Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Manajemen Pemerintah Indonesia Mengatasi Ancaman Terorisme Melalui Berbagai Strategi
Oleh : Opini
Senin | 22-05-2023 | 14:32 WIB
FA-STIE-TPI.jpg Honda-Batam
Fhertyna Apriyanti.

Oleh: Fhertyna Apriyanti

Setiap negara memiliki definisi tersendiri mengenai terorisme. Di Amerika Serikat, terorisme didefinisikan sebagai "tindakan perang" (Halberstam, 2001). Dalam upayanya melawan terorisme, Amerika Serikat mengandalkan penegakan hukum dan badan intelijen seperti FBI dan CIA.

Penting untuk dicatat bahwa badan-badan ini memiliki definisi tersendiri mengenai terorisme (Tiefenbrun, 2003). Menurut Konvensi Eropa tentang Pemberantasan Terorisme, disebutkan bahwa "semua negara diharuskan menganggap pembunuhan, penyanderaan, serangan bom, dan pembajakan (pelanggaran teroris serius) sebagai 'kejahatan umum' yang tidak dapat ditolak untuk ekstradisi."

Di Indonesia, terdapat definisi terorisme yang ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 Pasal 1 Ayat (2). Menurut definisi ini, terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menciptakan suasana teror atau rasa takut yang meluas, yang berpotensi menimbulkan korban jiwa secara massal, dan/atau merusak atau menghancurkan objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Terorisme tidak boleh diartikan secara salah sebagai ajaran Islam. Meskipun terorisme sering kali dikaitkan dengan Islam secara umum, hal tersebut tidak benar. Terorisme adalah serangan terorganisir yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan pada masyarakat, dan tidak boleh disamaratakan dengan agama Islam atau agama manapun (Purwanto, 2004).

Terorisme bisa timbul akibat dari berbagai faktor penyebab, namun faktor utamanya sering kali terkait dengan ideologi yang ekstrem. Beberapa faktor penyebab terorisme antara lain sebagai berikut. Pertama, terdapat faktor pengetahuan yang terbatas dan pemikiran yang dangkal. Sebagai contoh, salah satu pelaku Bom Bali I pernah menyatakan bahwa "satunya-satunya cara untuk menerapkan Islam adalah dengan menghancurkan Amerika, Israel, dan koloni-koloni mereka" (Sarwono, 2012, hal. 10). Pemikiran tersebut muncul karena adanya pengaruh dari kelompok-kelompok yang terorganisir.

Faktor lain adalah keberadaan kelompok pendukung terorisme yang dapat mempengaruhi individu dengan ideologi mereka. Terorisme memiliki berbagai tujuan, baik yang bersifat revolusioner maupun subrevolusioner (Crenshaw, 1981). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kelompok-kelompok tersebut dapat mengubah pemikiran seseorang melalui propaganda kebencian. Sebagai contoh, Ali Imron, pelaku Bom Bali I, menerima tawaran dari Hambali untuk terlibat dalam program jihad dengan melancarkan serangan bom di Bali. (Sarwono, 2012, hal. 40).

Faktor ketiga adalah keyakinan yang radikal. Faktor ini sebenarnya berhubungan dengan dua faktor sebelumnya. Para teroris melakukan rekrutmen dengan memanfaatkan keyakinan individu melalui indoktrinasi dan pengaruh yang intensif dari gerakan atau organisasi bawah tanah. Hal ini melibatkan proses indoktrinasi dan manipulasi pikiran yang dilakukan untuk merubah pemikiran seseorang (Purwanto, 2004). Radikalisme dapat timbul akibat dari berbagai faktor seperti budaya, norma, praktik sosial, serta kelompok-kelompok yang berbeda (Rosyid et al., 2018). Tingginya tingkat intoleransi antar individu dapat memicu timbulnya keyakinan radikalisme. Pelaku terorisme seringkali mengklaim bahwa mereka bertindak sebagai respons terhadap ketidaksetujuan terhadap Islam yang timbul akibat adanya ujaran kebencian.

Untuk memastikan penanganan dan pemberantasan terorisme dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan, diperlukan payung hukum berupa peraturan perundangan. Berikut adalah beberapa peraturan yang berkaitan dengan terorisme:

a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

b. Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

c. Peraturan Presiden nomor 46 tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme;

d. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden nomor 46 tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme;

e. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme;

f. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2002; dan

g. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Selain peraturan yang disebutkan di atas, terdapat juga hukum internasional yang berhubungan langsung dengan penanganan terorisme, antara lain:

a. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (Resolusi Majelis Umum PBB, 1997/Konvensi New York, 15 Desember 1997); dan

b. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (Konvensi New York, 9 Desember 1999).

Kejahatan ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengemban tugas baru yang sekaligus menantang. Sebelumnya, Indonesia pernah mengalami kecolongan dalam mendeteksi tanda-tanda terorisme. Serangkaian tindakan terorisme mendorong perlunya peningkatan profesionalisme aparat keamanan dalam upaya pemberantasan.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, pemerintah Indonesia mendirikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai salah satu upaya. Pendirian BNPT tercermin dalam Peraturan Presiden nomor 46 tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. BNPT merupakan lembaga pemerintahan non-kementerian yang bertugas menanggulangi terorisme di Indonesia.

