Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan

Temukan Indikasi Manipulasi Transfer Daerah pada RAPBN 2013
Oleh : si
Jum'at | 24-08-2012 | 17:40 WIB
yuna_farhan.jpg Honda-Batam

Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan Yuna Farhan yang juga Seknas Fitra

JAKARTA, batamtoday - Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan mengatakan, ada manipulasi transfer daerah pada 2013 yang dialokasikan naik Rp 40,1 triliun menjadi Rp 518 trilyun yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menyampaikan pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2013 di DPR pada 16 Agustus lalu.



"Namun sesungguhnya, dari sisi proporsi alokasi transfer daerah tidak beranjak diangka 31 persen dari total belanja seperti tahun-tahun sebelumnya. Komponen DAU sebagai alokasi terbesar transfer daerah juga mengalami reduksi dari formula sebenarnya," kata Yuna Farhan, Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN  dalam rilisnya di Jakarta, Jumat (24/8/2012).

Dalam menentukan kenaikan alokasi dana transfer daerah pada 2013, kata Yuna, pemerintah menambahkan komponen subsidi sebagai faktor pengurang DAU (Dana Alokasi Umum). Kebijakan pemerintah itu, lanjutnya, jelas melabrak UU Perimbangan Keuangan, dengan mencantumkan kembali Dana Penyesuaian berupa Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) yang merupakan pinjaman dari bank dunia.

"Harusnya dalam APBN alternatif, merancang transfer daerah sebesar Rp 550 triliun dengan asumsi mematuhi rumusan formula DAU (26% PDN) dan pengalihan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang sudah menjadi urusan daerah sehingga tidak ada lagi manipulasi transfer daerah," katanya.

Sedangkan menyangkut Belanja Modal, Seknas Fitra ini menilai, meskipun jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan belanja pegawai, alokasi belanja modal tahun 2013 naik menjadi Rp 193,8 tilyun. Namun, hal ini perlu dicurigai, dari pengalaman sebelumnya APBN 2012, alokasi belanja modal tidak efektif, hanya 32% yang benar-benar ditujukan untuk fungsi ekonomis.

"Dari penelusuran FITRA pada APBN 2011, misalnya ditemukan alokasi belanja modal yang lebih banyak digunakan kembali untuk birokrasi seperti pengadaan computer/notebook, kendaraan dinas dan gedung pemerintah, Oleh karena itu APBN alternatif merancang belanja modal Rp. 200 triliun dengan minimal 60%  dialokasikan benar-benar untuk fungsi ekonomi dan 75% dialokasikan pada daerah luar jawa," katanya.

Belanja RAPBN 2013 yang direncanakan Rp 1.657 triliun atau naik 7,1% sebesar Rp 109,6 triliun dibanding APBNP 2012, menurutnya, pertumbuhan anggaran tersebut  lebih dinikmati birokrasi, bukan untuk belanja modal.  Kenaikan dua kali lipat sebesar 14% justru diperuntukan untuk belanja pegawai dengan peingkatan encapai Rp 28 triliun, ementara belanja modal hanya Rp 25 triliun.

"Membengkaknya belanja pegawai disebabkan skema pensiun PNS yang menjadi tanggungan negara sejak tahun 2009, bahkan jumlahnya mencapai Rp 74 triliun atau mencapai 35% belanja pegawai, ditambah tambahan remunerasi yang diterapkan pada seluruh K/L di tahun 2013. Dan Lembaga non structural yang semakin menjamur," katanya.

Koalisi Masyarakat Sipiliuntuk APBN Kesejahteraan menegaskan,  APBN selalu didesain defisit dengan memberikan kesempatan adanya inefisiensi dan praktik koruptif. Sehingga APBN menjadi tergantung kepada pihak lain (luar negeri dan lembaga multilateral) dan dijejali dengan aneka kepentingan yang kontras dengan kepentingan nasional.

"Jika demikian kedaulatan fiskal tidak pernah berhasil diwujudkan. Oleh karena itu, harusnya desain APBN alternatif ini dibuat berimbang sehingga dalam jangka panjang tidak membebani ruang fiskal untuk pembayaran utang,' katanya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan juga menemukan indikasi asumsi ekonomi makro yang dipakai dalam RAPBN 2013 hanya digunakan untuk mengejar pertumbuhan semu dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat. Bahkan indikator asumsi ekonomi makro tidak mencerminkan realitas di masyarakat dengan hanya mengukur pendapatan tenaga kerja di sektor informal saja.

"Pemerintah juga merancang tax ratio menjadi 12,7% PDB pada tahun 2013, dengan alasan tax ratio ini lebih tinggi jika memasukan pajak migas dan daerah, seperti kriteria yang digunakan negara-negara OECD, bahkan tahun 2012 telah mencapai 15,8%. Pemerintah lupa, jauh sebelum Dirjen Pajak memperoleh remunerasi, pada tahun 2003 tax ratio tanpa memasukan pajak migas dan daerah pernah mencapai 14%. Seharusnya setelah diberikan remunerasi Dirjen Pajak mampu mencapai tax ratio yang lebih tinggi," katanya.
 
Dari fakta-fakta diatas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejanteraan mendesak DPR untuk menggunakan fungsi anggarannya dalam melakukan perombakan signifikan terhadap kebijakan asumsi ekonomi makro dan postur RAPBN 2013 untuk memenuhi amanat konstitusi dalam mensejahterakan rakyat Indonesia. "Dan tidak terjebak dalam pembahasan proyek per proyek serta mafia anggaran," katanya.
 
Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan ini  beranggotakan SEKNAS FITRA, INDEF, KAU, P3M, IHCS, TURC, Perkumpulan Prakarsa, YAPPIKA, KIARA, SNI, KERLIP, ASPPUK.