Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Nilai Demokrasi dalam KUHP Baru yang Disusun Melalui Konsultasi Publik
Oleh : Opini
Kamis | 09-02-2023 | 08:36 WIB
A-KUHP-Baru_jpg23.jpg Honda-Batam
Menkum-HAM Yasona Laoly saat menerima KUHP yang baru di DPR RI. (Foto: Ist)

Oleh Lucky Pratama

SETELAH 77 Tahun Indonesia merdeka, Indonesia akhirnya memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Nasional. Pembaruan KUHP ini telah diinisiasi sejak tahun 1963. Pasca disahkan tanggal 6 Desember 2022 lalu, KUHP akan mulai berlaku efektif 3 tahun terhitung sejak diundangkan (6 Desember 2025).

Selama masa transisi 3 tahun menunggu KUHP Nasional berlaku efektik, maka agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut, Pemerintah akan terus mensosialisasikan substansi KUHP kepada seluruh masyarakat, terutama aparat penegak hukum, serta mempersiapkan berbagai peraturan pelaksana dari KUHP, sehingga meminimalisir penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.

Sosialisasi merupakan program pemerintah agar masyarakat dapat memahami substansi dan tidak mispersepsi terhadap aturan hukum pidana yang akan berlaku tiga tahun setelah disahkan.

Beleid hukum pidana baru ini juga akan menggantikan KUHP yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia. KUHP terbaru ini terdiri dari 37 bab, 624 pasal, dan 345 halaman. Kemudian, KUHP juga terbagi dalam dua bagian yaitu bagian pasal dan penjelasan.

KUHP Nasional ini disusun dengan cermat dan hati-hati, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan individu, negara, dan masyarakat, serta mempertimbangkan kondisi bangsa yang multietnis, multi-agama dan multi-budaya. Sebagai negara demokratis, KUHP juga disusun melalui proses konsultasi publik yang panjang guna mendapatkan masukan dari masyarakat melalui partisipasi yang bermakna.

Mengenai isu kebebasan berpendapat, KUHP dengan tegas telah membedakan antara kritik dan penghinaan. Kritik jelas tidak akan dapat dipidana karena dilakukan untuk kepentingan umum.

Sedangkan penghinaan di negara manapun, termasuk kepada Presiden/Wapres dan Lembaga Negara jelas merupakan suatu perbuatan yang tercela (intrinsically wrong).

Namun, KUHP mengaturnya sebagai delik aduan, sehingga masyarakat termasuk simpatisan dan relawan tidak dapat melaporkan. Pihak yang dapat melaporkan adalah Presiden atau Kepala Lembaga Negara.

Rektor Universitas Papua, Dr. Meki Sagrim SP. Msi saat membuka kegiatan sosialisasi di Manokwari mengatakan bicara tentang KUHP tidak terlepas dari Hak Asasi Manusia, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, dan agama.

Semua itu given dari Tuhan dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Artinya, jika sudah berbicara KUHP maka itu sudah menjadi bagian dari HAM dan itu pemberian dari Tuhan dan tidak perlu dipertanyakan lagi.

Pakar Hukum Pidana, Prof. Romli Atmasasmita saat menyampaikan materi secara daring di acara sosialisasi KUHP baru di Manokwari mengatakan selama ini Indonesia menggunakan KUHP yang berasal dari Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie/WvS), telah ada sejak tahun 1918. Kemudian WvS tersebut diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Hal ini menjadi jelas bahwa selama ini kita menggunakan KUHP warisan kolonial Belanda, bahkan sampai detik ini masih diberlakukan karena walaupun UU Nomor 1/2023 sudah diundangkan, namun masih ada masa transisi 3 tahun.

Dengan KUHP baru ini seluruh ketentuan mengenai pemidanaan, pidana dan tindakan dalam KUHP merupakan cermin peradaban bangsa Indonesia masa kini yang mecerminkan nilai-nilai dari Pancasila yang adaptif terhadap perkembangan internasional dan aspirasi lokal masyarakat Indonesia yang heterogen.

Dengan berbagai dasar pemikiran itu kemudian memunculkan ide-ide dalam KUHP baru dengan nilai-nilai dasar Pancasila; menjaga keseimbangan monodualistik; pengalaman historis dan kondisi empirik; serta perkembangan keilmuan atau teori serta dinamika masyarakat.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember (Unej), Prof. Arief Amrullah mengatakan KUHP yang baru mempunyai keunggulan dari KUHP sebelumnya, salah satunya tentang muatan keseimbangan.

KUHP baru memuat keseimbangan antara nilai nasional dan nilai universal. Perkembangan nilai universal tidak bisa dilepaskan sehingga instrumen-instrumen internasional juga harus beradaptasi.

Keunggulan KUHP baru sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yakni pada titik tolak dari asas keseimbangan, rekodifikasi Hukum Pidana yang terbuka dan terbatas, memuat berbagai inovasi terkait pidana dan pemidanaan, pertanggungjawaban pidana korporasi, mengatur pertanggungjawaban mutlak (strict liability), dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).

Keunggulan lainnya adalah KUHP menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini membuat KUHP baru minim untuk disalahtafsirkan, tidak seperti KUHP lama yang merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang berbahasa Belanda.

Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Pujiono SH M Hum, bahwa ada sejumlah isu aktual dalam KUHP Baru atau KUHP Nasional, diantaranya living law (hukum adat), aborsi, kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, perbuatan cabul, tindak pidana terhadap agama atau kepercayaan dan tindak pidana yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi.

Hukum pidana adat atau delik adat yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan menjadi dasar bagi pembentukan Peraturan Daerah (Perda). Hukum pidana adat (delik adat) yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan menjadi dasar bagi pembentukan Perda.

Terkait dengan pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden. Pasal tersebut tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena dalam penjelasan pasalnya sudah diberikan bahwa kritik, unjuk rasa dan pendapat yang berbeda tidak dapat dipidana.

Tujuan pengaturan pasal 218 UU KUHP adalah untuk melindungi harkat dan martabat diri Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang pengaturannya juga berlaku untuk penghinaan terhadap kepala negara sahabat.

Dalam KUHP baru sebagian mirip dengan KUHP lama, tetapi salah satu yang baru adalah munculnya pembahasan tindak pidana dengan perantara alat yang sebelumnya tidak ada.

KUHP yang baru merupakan simplifikasi dari WvS. Saat ini, KUHP baru hanya menggunakan dua buku, yaitu buku I tentang ketentuan umum dan buku II tentang tindak pidana.

Masyarakat harus mengetahui mengapa KUHP turunan Belanda harus digantikan dengan KUHP Baru yang telah disusun oleh pakar-pakar hukum terbaik bangsa Indonesia.

Alasannya diantaranya secara politik jika Indonesia masih menggunakan WvS, berarti Indonesia masih dalam jajahan Belanda. Sedangkan secara sosiologis, KUHP (WvS) tidak mendasarkan pada konteks Bangsa Indonesia itu sendiri.

Kebaharuan KUHP Nasional memuat keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu atau yang disebut dengan keseimbangan mono-dualistis, dimana hukum pidana selain memperhatikan segi obyektif dari perbuatan, juga segi subyektif dari pelaku.*

Penulis adalah pemerhati masalah Hukum dan Sosial