Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dianggap Tumpang Tindih, DPR Usul Penggabungan KPPU dan BPKN
Oleh : Irawan
Selasa | 14-03-2023 | 15:20 WIB
diskusi_konsumen_b.jpg Honda-Batam
Forum Legislasi bertajuk 'Urgensi Revisi UU Perlindungan Konsumen, Selasa (12/3/2023)

BATAMTODAY.CIM, Jakarta - Anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto mengusulkan penggabungan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

Usulan ini, menurutnya, juga merupakan hasil kesimpulan Rapat Komisi VI DPR RI beberapa waktu lalu, agar persoalan mengenai perlindungan konsumen dan persaingan usaha dapat diselesaikan dengan lebih solutif dan integratif.

"Saya tambahkan sedikit, putusan hasil kesimpulan dalam rapat Komisi VI yang terakhir, kita menyetujui penggabungan undang-undang perlindungan konsumen dan KPPU. hasil kesimpulan yang terakhir, dan kita putuskan kedua tim KPPU dan BPKN untuk bertemu. Jadi, kalau mau penyelesaian yang solutif, integratif, itu harus digabung dua undang-undangnya," ujarnya dalam acara diskusi Forum Legislasi bertajuk 'Urgensi Revisi UU Perlindungan Konsumen, Selasa (12/3/2023).

Menurutnya, terpisahnya kedua lembaga dan undang-undang yang ada pada saat ini terlalu sepihak-pihak. Sehingga, tidak dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik dan perlindungan terhadap konsumen masih lemah. Hal ini terlihat dengan banyaknya putusan kekalahan di pihak konsumen di pengadilan negeri, MA maupun MK.

"Pelaku usaha itu pengennya masuk lapor ke BPSK diselesaikan. Karena begitu dia nggak terima, dia banding, dia kan pasti menang. Ya selesai, ya kan? ya banding dia selesai. Hukumnya berhenti, dia kasasi ke Pengadilan Negeri kemudian nanti Pengadilan Negeri biasa putusannya kalah konsumennya, sampai MA juga kalah, tidak ada satupun putusan MA yang menang kalau seinget saya," tutur Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.

Namun di sisi lain, di kesempatan yang sama. Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul menilai penggabungan dua lembaga ini butuh pengkajian yang lebih mendalam lagi. Ia pun menjelaskan memang di negara lain, seperti Amerika dan Australia, perlindungan konsumen dan persaingan usaha memang menjadi satu yang bernama Federal Trade Commission.

Tetapi di dalam pembentukan Federal Trade Commission ini, menurutnya, terdapat undang-undang khusus yakni Federal Trade Commission Act.

"Tapi di dalam undang-undang pembentukannya, tentang Federal Trade Commission Act, ada undang-undang khusus yang membentuk Federal Trade Commission Act itu. Bukan menjadi bagian dari undang-undang competition act ataupun consumer protection act. Nah kira-kira begitu, jadi dia lahir dengan undang-undang sendiri," jelas pria yang kerap disapa Sensi ini.

Sensi menambahkan, adapun di ACCC (Australian Competition and Consumer Commission) yang di dalamnya terdapat Trade Practice Act, berisi terkait praktik perdagangan yang di dalamnya ada bab mengenai consumer protection dan trade competition.

Sehingga, menurutnya, penggabungan perlindungan konsumen dan persaingan usaha ini perlu dipelajari lebih mendalam lagi dari sisi sistem hukum dan regulasinya.

"Menurut saya, ide (penggabungan) itu memang masuk di akal, supaya terjadi integrasi. Beberapa kali Hakim Mahkamah Agung kadang-kadang kalau memeriksa putusan perkara menanya juga, terus gimana ini? Apa kita gabungkan saja? Jadi, saya dari sisi dari Badan Keahlian, kita ingin agar naskah akademik yang kita buat juga tidak terlalu jauh dari undang-undang yang ada sekarang. Jadi, kalau soal dikaji sih kita akan tetap mengkaji soal penggabungan Badan Perlindungan Konsumen dengan KPPU," tutupnya

Masih Bermasalah

Dalam kesempatan ini, Anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto menyampaikan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang merupakan UU No. 8 Tahun 1999 imemiliki substansi yang bermasalah.

Dampaknya, UU tersebut dapat berpotensi untuk menyulitkan lembaga perlindungan konsumen, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

"Masalah perlindungan konsumen, jadi saya lihat sistem hukumnya yang pertama itu substansi banyak bermasalah. Di beberapa pasal, (seperti) pasal 54 (dan) 56, (pasal) 54 itu kalau nggak salah ya, itu final and binding putusannya tetapi di (pasal) 56 dia bisa ngajuin kasasi sehingga menyulitkan BPSK," ujar Darmadi.

Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu berpendapat bahwa selain secara substansi bermasalah, UU Nomor 8 Tahun 1999 ini juga memiliki struktur hukum yang kurang efisien.

Hal ini menyebabkan BPSK menjadi tidak bertaji dan banyak tak beroperasi di berbagai daerah di Indonesia akibat dari UU Pemerintah Daerah yang tidak relevan dengan UU Perlindungan Konsumen.

Padahal, menurutnya, BPSK ini merupakan salah satu lembag yang memiliki peranan penting dalam perlindungan konsumen.

"Masalah kedua adalah struktur hukumnya. (Pada) aparat penegak hukumnya. Coba lihat BPSK, kita riset Pak asal muasal bahwa BPSK itu jadi impoten itu karena Undang-Undang Pemda. Undang-Undang Pemda Nomor 23 Tahun 2004, dulu di UU Nomor 8 Tahun 1999 itu semua penyelesaian konsumen ditaruh di kabupaten/kota. Di UU Pemda ditarik ke provinsi. Di provinsi karena kekurangan dana nggak ada yang ngurus akhirnya BPSK hampir di seluruh Indonesia tutup atau anggarannya turun," tutur Legislator Dapil DKI Jakarta III itu.

Darmadi menambahkan bahwa dirinya menemui ada Majelis Hakim di BPSK yang memiliki gelar doktor, tapi hanya mendapatkan gaji sebesar Rp500.000.

Hal ini menyebabkan banyak BPSK di Kabupaten/Kota yang tutup atau kosong. Ia juga menyampaikan bahwa dirinya sudah mengunjungi BPSK di berbagai daerah dan semuanya mengeluhkan hal yang sama.

"Bayangkan Majelis Hakim di BPSK itu ada yang Doktor Pak gajinya 500.000, akibatnya apa? Dan di hampir seluruh kabupaten/kota itu banyak nggak ada BPSK atau ada BPSK-nya kosong. Bapak/Ibu sekalian itu yang terjadi situasinya seperti itu, saya datangin tuh BPSK di Pontianak di Medan saya datangi di mana saya datangi itu hampir mereka mengeluh semuanya," pungkasnya.

Editor: Surya