Dalam Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Presiden nomor 46 tahun 2010, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki tanggung jawab dalam pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional terhadap terorisme. Untuk menjalankan tugas pencegahan terorisme, BNPT berusaha untuk melibatkan dan bekerja sama dengan generasi muda dalam upaya memerangi radikalisme.

BNPT melakukan upaya merangkul dan menggandeng generasi muda dalam rangka mencegah penyebaran radikalisme. Hal ini dilakukan melalui kebijakan, strategi, dan program nasional yang telah ditetapkan oleh BNPT (Zulfikar & Aminah, 2020, hal. 134). Pada saat ini, terjadi rekrutmen teroris yang menyasar remaja, termasuk di antara mereka yang berada dalam lingkungan pesantren. Untuk mengatasi hal ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjalin kerja sama dengan pengelola pondok pesantren dan para ulama guna mencegah penyebaran ekstremisme di Indonesia.

BNPT bekerja sama dengan pengelola pondok pesantren dan ulama dalam upaya pencegahan ekstremisme. Tujuan kerja sama ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengatasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan radikalisasi di kalangan remaja, terutama di lingkungan pesantren. Melalui kerja sama ini, BNPT berupaya untuk meningkatkan pemahaman yang benar tentang agama dan mencegah ideologi radikal meresap ke dalam kalangan remaja (Teroris Rekrut Anak-anak Muda, BNPT Mulai Gandeng Pesantren, 2020). BNPT juga memiliki rencana untuk melibatkan masyarakat Indonesia dalam upaya pemberantasan terorisme. Salah satu program kreatifnya adalah program kontra radikalisme, yang melibatkan pembentukan duta damai di dunia maya. BNPT mengajak para youtuber untuk secara kolektif menyuarakan pesan antiterorisme.

Dengan melibatkan youtuber, BNPT berharap pesan-pesan antiterorisme dapat tersebar luas melalui platform digital. Para youtuber diharapkan dapat memanfaatkan pengaruh mereka untuk menyuarakan penolakan terhadap terorisme dan merangkul nilai-nilai perdamaian serta toleransi. Dengan demikian, BNPT berupaya melibatkan berbagai pihak dalam masyarakat untuk bersama-sama memberantas terorisme dan mempromosikan sikap yang damai dan tidak mendukung kekerasan (Very, 2019).

Selain itu, BNPT juga mendirikan sebuah satuan tugas yang terdiri dari kepolisian, di mana kepolisian membentuk satuan Densus 88/Antiteror. Satuan ini bertugas untuk secara aktif memerangi dan mengeliminasi kelompok-kelompok teroris di Indonesia. Dengan pembentukan satuan Densus 88/Antiteror, BNPT dan kepolisian bekerja sama untuk mengatasi ancaman terorisme dengan tindakan penindakan yang tegas. Satuan tugas ini memiliki tanggung jawab dalam mengidentifikasi, menyusup, menangkap, dan menghancurkan kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di Indonesia. Tujuan utama dari pembentukan satuan Densus 88/Antiteror ini adalah untuk menjaga keamanan dan melindungi masyarakat dari ancaman terorisme. Dengan kehadiran satuan ini, diharapkan dapat tercipta keadaan yang aman dan damai bagi seluruh warga Indonesia. (Zulfikar & Aminah, 2020, hal. 141).

Densus 88 ini berperan dalam terorisme di Indonesia, "sejak didirikan pada tahun 2003, densus 88 bisa dikatakan sangat berpengaruh dan menjadi pemain kunci dalam penanganan kasus terorisme di Indonesia" (Kusuma, 2018). Densus 88 ini memiliki kewenangan untuk menangkap buronan teroris dan penyelidikan gerakan terorisme (Takasili, 2015). Dalam menjalankan tugasnya, Densus 88 bekerja sama dan berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara (BIN), yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan seperti penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan pengumpulan informasi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 90 tahun 2012 tentang Badan Intelijen Negara.

Kerja sama antara Densus 88 dan BIN ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang penting dan strategis dalam upaya pencegahan dan penindakan terorisme di Indonesia. Dengan adanya kerjasama ini, diharapkan dapat tercipta sinergi dan koordinasi yang efektif antara lembaga-lembaga terkait dalam rangka memerangi ancaman terorisme dan menjaga keamanan negara.

Terorisme mengancam keamanan dan kedaulatan dunia, termasuk Indonesia. Untuk menghadapi tantangan ini, Pemerintah Indonesia telah membentuk badan dan satuan tugas sebagai strategi dalam memberantas gerakan teroris di Indonesia. Strategi ini melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus 88 (Densus 88), dan Badan Intelijen Negara (BIN).

BNPT memiliki tugas untuk menghadapi terorisme melalui kebijakan dan program yang bertujuan untuk mencegah ekstremisme dan radikalisme di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dapat dikategorikan sebagai pendekatan yang lembut (soft-approach). Sementara itu, Densus 88 dan BIN bekerja sama secara terkoordinasi untuk menjalankan tugas intelijen dengan baik dan efektif.

Koordinasi dilakukan dengan mengumpulkan informasi dan memeriksa aliran dana dari BIN, sedangkan Densus 88 bertanggung jawab untuk melakukan operasi penangkapan terhadap pelaku teroris. Dengan menerapkan strategi ini dan meningkatkan koordinasi antarlembaga, Indonesia bertujuan untuk secara komprehensif mengatasi ancaman terorisme dan melindungi keamanan nasionalnya.

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Manajemen, STIE Pembangunan Tanjungpinang.