian Tiongkok.

Siapa yang diuntungkan semua itu?

Dubai!

Orang-orang kaya Rusia mengalihkan uang mereka dari Hong Kong dan Singapura ke Dubai. Orang-orang kaya Tiongkok juga mulai memindahkan simpanan mereka ke Dubai!

Uang benar-benar seperti air: akan selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia