Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

PBNU dan GP Ansor Kutuk Kekerasan Syiah Sampang
Oleh : si
Senin | 27-08-2012 | 17:20 WIB
SlametEffendyYusuf.jpg Honda-Batam

Ketua PB NU Selamet Effendi Yusuf

JAKARTA, batamtoday - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan PP GP Ansor mengutuk kekerasan pada kelompok Syiah di Desa Nangkerenang, Kecamatan Omben Sampang, Madura, Jawa Timur, yang dilakukan oleh kelompok intoleran di daerah tersebut.



Atas kekerasan itu, PBNU dan GP Ansor mendesak aparat keamanan menindak tegas para pelaku dengan menggandeng tokoh masyarakat setempat agar anarkisme serupa tidak terulang lagi.

Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf menegaskan, kekerasan tersebut seharusnya tidak boleh terjadi, apalagi masih di peringatan hari raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Isalam harus saling memberi maaf dan memaaf-maafkan.

“Bagi kami, aparat bersama tokoh masyarakat setempat baik NU, GP Ansor dan lain-lain harus bersama-sama menyelesaikan ini agar anarkisme ini tidak terulang,” imbau Slamet di Jakarta, Senin (27/8/2012).

Slamet menyayangkan tidak ada penanganan dini dari pemerintah terhadap daerah yang rawan konflik selama ini. Pemerintah didesak segera memproses hukum semua yang terlibat dan membentuk tim pencari fakta atas kerusuhan Syiah ini.

"Kami menyesalkan tidak ada penaganganan yang komprehensif terhadap masalah tersebut. Untuk itu kami harap pemerintah segera membentuk tim pencari fakta, secara independen, untuk dijadikan masukan penyelesaian kasus yang dilatarbelakang isu SARA ini," katanya.

Sedangkan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Nusron Wahid menyakini kekekerasan yang terjadi ini pasti ada unsur kesengajaan untuk mengadu domba antarelemen bangsa, terutama keharmonisan antarummat Islam di Madura.

"Sunni-Syiah itu barang lama, dan sudah lama ada saling pengertian dan menghormati satu sama lain. Jadi, pasti ada pihak-pihak lain yang dengan sengaja berupaya mengadu domba dan memecah belah Bangsa Indonesia," kata Nusron.

Nusron meminta aparat keamanan harus menindak tegas dan adil terhadap para kekerasan terhadap pengikut kelompok Syiah tersebut, tanpa pandang bulu.

"Siapapun yang terlibat, mau kyai Sunni atau Syiah, kalau salah ya salah harus ditindak. Bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila yang mengedepankan sifat toleransi (tasamuh), prinsip persaudaraan sesama agama (ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaaan (ukhuwwah wathaniyyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah),” katanya.

Ketua PP GP Anshor ini justruk balik bertanya, kenapa sesama umat Islam dan warga Indonesia justru saling bertikai.

"Apalagi terjadi di bulan Syawal, sedang lebaran Idul Fitri 1433 H. Jadi, apa manfaat puasa dan Idul Fitri yang telah dilaksanakan selama sebulan ini.Jangankan dengan orang Syiah yang sama-sama muslim dan tauhidnya sama, dengan nonmuslim pun kita harus saling berdampingan dan bersama-sama," katanya.

Nusron berharap aparat keamanan bisa memberikan perlindungan keselamatan terhadap seluruh warga negara Indonesia, termasuk kelompok Syiah di Sampang . "GP Ansor pun kalau diminta bantuan siap membantu. Tapi pelaksanaannya harus bersama polisi. Sebab ini tugas negara,"  katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, penyerangan terhadap komunitas Islam Syiah di Sampang, Minggu (26/8/2012), berawal dari kepergian puluhan anak-anak, termasuk anak-anak pasangan Tajul Muluk dan istrinya Umi Khulsum menuju ke Pesantren Bangil, Pasuruan. Ratusan massa mencoba menggagallkan rencana kepergian mereka, namun penyikut Syiah tersebut tetap bersikeras melanjutkan perjalanan ke Bangil. Akibatnya, massa langsung menyerang pengikut Tajul Muluk itu dengan berbagai senjata tajam, menyebabkan belasan luka-luka dan merenggut dua korban jiwa.

MPR sesalkan
Sementara itu,  Wakil Ketua MPR RI Hajrijanto Y. Thohari yang mengecam kekerasan massa terhadap kaum Syiah tersebut. Aksi semacam ini tidak boleh ditolerir dan harus diproses hukum.

"Penyerangan terhadap kelompok minoritas yang terus menerus, berulang berkepanjangan dengan sasaran yang terus silih berganti ini sungguh berbahaya. Bayangkan setelah yang menjadi sasaran adalah kelompok minoritas Ahmadiyah, kemudian melebar ke jamaah MTA (Majelis Tafsir Al-Quran) di Jawa Tengah, kemudian berlanjut ke kelompok Syiah. Jangan-jangan nanti akan berlanjut kepada kelompok berikutnya lagi yg minoritas di suatu daerah. Terus berlanjutnya serangan ini sungguh tidak lagi bisa ditoleransi," kecam Hadjriyanto Y Tohari.

Menurutnya, ini bukan persoalan kecemburuan sosial ekonomi lagi, melainkan sudah mengarah pada berkembangannya budaya intoleransi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di suatu kawasan. Hadjri menilai hal ini berbahaya, karena kemajemukan di Indonesia akan tersegmentasi (segmented pluralism).

"Suatu kelompok atau jamaah bisa saja mayoritas di suatu daerah, tetapi minoritas di daerah lain. Bayangkan saja kalau suatu saat salah satu kelompok yang minoritas di suatu daerah menjadi korban penyerangan kelompok lain, padahal di daerah lain mereka mayoritas. Saya rasa negara sudah sampai pada tahap perkembangan harus bertindak tegas. Sungguh perkembangan ini sudah terlalu ekstensif dan eksesif. Siapapun terlibat harus diproses hukum," katanya.

Kekerasan di Sampang, lanjutnya, sudah menyangkut kewibawaan negara yang bersifat struktural karena negara gagal memberikan perlidungan bagi warga negaranya.  Karena itu,  hal ini menjadi urusan hukum, urusan pidana kekerasan, di mana pelaku kekerasan harus diproses secara hukum.

"Bukan urusan agama, karena sejak lama agama dianggap urusan pribadi. Sejak lama agama-agama dan tokoh-tokoh agama dipinggirkan. Ada proses periferalisasi dan marginalisasi agama dengan desakan-desakan agar agama tidak dibawa-bawa ke ruang publik. Bahkan ada tendensi berkembangnya pandangan dan sikap di kalangan msyartakat untuk merendahkan institusi-institusi keagamaan. Maka merosot lah kewibawaan agama di tengah- masyarakat. Akibatnya, masyarakat cenderung bertindak sendiri-sendiri dalam menghukum kelompok yang minoritas yang dianggap menyimpang dari mainstream,"  tutur politisi Golkar ini.