Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Benda Mati
Oleh : Opini
Selasa | 28-03-2023 | 08:36 WIB
A-Alexandria-Ocasio-Cortez_jpg2.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Alexandria Ocasio-Cortez. (Foto: Forbes)

Oleh Dahlan Iskan

ADA satu suara yang berbeda di tengah koor wakil rakyat Amerika terhadap TikTok. Yang bersuara beda itu anggota DPR juga. Wanita. Muda. Dari dapil New York. Dia seorang Demokrat: Alexandria Ocasio-Cortez.

"Tidak seharusnya TikTok dilarang. Amerika belum pernah melarang satu pun Apps," ujar AOC.

Tentu suara AOC jadi aneh. Mayoritas anggota DPR menginginkan TikTok dilarang. Dua fraksi di sana, tumben, kompak sekali. Tapi di sana fraksi tidak bisa mendikte anggotanya. Tidak pernah ada anggota DPR seperti AOC diancam akan diganti.

Yang unik: AOC belum pernah menggunakan TikTok. Dia lebih terkenal sebagai pemain Twitter. Namun sekali menggunakannya ternyata justru untuk membelanya.

Empat juta orang langsung menonton TikTok perdananya itu. Jangan-jangan hari ini sudah dua kali liatnya: TikTok pertama tentang TikTok.

Di Amerika kegemaran menggunakan TikTok termasuk tinggi. Sudah 150 juta orang Amerika memakainya. TikTok termasuk medsos yang tercepat perkembangannya.

Alasan utama melarang TikTok adalah keamanan data Amerika. TikTok dimiliki perusahaan Tiongkok. Harus tunduk pada hukum nasionalnya. Maka data tentang Amerika yang ada di TikTok dengan mudah bisa diminta oleh pemerintah komunis Tiongkok.

Alasan berikutnya ditambahkan: demi masa depan anak-anak Amerika.

AOC belum punya anak. Bahkan belum menikah. Lajang 33 tahun ini terpilih secara fenomenal di usia 29 tahun. Dia punya alasan sendiri untuk berbeda pendapat: harusnya Amerika menemukan cara mengamankan data. Bukan menyalahkan orang yang bisa memanfaatkan kelemahan diri sendiri.

Anda sudah tahu: Alexandria pernah bekerja sebagai pelayan restoran dan jadi bartender. Sambil terus kuliah. Di Boston University dia ambil dua disiplin ilmu sekaligus: hubungan internasional dan ekonomi. Lulus cum laude.

Kelas pekerja di New York langsung memilih AOC jadi wakil mereka di parlemen. Dialah calon anggota DPR yang merasakan sendiri suka duka sebagai pekerja beneran. Bicaranya selalu mewakili pikiran para pekerja. Tampilannya juga tidak elitis. Dia konsisten memperjuangkan jaminan kesehatan dan upah buruh.

Dan itu bukan taktik semata agar terpilih. Itu ideologi bagi AOC. Bicaranya lepas. Gerakannya tanpa beban. Ia pernah dansa dengan gerakan bebas di atas atap. Videonya sangat digemari karena status anggota DPR tidak membuatnya jaim.

Alexandria pun dinobatkan sebagai kelompok aliran sosialis di DPR. Kelompok kiri. Dia satu barisan dengan Rashida Tlaib yang juga unik: kiri, wanita, muda, muslimah. Rashida terpilih dari dapil Michigan. Dua Srikandi ini jadi musuh bersama partai Republik, terutama oleh wanita yang juga muda, pendatang baru, dan bongol: Marjorie Taylor Greene.

Marjorie merasa lebih berhak sebagai pemilik Amerika. Dia kulit putih, pendukung Donald Trump, pro kepemilikan senjata dan anti imigran.

Sedang AOC dan Rashida sama-sama keturunan imigran. Satu dari Puerto Rico, satunya dari Palestina. Saking kesalnya pada dua wanita itu Marjorie pernah menodongkan senjata otomatis ke gambar mereka. Tentu dengan gaya Marjorie yang mirip Rambo.

Tiga wanita itu terpilih lagi di Pemilu tahun lalu. DPR Amerika pun tetap meriah dengan tiga bintangnya itu.

Kini Marjorie punya amunisi baru untuk menembak AOC. Ternyata induk perusahaan TikTok, ByteDance, pernah menyumbang kegiatan kaukus kulit hitam dan keturunan Spanyol di DPR. Jumlahnya pun besar untuk ukuran kota: USD 150.000. Sebelum itu pun pernah menyumbang USD 75.000. Namun perusahaan itu juga pernah menyumbang kaukus dari keturunan Asia.

Di DPR Amerika memang banyak terbentuk kaukus kepentingan. Bisa berdasar aliran darah, ideologi, bahkan berdasar kelompok bisnis. Anggota DPR berkulit hitam punya kaukus sendiri. Juga yang keturunan Spanyol seperti AOC. Bahkan kaukus Papua pun ada. Meski anggotanya sangat kecil.

Sebaliknya, kalangan bisnis juga tidak sembunyi-sembunyi minta dukungan kaukus-kaukus yang ada. Sesuai dengan bidang bisnis masing-masing. Semuanya dilakukan secara terbuka.

ByteDance tentu salah satu yang merasa terancam. ByteDance pun mendukung kegiatan kelompok yang dianggap bisa memperjuangkan nasibnya.

Ancaman untuk TikTok itu awalnya datang dari Presiden Donald Trump di tahun 2018. Trump menekan ByteDance agar menjadi perusahaan Amerika. Caranya: harus dijual ke perusahaan Amerika.

Belum sampai usaha itu berhasil Trump expired. Kini TikTok lebih sulit: akan dilarang total. Tentu banyak medsos sejenis di Amerika yang menunggu durian runtuh. Mereka akan dapat limpahan dari pelarangan TikTok. Apalagi yang memang sudah menyiapkan diri seperti Instagram dengan program barunya Reels. Atau YouTube dengan bayi barunya Short.

Nama TikTok memang mudah akrab di telinga siapa saja. Nama itu begitu simpel, mengena, tepat, mudah diingat dan ada jenakanya. Bahkan di negara asalnya, Tiongkok, nama yang dipakai tidak sebagus TikTok. Nama yang dipakai di Tiongkok adalah Douyin. Artinya: Getaran Suara. Atau goyangan nada. Atau sejenis itu.

Apa pun arti Douyin tetap saja tidak sebagus TikTok.

Coba pikirkan: mengapa disebut goyangan suara. Bukankah yang banyak bergoyang di layar adalah mata, bibir, dan lidah. Bahkan merembet ke duo kembar atas dan dua kembar bawah.

Jelaslah Anda pun mudah mengagumi TikTok.

Tapi politik memang sangat tidak jenaka. Tak terbayangkan semaju Amerika akan melarang Apps. Kelihatannya Amerika ikut gaya India. Itulah yang membuat AOC malu. "Belum ada negara maju yang main larang Apps," begitu kurang lebih kata AOC.

Yang terjadi di Inggris atau Kanada adalah larangan pasif. Misalnya, pegawai negeri mereka dilarang menggunakan TikTok. Atau pejabat mereka. Atau instansi pemerintah mereka. Bukan TikTok-nya yang dilarang.

India tidak hanya melarang TikTok. Bersamaan dengan itu India melarang juga sekitar 100 Apps produk Tiongkok. Termasuk WeChat. Alasannya yang sama: soal keamanan data. Tapi itu India.

Maka berbahagialah kita: bisa pakai Apps dari siapa pun. Tidak peduli Amerika, Tiongkok bahkan Burundi. Kita bahagia juga karena menganggap data adalah benda mati.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia